images/images-1688390028.png
Riset

Kisah Soeharto Ditangkap Divisi Siliwangi di Madiun

Pulung Ciptoaji

Jul 03, 2023

396 views

24 Comments

Save

 Pimpinan PKI yang tertangkap. Dari kiri:Soeripno, Harjono, Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman.

 

tokoh pki madiun

Pemeriksaan terhadap tawanan, baik aktor dan simpatisan PKI Madiun 

 

 

abad.id-Peristiwa bermula pasca kegiatan Pekan Olah Raga Nasional (PON) 1948 di Solo. Ada dua kelompok massa yang ikut membonceng kegiatan PON ini, sehingga terjadi keributan besar berupa Pemberontakan PKI Dipimpin Muso di Madiun.

 

Dua kelompok ini berasal dari partai golongan “Murba” yang beranggotanya GRR dan barisan Banteng dengan partai-partai dari golongan FDR Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo. Keduanya mempertentangkan soal pro dan anti Linggarjati. Puncak situasi panas tersebut terjadi Peristiwa Madiun sejak September hingga Desember 1948, antara pemberontak komunis PKI dan TNI. 

 

Baca Juga : Begini Kronologis Tewasnya Muso Tokoh PKI Madiun

 

Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun. Gagasan Madiun Merdeka ini didukung Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin, Sumarsono, Setyadjit Soegondo dan Kelompok Diskusi Patuk. Aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan Propaganda Anti Pemerintah,  Demonstrasi, Pemogokan, menculik dan membunuh lawan politiknya, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat. 

 

Aksi kekerasan mulai terjadi. Mulai penyerbuan kantor polisi dan pembunuhan pemimpin agama di pondok pesantren. Bahkan 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polis dicegat massa dan semua penumpangnya dibunuh. Demikian juga dr. Moewardi yang sering menentang aksi golongan kiri, diculik dan dinunuh ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo. 

 

Kelompok kiri menuduh Pemerintah dibawah Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan PKI. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno sebagai tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda. Maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan. Pemerintah daerah Madiun. Tiba-tiba dijatuhkan dengan aksi kekerasan. “Pemerintah merah telah didirikan oleh Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono”, dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya,” kata Soekarno dalam pidatonya.

 

Baca Juga : Sneevliet Pembawa Ideologi Komunisme di Hindia Belanda

 

Pemerintah segera melakukan tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI. Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah, dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948. Serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu.

 

Salah satu fakta penting yang terungkap keterlibatan Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Letkol Soeharto menjadi utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun. Kedatanan Soeharto ke Madiun sangat rahasia, disambut Soemarsono, Gubernur Militer yang mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, atau pasukan TNI yang pro PKI pada dinihari 18 September 1948. Pasukan pimpinan Soemarsono ini berhasil melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak sendiri. Kemudian menemui Soeharto yang tengah melihat situasi. Keduanya bekeliling Madiun, serta meninjau tahanan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’.  

 

Baca Juga : Demontrasi Buruh Pimpinan Semaun Merugikan Belanda

 

Dalam buku Revolusi Agustus pengakuan Soemasono berisi tentang peran Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Menurutnya peran Soeharto ini penting, karena dialah yang dianggap menyebabkan Peristiwa Madiun menjadi peristiwa yang berdarah-darah. Padahal konflik tersebut mestinya bisa diselesaikan secara damai.

 


Menurut Soemarsono, Jenderal Sudirman mengutus Soeharto ke Madiun untuk mengklarifikasi dan investigasi berita-berita di surat kabar Yogyakarta, bahwa telah terjadi pertempuran yang memakan korban sesama anak bangsa. Selama di Madiun, Soeharto ditemani Soemarsono meninjau seisi kota, termasuk penjara. “Dik Harto, di sini tidak ada pemberontakan apa-apa,” kata Soemarsono.

