Muhammad Daud lahir di dusun kecil Beureueh, Kabupaten Pidie, Aceh, pada 15 September 1899. Foto dok net
abad.id- Semua orang Aceh pasti mengenal Teungku Muhammad Daud Beureueh di Aceh. Ia adalah tokoh pejuang dan ulama Aceh yang sangat populer. Ia juga pejuang kemerdekaan, yang membela tegaknya Republik Indonesia dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal Tituler.
Postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, seakan menjadi gambaran bahwa tokoh ini sebagai tipe manusia yang ideal. Dari bawah pecinya, sering terlihat menyembul rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Sementara gaya bicaranya lugas. Pernyataannya banyak yang blak-blakan dan terkadang tanpa kompromi.
Muhammad Daud lahir di dusun kecil Beureueh, Kabupaten Pidie, Aceh, pada 15 September 1899, dari lingkungan keluarga ulama. Daud bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Jihad, Abu Daud, atau Abu Beureueh.
Latar belakang keluarganya ini membuat Daud tumbuh dan besar di lingkungan penganut Islam yang sangat ketat. Tak heran, kelak saat memasuki masa dewasa, eksistensi dirinya di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya sangat kuat mengilhami hidupnya kemudian. Ayahnya memang berkeinginan untuk menjadikan Daud sebagai ulama pejuang. Sebab itu, pada masa masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkannya ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti Volkschool Goverment Indlandsche School, atau HIS.
Ayahnya lebih mempercayakan pendidikan Daud kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun kerajaan Islam Aceh dahulu, yakni seperti pendidikan yang dikenal dengan nama dayah atau zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti penjajahan Belanda yang saat itu masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang dan gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam pendidikan tersebut Daud dididik untuk mempelajari tulis baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam mulai dari fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dan lainnya. Pengetahuan tentang sejarah Islam, sejarah tata negara dunia Islam di masa lalu, dan berbagai ilmu lainnya. Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, kecerdasan dan kecepatan berpikirnya mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya, termasuk kemampuan berbahasa Belanda cukup baik.
Ini terbukti, dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, Daud mampu tampil menjadi orator ulung. Semua ini kemudian mengantarkannya untuk mencapai popularitas sebagai seorang ulama di Aceh. Masyarakat Aceh sendiri memberinya gelar "Teuku di Beureueh". Hal ini membuat Daud semakin disegani sebagai salah satu tokoh ulama besar Aceh. Apalagi, pada masa itu, Daud bersama-sama ulama lain berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh.
"Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Jika mau Aceh menjadi Negara Islam, harus memiliki dua cabang sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam ini mampu memenuhi semua keburuhan zaman modern. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu,” Kata-kata itulah yang selalu menjadi obsesi Daud.
Pada 1939, ia mendirikan dan memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). PUSA pada awalnya tidak anti-Belanda, namun tampil sebagai pengritik keras terhadap hirarki kaum Uleebalang (pejabat-aristokrat) yang didukung Belanda. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski awalnya didirikan dengan latar keagamaan, PUSA akhirnya dimusuhi Belanda karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh, dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikan Daud sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.
Para anggota PUSA dikabarkan sudah menjalin kontak dengan Jepang, sebelum invasi Jepang ke Indonesia pada 1942, dengan harapan bisa dibantu menggulingkan dominasi kekuasaan kaum Uleebalang. Sesudah militer Jepang menduduki Indonesia, Jepang merasa memerlukan dukungan rakyat Aceh. Maka pada 1944, Jepang mengalihkan banyak fungsi-fungsi kehakiman dari tangan kaum Uleebalang ke pengadilan-pengadilan agama yang dipimpin oleh Daud.
Sesudah Jepang menyerah pada pasukan Sekutu, konflik antara elite sekuler dan elite religius di Aceh semakin keras. Ini menjurus ke surutnya kekuasaan kaum Uleebalang dan banyak kalangan Uleebalang yang terbunuh pada Desember 1945. Sejak saat itu, Daud menjadi sosok yang paling berpengaruh di Aceh.
Dalam buku Gerakan Aceh Merdeka tulisan Neta S Pane menyebutkan, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Namun, kabar itu terlambat sampai di Aceh. Kabar proklamasi baru diterima pada 15 Oktober 1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian bertambah.
