images/images-1689576549.jpg
Sejarah

Berharap Segera Pagi Saat Letusan Gunung Kelud

Pulung Ciptoaji

Jul 17, 2023

476 views

24 Comments

Save

Letusan terjadi pada pukul 06.15 pagi pada 31 Agustus 1951 yang menyebabkan tujuh orang tewas dan melukasi 157 orang. Setidaknya terdengar empat dentuman keras akibat letusan. Hujan batu yang sebagian sebesar buah mangga menerpa sebagian wilayah Margomulyo. Hujan abu terjadi selama sekitar satu jam dan mencapai kota Bandung.

 

kelud

 

Sebanyak 5160 orang menjadi korban jiwa akibat letusan gunung Kelud pada tengah malam, 20 Mei 1919 yang disebut terbesar dalam abad 20. Letusan ini sangat keras sehingga dentumannya terdengar sampai ke Kalimantan. Hujan batu cukup lebat dan sebagaian atap rumah hancur, dan hujan abu mencapai Bali. Kota Blitar dilaporkan mengalami kehancuran akibat letusan ini. Tampak aliran lahar Gunung Kelud 1885-1920. Foto Pinterest 

 

abad.id-Kakek Pranoto menggerutu ketika dipaksa keluar bengkel oleh istrinya. Secara tergopoh-gopoh la keluar menghampiri tetangganya yang sedang ribut bergerombol. Semua orang menatap langit arah utara yang mulai muncul asap hitam tinggi memancar dari lubang kepundan Gunung Kelud. Bumi kembali berguncang. Tapi Pranoto teramat tenang. ”Tidak akan ada apa-apa.'' gumamnya.

 

Ia masuk lagi ke kolong mobil. Sewaktu Gunung Kelud menggelegar siang hari, ia sama sekali tidak memperdulikan. Kakek Pranoto baru sadar ketika pasir dan kerikil menghujani atap rumahnya. Kali ini ia panik. Istrinya hanya bisa memandang langit yang benar-benar sudah menjadi gulita.

 

Baca Juga : https://abad.id/newsDetail/883-rara-anteng-dan-joko-seger-dalam-legenda-gunung-bromo

 

Masih beruntung dalam gelap itu listrik masih menyala. Beberapa warga yang sudah berpengalaman dengan leusan Gunung Kelud di Kelurahan gedog Kota Blitar mulai sibuk dengan menutupi sumur dengan alat seadanya. Kearifan lokal jika terjadi bencana juga dilakukan, misalnya membunyikan kentongan tanda  waspada. Beberapa pria dewasa mulai berpatroli keliling kampung ditengaha hujan abu, guna melindungi keselamatan warganya.

 

Sementara istri Pranoto mulai sibuk menutupi hidangan makanan di meja dengan kain penutup. Dalam kearifan lokal, makanan baik yang sudah matang atau yang masih berupa bahan wajib ditutupi dan disembunyikan. Agar tidak diganggu magluk goib yang memanfaatkan perubahan waktu siang yang telah menjadi malam karena matahari tertutup letusan. “ Makanan menjadi cepat basi dan berubah rasa kalau tidak diselamatkan,” cerita Istri Pranoto.

 

Sementara itu di rumah kami beberapa warga sudah mulai berkumpul. Rumah yang baru direnovasi ini tersebut dianggap lebih kuat dari milik tetangga yang umumnya berbahan kayu. Beberapa dari yang berkumpul tidak saling kenal, sebab sebagian dari mereka memang warga yang kebetulan sedang melintas dan langsung menepi ketika terjadi hujan abu. Sejenak rumah kami seperti pengungsian yang tidak dipersiapkan. Untuk menjamu tamu warga tersebut, tuan rumah menghidangkan mie instan dengan kuah yang hangat.

 

Baca Juga : Duar..! Pesawat PANAM Tabrak Gunung, 107 Penumpang tewas

 

Hari itu saya memang pulang lebih awal dari sekolah. Kabar tentang Gunung Kelud hendak meletus sudah didengar pihak guru. Maka saat murid-murid tiba di sekolah langsung dipertintahkan pulang dengan cepat.”Semua harus pulang, jangan mampir-mampir dan cari tempat  yang aman sebab Gunung Kelud siang ini akan meletus,” perintah guru kelas dan disambut riang gembira.

