Manusia raksasa pernah menjadi bagian peradaban modern. Foto dok net
abad.id- Penelitian tentang keberadaan manusia purba erectus tidak pernah berinteraksi dengan manusia modern masih menjadi pertanyaan para ahli. Beberapa cerita rakyat selalu menggambarkan bentuk manusia pubra berbadan sangat besar, berada di tengah kehidupan masyarakat. Misalnya cerita rakyat timun mas, yang mengisahkan perempuan yang seharusnya menjadi tumbal manusia raksasa, ternyata berhasil mengalahkan makluk ganas tersebut.
Atau epos Mahabarata dan Ramayana yang digambarkan manusia raksasa tersebut tinggal di sebuah hutan dengan sebutan Buto. Makluk ini selalu membawa malapetaka bagi manusia yang memasuki kawasan hutan. Hingga suatu saat dalam pelariannya masuk hutan, Sang Bima berhasil mengalahkan seorang raja Buto bernama Arimba. Karena merasa kasihan ditinggal mati saudara laki-lakinya, akhirnya Sang Bimo menikah dengan Arimbi adik Arimba. Dari pernikahan ini lahirnya Raden Gatutkaca manusia yang bisa terbang sakti mandraguna.
Baca Juga : Cerita Budidaya Ikan di Jaman Purba
Mitos lain tentang 'balung buto' alias 'tulang raksasa' yang pernah hidup di Sangiran Karanganyar Jawa Tengah. Temuan tulang raksasa ini terkenal di dunia karena menjadi situs arkeologi tentang manusia purba.
Masyarakat sekitar menyebut fosil tersebut sebagai balung buto. Mereka percaya balung buto dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti demam, sakit perut, encok, bisul, disentri, pusing, sakit gigi, gatal-gatal, keseleo/retak tulang, hingga membantu ibu-ibu yang susah melahirkan.
Dalam buku Balung Buto, Warisan Budaya Dunia Dalam Perspektif Masyarakat Sangiran tulisan Bambang Sulistyanto, digambarkan zaman dahulu kehidupan masyarakat diganggu oleh para raksasa. Rombongan raksasa merusak tanaman dan memangsa hewan ternak, bahkan anak-anak. Penduduk Sangiran yang ketakutan harus bersembunyi ke balik bukit, meminta perlindungan ke orang yang sakti bernama Raden Bandung.
Baca Juga : Perburuan Paling Purba, Berburu Harimau
Raden Bandung datang mencoba bermidiasi dengan para raksasa, tapi upaya komunikasi gagal. Para raksasa malah meminta anak manusia untuk dimangsa. Maka Raden Bandung dan pasukannya memilih berperang melawan para raksasa.
Pada pertempuran pertama, Raden Bandung dan pasukannya kalah dan harus mengungsi. Raden Bandung kemudian bertapa sewindu dan mendapat wahyu agar mengasah kukunya. Sangir dalam hal ini dimaknai sebagai mengasah kuku Raden Bandung. Maka jadilah daerah ini disebut Sangiran.
Sejak penemuan tulang purba di trinil dan berita tentang tulang raksasa di Sangiran, geliat ilmuwan untuk menggali keberadaan manusia purba semakin aktif. Termasuk 2 ilmuwan pribumi dan warga Belanda R. Tjokrohamdjojo dan Johan Duyfjes. Pada 87 tahun silam berhasil menemukan fosil manusia purba di Kepuhklagen desa Pening Kabupaten Mojokerto.
Mereka menggali informasi dari warga jajahan, hingga suatu saat berhenti di sebuah tanah tandus bekas muara sungai purba. Tempat penemuan fosil manusia purba Pithecanthropus Mojokertensis resmi mulai dilakukan eksavakasi pada 13 Februari 1936.
Baca Juga : Mengenang 41 Tahun Candi Borobudur Dipugar
Pada masa jaman kolonial, lokasi ditemukan berada di Kepuh Klagen (dulu disebut Kepuh Blandong) desa Perning, kecamatan Jetis, Mojokerto. Namun pada tahun 1974 sejak bubarnya Karisidenan Gresik, tempat itu berubah status. Jika awalnya masuk wilayah Kabupaten Mojokerto kini beralih masuk ke Kabupaten Gresik dan masuk Kecamatan Wringinanom.
Monumen penemuan fosil dibangun dan diresmikan pada 1996 oleh perwakilan 11 negara untuk mengenang 100 tahun penemuan fosil pada tahun 2036 mendatang. Pembangunan monumen tepat di lokasi penemuan fosil yang bersejarah itu. Lokasinya jauh dari pemukiman, di ladang milik warga. Foto Pulung Aji
R. Tjokrohamdjojo dan Johan Duyfjes memberi nama temuannya Pithecanthropus mojokertensis atau manusia kera dari Mojokerto, salah satu manusia purba jenis Pithecanthropus tertua yang ditemukan di Indonesia. Pithecanthropus Mojokertensis disebut juga Pithecanthropus Robustus yang artinya manusia kera yang sangat kuat.
