The Late Lien Show menjadi program TV yang sukses menampilkan budaya Indonesia kepada masyarakat Belanda. Foto Youtube
Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort
abad.id- Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort baru berusia 14 tahun ketika menginjakkan kaki di Belanda untuk pertama kalinya pada akhir 1957. Seniman Belanda kelahiran Surabaya tersebut harus beradaptasi dengan cuaca dan suasana serba baru. Tidak ada lagi kehangatan cuaca tropis dan makanan Indonesia yang kaya rasa.
Sebagai anak yang tumbuh di Indonesia, situasi macam itu menyulitkannya. Dia tak terbiasa dengan makanan Negeri Kincir Angin yang menurutnya tak bercita rasa. Bahkan, makanan yang disuguhkan di kapal selama perjalanan dari Indonesia ke Belanda dianggapnya masih lebih baik.
Sampai akhirnya, tiga dekade kemudian, Wieteke mencurahkan kerinduannya terhadap tanah kelahirannya melalui lagu bertajuk Geef Mij Maar Nasi Goreng (Beri Aku Nasi Goreng). Dengan alunan musik keroncong, Wieteke menceritakan nasib masa remajanya yang terdampak politik sembari tergiang-ngiang kenangan akan nikmatnya lontong, sate babi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, atau bakpao.
Baca Juga : Musik Eksperimental Karya Ruben Verkuylen, Sebuah Estetika Tak Terduga
Wieteke adalah satu dari puluhan ribu orang Belanda yang terpaksa angkat kaki dari Indonesia akibat memuncaknya sentimen terhadap orang-orang Belanda pada tahun 1950-an. Sentimen anti-Belanda itu adalah buah dari macetnya perundingan terkait status Irian Barat.
Indonesia dan beberapa negara pendukungnya berhasil memasukkan pembahasan soal Irian Barat ke agenda Sidang Umum PBB pada Agustus 1057. Keberhasilan ini tentu menjadi harapan bagi Indonesia. Persoalan status Irian Barat kemudian bergaung di forum PBB hanya beberapa bulan. Menurut sejarawan M.C Rickfles dalam Sejarah Indonesia Modern, gagalnya lobi Indonesia di PBB itu memicu terjadinya ledakan kemarahan anti Belanda.
Baca Juga : Keren, Ini Video Klip Musik Pertama Yang Mendunia
Dua hari setelah keputusan PBB, Kabinet Djuanda membahas langkah-langkah untuk melawan Belanda. Salah satunya dengan mencabut hak pendaratan pesawat-pesawat KLM. Pemerintah Indonesia juga melarang peredaran surat kabar dan film Belanda. Peristiwa besar terjadi pada 3 Desember 1957, kala serikat-serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI dan PNI melakukan aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Puncak kemarahan atas status Irian Barat yang terkatung-katung ini pada 5 Desember 1957 yang dikenal dengan peristiwa Sinterklas Hitam.
Salah satu saksi ketegangan aksi anti-Belanda saat itu ialah Ruurd Koopmans, mantan pegawai KPM Jakarta. Dalam acara TV Andere Tijden, Koopmans mengisahkan tidak ada lagi suasana damai yang menyelimuti gedung KPM sejak hari itu. Di kantornya, banyak terdengar suara teriakan yang sangat lantang dan keras seperti perampokan.
Tidak lama berselang, Koopmans juga diberitahu bahwa bosnya sudah dibebastugaskan dan menyerahkan pekerjaannya kepada staf non-Belanda. Saat itu, dia langsung menyadari kariernya di KPM juga telah berakhir.
Baca Juga : Menolak Punah Musik Keroncong
Hengkang dari Indonesia secara mendadak juga bukanlah pilihan mudah. Mereka yang sudah bertahun-tahun hidup di Indonesia itu buta akan situasi di negeri Belanda. Namun, mereka toh tetap berebut naik kapal-kapal yang disediakan pemerintah Belanda karena terpaksa. Dengan jumlah puluhan ribu orang, kondisi kapal pengangkut pun langsung penuh sesak. Mereka harus tahan berdesak-desakan selama berhari-hari dalam perjalanan menuju Belanda.
Satu dari ribuan warga Belanda yang harus Pulang ini Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort. Saat itu baru berusia 14 tahun kelahiran Surabaya. Ketika menginjakkan kaki di Belanda untuk pertama kalinya, Wieteke van Dort haus banyak beradaptasi cuaca. Jika sebelumnya Surabaya yang panas, kini harus menghadapi 4 musim panas, musim diingin, semi dan musim gugur. Wieteke van Dort juga harus beraaptasi dengan makanan yang tidak pernah dijumpai di tempat asalnya. Menyesuaikan lidah ini digambarkan sangat sulit.