 

Kami tidak pernah membayangkan kepanikan orang tua saat ancaman bencana sudah menunggu, sementara sang anak belum tiba di rumah. Di perjalanan pulang sekolah, kami masih bersenda gurau seperti menganggap bencana itu tidak pernah ada arti. Jarak antara sekolah dengan rumah sekitar 2 kilo ditempuh jalan kaki. Pada hari itu, kami tidak tergesa-gesa menuju rumah, bahkan masih mampir beli jajan di warung sekolah.

 

Menjelang siang, saya sudah tiba di rumah. Orang tua sudah tampak cemas menunggu segera memerintahkan anak-anaknya ganti baju. Kemudian mencari pelepah daun pisang di belakang rumah sebanyak-banyaknya untuk memberi makan 12 ekor kambing di kandang. “Sebentar lagi hujan abu dan akan sulit mencari daun segar untuk ternak. Ayo cepat cari sebanyak banyaknya daun-daun segar, setelah itu disimpan di sebelah kandang,” perintah bapak.

 

Tugas utama sudah selesai, kemudian saatnya menunggu datangnya hujan abu seperti yang diperkirakan. Tepat tengah hari, tiba-tiba  mendung tebal muncul dan membawa butiran kerikil seukuran beras. Saya harus mengunakan payung untuk menutupi kepala dari hujan abu. Meskipun demikian, rambut saya sudah penuh dengan pasir yang lengket melekat dan seluruh tubuh berdebu. “Cepat tutup sumurnya dengan papan kayu, dan kalian masuk rumah” perintah bapak.

 

Baca Juga : Cerita Dari Pelaut Letusan Gunung Krakatau

 

Saya segera masuk rumah yang sudah mulai penuh warga pengungsi. Situasi menjadi sangat mencekam. Terdengan susul menyusul suara petir menggelegar, dan kilatan cahaya dari arah utara. Hujan abu yang sebelumnya jarang-jarang, kini semakin pekat. Beberapa kali muncul goncangan gempa, lalu siang itu sudah benar benar menjadi malam. Dalam  suasana genting, saya masih sempat bermain perang pasir, dan berlarian menuju jalan utama antar propinsi yang sepi. Tampak hanya sebuah bus Harapan Jaya yang melintas berani menerobos hujan pasih yang pekat.

 

Abu memutih semakin menutupi dedaunan. Sementara banjir pasir menghampar di seluruh permukaan tanah. Rumah rumah warga juga tertutup pasih. Beberapa diantaranya sudah roboh karena tidak kuat menahan beban. Suara panggilan sholat ashar dari masjid menjadi sayub-sayub terdengar, kalah kencang dari gemuruh Gunung Kelud. Suara petir akan terdengar dua kali, ketika arah gunung memercikan api akan dijawab dari arah selatan dengan suara yang sama kencangnya. Hari ini alam sedang memiliki pesta besar seperti iring-iringan karnafal bala tentara membawa obor melewati sungai yang disiapkan sebagai jalan. Larva pijar ini akan menerjang apapun  yang menghambat perjalanan. Juga terdengar suara gemertak dari balik larva yang melintas, seperti irama gamelan dengan iringan senandung nyanyian dan sorak-sorai.

 

kelud

Letusan terjadi pada 13 Pebruari 2014 telah meluluhlantakan sebuah desa di Kecamatan Ngantang Malang sisi utara Gunung Kelud. Foto Bagus 

 

Setelah 18.00 Wib dihujani abu dan batu kerikil, suasana mulai reda. Panggilan sholat magrib kali ini sangat jelas dari masjid kampung. Beberapa warga yang sebelumnya singgah di rumah mulai pamit untuk pulang menjenguk tempat tinggalnya. Begitu pula dengan warga yang tidak kami kenal, pamit dan mulai mengayun sepeda angin meninggalkan rumah.

 

Baca Juga : Brak !, DC 8 Martin Air Menabrak Gunung, Ratusan Haji Langsung Husnul Khatimah

 

Hari semakin gelap karena memang waktu sudah malam. Dari atap rumah saya masih bisa menyaksikan cahaya memerah dari arah utara. Namun sudah tidak ada lagi letupan berulang. Beruntung, listrik masih menyala dan air sumur masih mengeluarkan sumbernya. “Setelah makan kalian tidur, bapak masih membersihkan pasir dari atap rumah,” perintah bapak.

