Dimasa perang kemerdekaan, banyak muncul kelompok bersenjata yang tidak termasuk TRI/TKR/TNI. Contohnya kelompok gerilya Haji Daipin yang oleh pihak Belanda dikategorikan gang. Grup ini beroperasi di wilayah Jakarta Bekasi Karawang dan terkadang tidak bersahabat dengan para pejuang TNI. Mereka bersedia difoto pihak Belanda sambil memperlihatkan senjata. Munculnya Banyak kelompok gerilya ini menunjukan betapa rumitnya garis front di masa perang kemerdekaan. Foto RG Jonkman
abad.id- Kabar pasukan Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II dalam waktu dekat akan mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta semakin santer. Merespons hal itu, Tan Malaka menegaskan bahwa kemerdekaan 100 persen tidak dapat dicapai hanya dengan proklamasi. Dia mulai membicarakan perlunya membangun kantong-kantong gerilya.
Dalam buku Jejak Intel Jepang tulisan Wenri Wanhar menyebutkan, pertemuan Tan Malaka dengan Yoshizumi untuk menggali informasi aktivitas bawah tanah yang dilakoninya beberapa bulan sebelum proklamasi di Banten. Entol Chaerudin, pegawai Kaigun Bukanfu asal pada Mei 1945. Mereka menemui para ulama dan jawara. Hasilnya, terkumpul empat ratus orang Banten mendapat pendidikan perang gerilya di Banten Selatan pada Juni 1945.
Baca Juga : Jejak Pasukan Gerilya Istimewa Anggotanya Mantan Serdadu Jepang
Sejarawan Belanda, Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Agustus 1945-Maret 1946 menjelaskan, melatih taktik perang gerilya di Banten merupakan gerakan bawah tanah Tomegoro Yoshizumi yang jauh melampaui apa yang diperbolehkan militer Jepang.
"Setelah janji kemerdekaan untuk Indonesia pada bulan September 1944 diberikan oleh Jepang, dinas yang dipimpin Yoshizumi terus memberikan bantuan untuk usaha kemerdekaan Indonesia dengan lebih terang-terangan," tulis Poeze.
Menurut Poeze, Kaigun Bukanfu Daisangka, dinas kontra splonase Angkatan Laut yang dipimpin Yoshizumi memang sangat bersimpati terhadap kaum nasionalis kiri Indonesia. Berkali-kali kantor Kaigun Bukonfu digunakan sebagai tempat berlindung orang-crang Indonesia dari pengejaran Kempeitai.
Baca Juga : Diserang Tentara Jepang, Pasukan KNIL Pilih Lari Ngibrit
Tan Malaka sumringah dan sepakat menjadian Banten wilayah gerilya. Keseriusan menjadikan Banten sebagai basis geriya dapat dilihat dari kesaksian Entel Charrwdie.
Entel menceritakan, suatu hari dirinya diajak Nishijima ke rumah Buntaran di Jalan Lumajang Menteng Jakarta Pusat. Di tempat saya bertemu dengan seseorang yang bernama Tan Malaka. “Kami meembicarakan soal-soal mengenai pertahanan rakyat, taktik gerilya jangka lama. Meneliti basis-basis gerilya di daerah Banten Selatan dan di lain-lain daerah yang dipandang strategis,” kata Entel.
Baca Juga : Bung Karno Menjadi Agen Propaganda Jepang
Besok harinya dalam pertemuan dengan Tan Malakca dilanjutkan di Kebon Sirih 80 (asrama perwira Kaigun Bukanfu) Di Kebon Sirih 80, hal tersebut dibicarakan lebih lanjut. Disini Tas Malaka menekankan, bahwa aksi-aksi militer dan geriya harus mendukung diplomasi Republik.
Nishijima dan Yoshizumi memutuskan untuk melakukan yang terbaik untuk Tan Malaka. Mereka berjanji menyediakan mobil, perkakas perang, fasilitas radio dan makanan untuk dibawa ke Banten. Bahkan, Yoshizumi menyatakan akan turut gerilya mendampingi Tan Malaka
Mereka tidak main-main. Sebelum berangkat ke Banten, terlebih dahulu dikirim orang-orang untuk mencari informast mengenai perkembangan terbaru di wilayah itu. Selain mengumpulkan informasi, utusan itu juga mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan Tan Malaka dan yang lainnya di Banten. Demi mematangkan situasi, mereka sepakat berangkat dari Jakarta ke Banten pada 1 Oktober 1945.
Baca Juga : Sejarah PT PAL, di Jaman Jepang Juga Memproduksi Senjata
Dalam perkembangan lain, setelah 7 hari mondok di rumah Subandja, Nishijima dan Yoshirumi menyarankan Tan Malaka pindah ke rumah mantan administratur sipil senior Angkatan Laut lepang di Jalan Gere Theresia Menteng Jakarta Pusat. Kepindahan Tan Malaka demi keamanan dan kelancaran selama operasi pembentukan basis pasukan gerilya. (pul)