Ada 4 ulama besar di Aceh atas nama ulama seluruh Aceh, yakni Daud Beureueh, Hasan Krueng Kale, Djafar Sidik Lamjabat, dan Hasballah Indrapuri sepakat menyatakan "berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno". Dalam maklumat yang dikeluarkan ulama besar Aceh dan disebarkan ke masyarakat luas disebutkan, "Mempertahankan Republik Indonesia adalah Perjuangan Suci dan diyakini sebagai Perang Sabil. Untuk itu, kepada segenap masyarakat Aceh diserukan supaya patuh atas segala perintah pemimpin bangsa, untuk keselamatan tanah air, agama, dan bangsa".
Kiprah Daud tak hanya di situ. Tahun 1946, Daud mengimbau agar seluruh rakyat Aceh membeli obligasi nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Sumatera. Obligasi tersebut berharga Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000 per lembarnya. Obligasi inilah yang nantinya dijadikan sebagai modal awal oleh pemerintah Soekarno-Hatta.
Tingginya keterlibatan Daud dalam revolusi fisik di awal kemerdekaan membuat dia dipercaya Presiden Soekarno sebagai Gubernur Militer Aceh, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Pengangkatan ini dilakukan menjelang agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Kekuasaannya mencakup wilayah militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Bukan hanya itu, di tahun 1947 Soekarno sengaja datang ke Aceh untuk menemui Daud. Untuk menyaksikan secara langsung semangat dukungan rakyatnya pada pemerintah RI, Daud membawa Soekarno keliling Aceh.
Saat itulah Soekarno menyampaikan maksud kedatangannya. "Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945".
Daud Beureueh menjadi imam Sholat Soekarno saat kunjungan ke Aceh tahun 1947. Foto dok net
Mendengar hal itu Daud Beureueh lalu berkata, "Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid".
Soekarno mengangguk. "Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh, seperti Tengku Chik Di Tiro dan lainnya, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan "merdeka atau syahid".
"Kalau begitu kedua pendapar kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari'at Islam di dalam daerahnya," ujar Daud memohon, yang kemudian dijawab Soekarno, "Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90 persen rakyat Indonesia beragama Islam".
Namun, Daud meragukan janji Soekarno. "Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden".
Dengan tenang Soekarno berkata, "Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”'.
Saat itu juga Daud bersyukur. ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini,” tutur Daud sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno.
Melihat hal ini Soekarno langsung menangis terisak-isak. Air mata mengalir di pipinya hingga membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak Soekarno berkata,"Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya".
Melihat Soekarno menangis, Daud menjadi terharu."Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang," kata Daud lagi. Sementara Soekarno menyeka air matanya dan berkata,"Wallahi, Billahi kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar Anti dapat melaksanakan syariat Islam di dalam daerahnya. Nah. apakah kakak masih ragu-ragu juga?"
Pertanyaan itu dijawab Daud dengan kalimat, "Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden".
Menurut keterangan Daud Beureuch, karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno.' Sejarah kemudian membuktikan bahwa janji yang telah "diikat" dengan air mata tersebut belum pernah diwujudkan Presiden Soekarno.
Di masa itu, sumbangsih Daud tak hanya sebatas pada perjuangan lokal Aceh semata. Ia aktif pula melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan RI secara nasional. Hal itu ditunjukkannya, ketika melihat pemerintahan Indonesia yang baru seumur jagung telah terancam bangkrut. Daud menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh agar mengumpulkan uang dan emas untuk disumbangkan.
Tahun 1948 misalnya, dari kumpulan sumbangan dana rakyat Aceh membelikan dua pesawat terbang kepada pemerintah RI. Pesawat inilah yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia Airways. Setelah itu, di tahun 1949 rakyat Aceh masih memberikan lagi uang tunai 500.000 dolar AS dan 5 kg emas kepada pemerintah RI yang saat itu terpaksa mengungsi ke Yogyakarta. Dari jumlah itu, 250.000 dolar di antaranya diberikan untuk membiayai Angkatan Perang RI yang baru lahir.
Perjuangan Daud Beureueh mendukung dan mempertahankan kemerdekaan RI di Aceh bukannya tanpa tantangan. Ketika ibu kota RI, Yogyakarta diduduki Belanda pada 19 Desember 1948 dan Soekarno-Hatta ditawan, pemerintahan Indonesia menjadi terombang-ambing hingga kemudian terbentuk Pemerintahan Darurat RepublikIndonesia di Sumatera Barat, dengan ibukota Bukit Tinggi.