Temuan berupa fosil tengkorak yang berada pada lapisan Pleistosen Bawah. Berupa fosil anak-anak berusia sekitar 5 tahun. Makhluk ini diperkirakan hidup sekitar 2,5 sampai 2,25 juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Mojokertensis Berbadan tegap, mukanya menonjol ke depan dengan kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat. Atap tengkorak, berupa rahang atas, rahang bawah, dan gigi lepas.
Baca Juga : Candi Tikus Peninggalan Majapahit Multi Fungsi
Fosil temuan Andojo nama panggilan R. Tjokrohamdjojo ini memiliki ciri-ciri, dan Kontroversi. Seperti Tulang pipi dan alat pengunyah kuat Tulang kening tebal, menonjol, dan melebar sampai ke pelipis Muka menonjol ke depan Tulang kepala belakang terlihat menonjol Berbadan tegap Tinggi badan antara 165-180 cm Otot-otot tengkuk kukuh Volume otak antara 650-1.000 cc
Pola Hidup Manusia Purba Mojokerto
Lokasi penemuan fosil Pithecanthropus mojokertensis di sekitar perbukitan dusun kepuhklagen. Untuk menuju kawasan monumen membutuhkan jarak 2 kilometer dari kali brantas yang melintas di Wringinanom. Kawasan Kepuhklagen banyak perbukitan kering, dengan beberapa lembah. Saat ini hanya tanaman jagung dan tebu yang bisa hidup di kawasan itu, karena sulitnya air. Beberapa warga mengandalkan tambang tanah uruk untuk mencukupi kebutuhan selain bertani.
Baca Juga : Candi Brahu Bukti Toleransi Beragama di Majapahit
Kembali ke masa purba, diyakini terjadi evolusi iklim pernah terjadi di kawasan itu. Kawasan yang kini kering, diyakini dulu merupakan lahan subur dan penuh binatang buruan. Terdapat lembah lembah yang penuh air yang mengalir ke sungai besar. Lembah itu menjadi tempat hidup yang nyaman bagi manusia purba. Mereka selalu mencari lembah lembah dan dengan cara berpindah-pindah tempat atau nomaden, menyesuaikan dengan ketersediaan makanan. Mereka sangat menggantungkan diri pada kondisi alam dan hidup berkelompok. Namun, kelompok mereka hanya dalam skala kecil karena mereka juga mempertimbangkan jumlah makanan yang akan didapatkan.
Makanan utama mereka adalah daging yang didapatkan dari berburu. Belum ada peradapan bercocok tanam, serta kemampaun membuat alat yang paling sederhana. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu dengan alat-alat yang sebagian besar terbuat dari batu. Alat-alat tersebut terdiri dari kapak perimbas, alat serpih, kapak penetak, dan peralatan dari tulang. Peralatan tersebut mereka gunakan untuk memotong hasil buruan dan sebagai penggaruk bahan makanan seperti umbi-umbian dari dalam tanah.
Perburuan Manusia Purba Tantangan Arkeolog
Sebenarnya temuan Pithecanthropus Mojokertensis ini bukan yang pertama bagi arkeolog. Jauh sebelumnya, ada berbagai fosil manusia purba dengan jenis Pithecanthropus telah ditemukan di wilayah negara jajahan Hindia Belanda. Berbagai jenis fosil manusia purba jenis Pithecanthropus sendiri dibagi menjadi tiga jenis. Yaitu jenis Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Mojokertensis, dan yang terakhir adalah jenis Pithecanthropus Soloensis. Kegiatan penelitian dan penemuan fosil manusia purba dengan jenis Pithecanthropus dimulai pada sekitar tahun 1890-an di di Trinil wilayah Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah.
Baca Juga : Misteri Candi Bajangratu di Trowulan
Perburuan dan rasa penasaran peneliti Belanda dengan terus menggali informasi dari masyarakat jajahan, serta menggali langsung tempat yang kemungkinan dan diyakini terdapat kerangka purba. Kegiatan penelitihan itu juga melibatkan Arkeolog pribumi R. Tjokrohamdjojo dan seorang geolog asal Negara Jerman. Paleontolog tersebut bernama Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald atau yang akrab dikenal dengan nama von Koenigswald. Prestasi lain setelah menemukan Pithecanthropus Mojokertensis, Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald juga menemukan fosil dari manusia purba yang berjenis Meganthropus paleojavanicus pada sekitar tahun 1941 di wilayah Sangiran. (pul)