Baca Juga : Titiek Hamzah Pernah Pingsan Karena Ingin Bermusik
Sebagai penghargaan dan rasa rindunya terhadap Indonesia, Wieteke van Dort menciptakan lagu berjudul "Geef Mij Maar Nasi Goreng. Dalam bahasa Indonesia, judul tersebut memiliki arti 'berikan saja aku nasi goreng'.
Lagu ini bercerita tentang kerinduannya akan Indonesia, terutama rindu akan nasi gorengnya.
A E7 A
Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd
D A
Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht
E7
Maar 't ergste was 't eten.
A
Nog erger dan op reis
B7 E7
Aardapp'len, vlees en groenten en suiker op de rijst
E7 B7 E7
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A E7
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A D E7 A E7 A
A E7 A
Geen lontong, sate babi, en niets smaakt hier pedis
D A
Geen trassi, sroendeng, bandeng en geen tahoe petis
E7 A
Kwee lapis, onde-onde, geen ketella of ba-pao
B7 E7
Geen ketan, geen goela-djawa, daarom ja, ik zeg nou
E7 B7 E7
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A E7
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A D E7 A E7 A
A E7 A
Ik ben nou wel gewend, ja aan die boerenkool met worst
D A
Aan hutspot, pake klapperstuk, aan mellek voor de dorst
E7 A
Aan stamppot met andijwie, aan spruitjes, erwtensoep
B7 E7
Maar 't lekkerst toch is rijst, ja en daarom steeds ik roep
E7 B7 E7
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A E7
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A E7 A E7
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
A
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
A D E7 A E7 A
Setelah menikah dengan lelaki Belanda Theo Moody, perjalanan kariernya makin menanjak. Dari perkawinanya, Wieteke memiliki seorang anak laki-laki, Alexander Moody. The Late Lien Show menjadi program TV yang sukses menampilkan budaya Indonesia kepada masyarakat Belanda.
Tante Lien digambarkan sebagai sosok wanita tua yang cerewet, cerdas, sangat ramah dan lucu. Sepanjang pertunjukan, sebagai wanita Indisch, Tante Lien (Wieteke), selalu mengenakan kebaya khas Indonesia. Tamu yang hadir dalam show sejenis komedi situasi itu, digiring ke dalam properti khas Indonesia Tempo Doeloe. Mereka pun dijamu dengan makanan khas Indonesia.
The Late Late Lien, berhasil membangkitkan romantisme orang-orang Belanda akan Indonesia, sekaligus menampilkan berbagai budaya Indonesia yang dinarasikan oleh Tante Lien. Pada acara ini, lagu-lagu gubahan Wieteke pun dinyanyikan. Tidak saja Geef mij maar nasi goreng, tapi juga Ayun-ayun, O Sarinah, Terang Bulan dan banyak lagi.
Baca Juga : Ternyata Lagu Kebyar-Kebyar Gombloh Terinspirasi Saat Buang Air Besar
Pada satu episode, Late Late Tante Lien juga mendatangkan sejumlah penyanyi dan artis Belanda maupun Indonesia, diantaranya Blue Diamonds, pasangan Rima Melati dan Frans Tumbuan.
Juga pernah mendatangkan Anneke Gronloh, yang bernasib sama dengan dirinya. Penyanyi berdarah Belanda yang lahir di Indonesia, namun lebih dikenal di Singapura dan Malaysia, serta penyanyi yang pertama kali membawakan lagu untuk anak-anak Nina Bobo.
Tane Lien juga sangat pintar membawakan situasi sesuai dengan narasi yang hendak dibangun. Misalnya saat ia menceritakan soal kesedihan seorang ibu di Belanda yang mengontak anaknya di Bandung. Lagu Hallo Bandoeng, diciptakan penyanyi Belanda di tahun 1934, berisi kesedihan sang ibu yang terpisah ribuan kolimeter dengan anaknya. Namun akhirnya bisa berkomunikasi secara langsung, mendengar suara anaknya setelah Belanda berhasil menghubungkan jaringan telefon ke Hindia Belanda.
Bertahun-tahun si ibu tidak pernah mendengar suara anaknya. Pada lagu Hallo Bandoeng, diceritakan bahwa si anak telah memiliki anak dari istri perempuan berkulit sawo matang.
Lagu ini seperti sebuah elegi kesedihan. Namun menjadi penanda dari sejarah pertama kali Belanda bisa mengoneksikan jaringan telefon dengan Indonesia di Bandung.
Puluhan panggung teater, acara radio dan program televisi dibintanginya. Ia juga menciptakan puluhan lagu dan bernyanyi untuk lagu-lagu gubahannya, termasuk lagu-lagu yang menceritakan kerinduannya atas tanah kelahirannya, Surabaya.
Ia juga bermain di sejumlah film dan pernah meraih penghargaan Medali Perak dari Menteri Pertahanan Belanda untuk peran sebagai Tante Lien yang telah menjadi ajang reuni para veteran perang tentara Kerajaan Belanda. (pul)