Tiga bulan setelah pendudukan Yogyakarta, ada pihak mencoba menggunting dalam lipatan, untuk melepaskan diri dari Rl yang baru seumur jagung. Awalnya wilayah Sumatra Timur. Tengku Dr.Mansur berkirim surat kepada Daud Beureueh pada 17 Maret 1949 agar bersedia menghadiri Muktamar Sumatera yang diadakan di Medan. Maktamar tersebut bertujuan membentuk Negara Sumatera Mendeka, yang terpisah dari Republik Indonesia.
Namun, dalam undangan terscbut dikatakan tujuan muktamar itu untuk mengadakan hubungan pertama di antara daerah-daerah dan suku-suku bangsa se Sumatra agar tumbuh menjadi pertalian yang erat untuk kebahagiaan Sumatera. Khusus untuk Aceh diberikan tiga pilihan. Pertama, Aceh dapat meninggalkan RI dan bergabung dengan Negara Sumatera Merdeka yang akan dibentuk. Kedua, Aceh berpeluang menyatakan diri sebagai negara yang merdeka. Ketiga. Aceh tetap berada dalam pangkuan RI.
Selain Aceh, sejumlah tokoh dari Tapanuli, Nias, Minangkabau, Bengkalis, Indragiri, Jambi, Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu juga diundang. Sebagian tokoh lokal melihat tawaran ini sebagai sebuah kesempatan.Tapi sebagian besar lainnya melihat tawaran tersebut sebagai upaya manuver politik Belanda, untuk kembali memecah belah Indonesia yang sudah bersatu dan berdaulat. Indikasi ini makin diyakini tatkala mereka melihat teks lengkap undangan tersebut dijatuhkan melalui pesawat udara Belanda di berbagai daerah di Pulau Sumatra
Manuver politik adu domba Belanda ini sangat disadari Daud Beureueh, sehingaa merasa perlu memberikan jawaban atas undangan Wali Negara Sumatera Timur tersebut. Tujuannya, agar seluruh rakyat Aceh dan seluruh rakyat Sumatra tengah tahu secara jelas apa dan bagaimana sikap terhadap ajakan makar ini. Pernyataan sikap Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh dimuat lengkap oleh surat kabar Semangat Merdeka yang terbit di Sumatra Utara
Daud Beureueh kemudian dicopot sebagai Gubernur Milier Aceh. Alasannya, untuk dipindah menjadi pejabat tinggi di Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Semula, sejak jabatannya dicabut oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, Daud tenang-tenang saja. Ia kembali ke desanya dan hidup seperti pensiunan umumnya.
Namun, ketika melihat Soekarno makin menyimpang dari janji semula, Daud menjadi sangat kecewa. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh berkata, ”Sudah ratusan tahun syariat Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syariat Islam di Aceh”. Sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh dan Daud Beureueh menjadi motor penggerak perlawanan terhadap Soekarno.
Perlawanan sengit itu dimulai Daud Beureueh ketika Kabinet Ali-Wongso terbentuk pada 1 Agustus 1953. Kabinet ini dipimpin Perdana Menteri Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI dan wakilnya Mr Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR). Dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta. Tapi Nahdlatul Ulama(NU) dapat jatah kursi untuk ikut duduk dalam kabinet. Ini terjadi, tiga tahun setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar dan kembali menjadi RI. Dengan semangat yang membara pada September 1953, Daud Beureuch memaklumatkan Negara Islam Indonesia.
Didukung oleh mantan anggota PUSA dan banyak kalangan militer, Daud memimpin pemberontakan melawan Jakarta. Pada 21 September 1953, ia mendeklarasikan Aceh akan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang sudah dibentuk sebelumnya di Jawa oleh Kartosuwiryo.
Pasukan militer yang dikirim Jakarta dengan cepat dapat menguasai kembali kota-kota Aceh, namun perlawanan itu meluas sampai 1959. Untuk meredakan perlawanan, pemerintah pusat mengirim M. Natsir ke Aceh. Saat itulah tercapai persetujuan damai, di mana Aceh disepakati akan menjadi provinsi tersendiri dengan status “Daerah Istimewa,” dengan hak untuk memberlakukan syariat Islam.
Daud sendiri tidak kembali dari basis gerilyanya sampai 1962. Daud akhirnya mendapat amnesti, namun ia tetap sangat kritis terhadap pemerintah pusat. Di masa damai, Pemerintah ingin memberi rumah untuk Daud, namun tokoh yang biasa hidup sederhana itu menolak. Daud meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun. (pul)