 

Bencana  masih belum usai. Saat tengah malam terjadi hujan air yang sangat deras. Memang, suasana menjadi semakin dingin setelah sebelumnya mencekam. Namun atap bangunan yang sebelumnya sudah penuh pasir akan menjadi berat bebannya oleh datangnya air. Akibatnya beberapa warga menyaksikan sendiri atap rumahnya roboh. Bahkan ada tetangga yang terluka terkena pecahan genting dari atap bangunan. Hujan hanya sebentar, dan berhasil menyapu debu yang berterbangan seperti lalat.

 

Musim Paceklik Pasca Bencana

 

Letusan Gunung Kelud sangat dahsyat terjadi pada 10 Februari 1990. Letusan utama disertai awan panas sejauh 5 km dari kawah. Daerah yang rusak tidak terlalu luas, namun sebaran abu sangat luas dan diperkirakan mencapai luasan 1700 km persegi. Sekitar 500 rumah rusak akibat tertimpa hujan abu.

 

Butuh waktu berbulan-bulan untuk pemulihan warga terdampak letusan Gunung Kelud. Pemulihan mulai sektor infrastruktur yang hancur, juga pemulihan ekonomi warga yang kehilangan mata pencaharian. Pemerintah saat itu sudah berusaha membantu menyelesaikan persoalan rumah warga yang ambruk. Beberapa berita koran di Jawa Pos yang menjadi langganan menyebutkan, tidap hari sumbangan dari pembaca terus bertambah. Sekaligus kabar tentang pengungsian di kawasan desa Gambar yang sangat memprihatinkan. Saat itu, ada 32 orang yang dinyatakan tewas dan  hilang. Mereka yang hilang umumnya pekerja tambang pasir, serta pencari rumput di kawasan perkebunan Bantaran. “Mungkin mereka tidak bisa kembali pulang saat letusan terjadi,” kata seorang pejabat dalam sebuah wawancara.

 

 

kelud utama

Letusan 5 November 2007 Gunung Kelud tidak eksplosif seperti sebelumnya, melainkan kemunculan kubah lava yang besar di kawah Kelud. Kubah itu terus tumbuh hingga berukuran selebar 100 meter. Akibat aktivitas tinggi tersebut terjadi gejala unik dalam sejarah Kelud dengan munculnya asap tebal putih dari tengah danau kawah diikuti dengan kubah lava dari tengah-tengah danau kawah sejak tanggal 5 November 2007 dan terus "tumbuh" hingga berukuran selebar 100 meter. Kemudian letusan  kembali terjadi pada 13 Pebruari 2014 meluluh lantakan kubah gunung. Foto Bagus 

 

Sementara itu bagi keluarga kami bencana tersebut memaksa  bapak harus ijin dari kesatuannya untuk tidak masuk dinas. Beruntung, sang komandan kesatuan sangat baik dan memberi watu seminggu untuk menyelesaikan pemulihan pasca bencana. Saya sendiri juga tidak masuk sekolah selama 2 minggu, sebab diumumkan kondisi pendidikan sangat kacau.

 

Baca Juga : Jenderal Loyalis Sukarno Tewas di Riung Gunung

 

Saya bersyukur tidak ada bantuan apapun dari pemerintah kepada keluarga kami. Saya sendiri melihat, banyak warga lain yang jauh membutuhkan karena rumahnya roboh, atau kesulitan pangan dan sumber mata pencaharian. Warga yang memiliki sawah tidak bisa menanam apapun selama masih penuh pasir. Sedangkan para peternak terpaksa harus menjual hewannya dengan harga murah, karena sulit mendapatkan rumput segar. Keluarga kami harus menjual semua kambing peliharaan karena memang tidak ada  daun di kebun yang bisa buat makan. Semua penuh pasir dan abu. Meskipun dibersihkan dengan air, kambing tidak mau makan sebab masih beraroma belerang sisa gunung.

 

Semuanya harus dimulai dari awal. Sebab sumber penghidupannya baik petani dan pemilik ternak harta bendanya telah habis. Bahkan jika tidak ada bantuan pangan dan renovasi rumah, mungkin yang memiliki hutang akan semakin bertambah. (pul)

 

 

Artikel lainnya

Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari Gedong Nasional Indonesia (GNI)

Author Abad

Oct 29, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023

Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han

Malika D. Ana

Jan 14, 2023

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Kapan Indonesia Siap Berdemokrasi?

Author Abad

Nov 01, 2022

Dekrit Untuk Kembali ke UUD 45 Asli

Malika D. Ana

Jul 06, 2023