Letusan terjadi pada pukul 06.15 pagi pada 31 Agustus 1951 yang menyebabkan tujuh orang tewas dan melukasi 157 orang. Setidaknya terdengar empat dentuman keras akibat letusan. Hujan batu yang sebagian sebesar buah mangga menerpa sebagian wilayah Margomulyo. Hujan abu terjadi selama sekitar satu jam dan mencapai kota Bandung.
Sebanyak 5160 orang menjadi korban jiwa akibat letusan gunung Kelud pada tengah malam, 20 Mei 1919 yang disebut terbesar dalam abad 20. Letusan ini sangat keras sehingga dentumannya terdengar sampai ke Kalimantan. Hujan batu cukup lebat dan sebagaian atap rumah hancur, dan hujan abu mencapai Bali. Kota Blitar dilaporkan mengalami kehancuran akibat letusan ini. Tampak aliran lahar Gunung Kelud 1885-1920. Foto Pinterest
abad.id-Kakek Pranoto menggerutu ketika dipaksa keluar bengkel oleh istrinya. Secara tergopoh-gopoh la keluar menghampiri tetangganya yang sedang ribut bergerombol. Semua orang menatap langit arah utara yang mulai muncul asap hitam tinggi memancar dari lubang kepundan Gunung Kelud. Bumi kembali berguncang. Tapi Pranoto teramat tenang. ”Tidak akan ada apa-apa.'' gumamnya.
Ia masuk lagi ke kolong mobil. Sewaktu Gunung Kelud menggelegar siang hari, ia sama sekali tidak memperdulikan. Kakek Pranoto baru sadar ketika pasir dan kerikil menghujani atap rumahnya. Kali ini ia panik. Istrinya hanya bisa memandang langit yang benar-benar sudah menjadi gulita.
Baca Juga : https://abad.id/newsDetail/883-rara-anteng-dan-joko-seger-dalam-legenda-gunung-bromo
Masih beruntung dalam gelap itu listrik masih menyala. Beberapa warga yang sudah berpengalaman dengan leusan Gunung Kelud di Kelurahan gedog Kota Blitar mulai sibuk dengan menutupi sumur dengan alat seadanya. Kearifan lokal jika terjadi bencana juga dilakukan, misalnya membunyikan kentongan tanda waspada. Beberapa pria dewasa mulai berpatroli keliling kampung ditengaha hujan abu, guna melindungi keselamatan warganya.
Sementara istri Pranoto mulai sibuk menutupi hidangan makanan di meja dengan kain penutup. Dalam kearifan lokal, makanan baik yang sudah matang atau yang masih berupa bahan wajib ditutupi dan disembunyikan. Agar tidak diganggu magluk goib yang memanfaatkan perubahan waktu siang yang telah menjadi malam karena matahari tertutup letusan. “ Makanan menjadi cepat basi dan berubah rasa kalau tidak diselamatkan,” cerita Istri Pranoto.
Sementara itu di rumah kami beberapa warga sudah mulai berkumpul. Rumah yang baru direnovasi ini tersebut dianggap lebih kuat dari milik tetangga yang umumnya berbahan kayu. Beberapa dari yang berkumpul tidak saling kenal, sebab sebagian dari mereka memang warga yang kebetulan sedang melintas dan langsung menepi ketika terjadi hujan abu. Sejenak rumah kami seperti pengungsian yang tidak dipersiapkan. Untuk menjamu tamu warga tersebut, tuan rumah menghidangkan mie instan dengan kuah yang hangat.
Baca Juga : Duar..! Pesawat PANAM Tabrak Gunung, 107 Penumpang tewas
Hari itu saya memang pulang lebih awal dari sekolah. Kabar tentang Gunung Kelud hendak meletus sudah didengar pihak guru. Maka saat murid-murid tiba di sekolah langsung dipertintahkan pulang dengan cepat.”Semua harus pulang, jangan mampir-mampir dan cari tempat yang aman sebab Gunung Kelud siang ini akan meletus,” perintah guru kelas dan disambut riang gembira.
Kami tidak pernah membayangkan kepanikan orang tua saat ancaman bencana sudah menunggu, sementara sang anak belum tiba di rumah. Di perjalanan pulang sekolah, kami masih bersenda gurau seperti menganggap bencana itu tidak pernah ada arti. Jarak antara sekolah dengan rumah sekitar 2 kilo ditempuh jalan kaki. Pada hari itu, kami tidak tergesa-gesa menuju rumah, bahkan masih mampir beli jajan di warung sekolah.
Menjelang siang, saya sudah tiba di rumah. Orang tua sudah tampak cemas menunggu segera memerintahkan anak-anaknya ganti baju. Kemudian mencari pelepah daun pisang di belakang rumah sebanyak-banyaknya untuk memberi makan 12 ekor kambing di kandang. “Sebentar lagi hujan abu dan akan sulit mencari daun segar untuk ternak. Ayo cepat cari sebanyak banyaknya daun-daun segar, setelah itu disimpan di sebelah kandang,” perintah bapak.
Tugas utama sudah selesai, kemudian saatnya menunggu datangnya hujan abu seperti yang diperkirakan. Tepat tengah hari, tiba-tiba mendung tebal muncul dan membawa butiran kerikil seukuran beras. Saya harus mengunakan payung untuk menutupi kepala dari hujan abu. Meskipun demikian, rambut saya sudah penuh dengan pasir yang lengket melekat dan seluruh tubuh berdebu. “Cepat tutup sumurnya dengan papan kayu, dan kalian masuk rumah” perintah bapak.
Baca Juga : Cerita Dari Pelaut Letusan Gunung Krakatau
Saya segera masuk rumah yang sudah mulai penuh warga pengungsi. Situasi menjadi sangat mencekam. Terdengan susul menyusul suara petir menggelegar, dan kilatan cahaya dari arah utara. Hujan abu yang sebelumnya jarang-jarang, kini semakin pekat. Beberapa kali muncul goncangan gempa, lalu siang itu sudah benar benar menjadi malam. Dalam suasana genting, saya masih sempat bermain perang pasir, dan berlarian menuju jalan utama antar propinsi yang sepi. Tampak hanya sebuah bus Harapan Jaya yang melintas berani menerobos hujan pasih yang pekat.
Abu memutih semakin menutupi dedaunan. Sementara banjir pasir menghampar di seluruh permukaan tanah. Rumah rumah warga juga tertutup pasih. Beberapa diantaranya sudah roboh karena tidak kuat menahan beban. Suara panggilan sholat ashar dari masjid menjadi sayub-sayub terdengar, kalah kencang dari gemuruh Gunung Kelud. Suara petir akan terdengar dua kali, ketika arah gunung memercikan api akan dijawab dari arah selatan dengan suara yang sama kencangnya. Hari ini alam sedang memiliki pesta besar seperti iring-iringan karnafal bala tentara membawa obor melewati sungai yang disiapkan sebagai jalan. Larva pijar ini akan menerjang apapun yang menghambat perjalanan. Juga terdengar suara gemertak dari balik larva yang melintas, seperti irama gamelan dengan iringan senandung nyanyian dan sorak-sorai.