 


Di akhir kunjungan, Soemarsono meminta Soeharto membuat pernyataan tentang temuan-temuannya di Madiun untuk disampaikan kepada Jenderal Sudirman dan Sukarno. Soeharto lalu meminta Soemarsono yang membuatkan pernyataan: “Dan saya yang teken, saya tanggung jawab,” tulis Soemarsono. Pernyatan ini dimuat dalam surat kabar Suara Rakyat Madiun dan radio Gelora Pemuda. Amir Sjarifuddin juga menitipkan surat kepada Soeharto untuk disampaikan ke Sukarno yang isinya meminta Sukarno untuk turun tangan mendamaikan situasi. Namun yang menjadi masalah, surat pernyataan dan surat titipan Amir tak pernah sampai di tangan Sukarno dan Panglima Besar Sudirman. 

 

Sementara itu Soeharto mengaku dicegat pasukan Siliwangi di Sragen. Akibatnya dua surat itu tak pernah jelas rimbanya. Sebuah dokumen milik Kolonel (Purn.) Omon Abdurrachman berjudul Menoempas Pemberontakan PKI 1948, menyebutkan, di tengah ketegangan antara Divisi Siliwangi yang pro pemerintahan Mohammad Hatta dengan Divisi Panembahan Senopati yang bersimpati kepada FDR, salah seorang anak buahnya Kapten Imam Sjafi’i melapor bahwa pasukannya telah meringkus seorang “letnan kolonel PKI” di dalam kota Surakarta.
“Pak, saya menangkap overste PKI, apa saya bereskan saja?” ujar Sjafi'i.
Omon yang harus berhati-hati dalam melakukan tindakan, tidak serta merta setuju dengan usulan Sjafi’i. Dengan tegas, dia melarang tindakan gegabah itu dan memerintahkan sang kapten untuk membawa “perwira PKI tersebut” ke hadapannya.

 

Baca Juga : Kematian Bisu Tan Malaka (1)

 

Betapa terkejutnya Omon, begitu melihat yang dibawa Sjafi’i adalah Letnan Kolonel Soeharto, yang dalam dokumen itu dia sebut sebagai Komandan Resimen Yogyakarta. Selanjutnya secara sopan, Omon menginterogasi Soeharto dan menanyakan maksud kehadirannya di Surakarta.

 

Dalam keterangannya, Soeharto menyatakan bahwa dirinya baru menghadiri undangan rapat konferensi para pimpinan TNI yang diselenggarakan oleh Kolonel Djokosujono, salah satu tokoh FDR, di Balai Kota Madiun pada 24 September 1948.
“Apakah overste juga merupakan anggota FDR?” tanya Omon penuh selidik.
“Bukan, saya komandan resimen TNI di Yogya. Tapi saya datang karena memang diundang oleh mereka,” jawab Soeharto.
“Komandan kami (Letnan Kolonel Sadikin), juga diundang mereka. Tapi beliau tidak pergi karena sama sekali bukan simpatisan,” cecar Omon.
“Saya pergi atas perintah Panglima Besar, Pak Dirman,” kata Soeharto.
“Adakah surat perintahnya?”
“Ada.”
“Bolehkah saya melihatnya?”
“Boleh,” ujar Soeharto, seraya memberikan sepucuk surat kepada Omon.

 

Begitu melihat isi surat keterangan yang langsung ditandatangani oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, Omon baru yakin bahwa Soeharto bukan bagian dari FDR. Setelah minta maaf, dia lantas memerintahkan Sjafi’i untuk mengantar Soeharto ke perbatasan Surakarta-Yogyakarta hingga selamat.

 

Baca Juga : Tan Malaka Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Ini Alasannya

 

Soal penangkapan itu menurut Poeze, disebut Soeharto secara selintas saja. Dalam buku Madiun 1948: PKI Bergerak, Poeze memang membenarkan kedatangan Soeharto ke Madiun atas perintah Soedirman. Tujuannya, selain menyelidiki situasi Madiun pasca insiden 18 September 1948, juga mengemban misi mencegah Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo bergabung dengan FDR. Poeze juga menyebut, setiba di Madiun, Soeharto sempat berdiskusi dengan Musso dan bertemu dengan Soemarsono Gubernur Militer kawasan itu. (pul)

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Pembangunan Balai Kota Surabaya Penuh Liku

Pulung Ciptoaji

Dec 18, 2022

Menjaga Warisan Kemaharajaan Majapahit

Malika D. Ana

Nov 15, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022