Bioskop Broadway Jalan Embong Malang Surabaya pada tahun 1950. Foto FB
Bioskop Purnama di kawasan Dinoyo Surabaya pernah selalu sesak penonton penggemar film india tahun 1970. Foto FB
abad.id- “Saksikan film terbaru dengan artis Meriam Belina dan Ongky Alexander “. Demikian tulisan iklan pada spanduk yang terpasang di sebuah gedung bioskop pada tahun 1980. Gedung bioskop berupa bangunan tua dengan desain arsitek kolonial berada di tengah kota. Gambar cuplikan adegan film dipilih saat adegan paling mengundang rasa penasaran. Seperti adegan perang, ledakan, atau sedikit mesum.
Baca Juga : Tontonan Rakyat, Pilih Sandiwara Toneel atau Bioskop
Usai hancurnya industri pertunjukan keliling mulai toneel, ketoprak dan ludruk saat tentara Jepang masuk, banyak pelaku seni banting setir membuat film. Sutradara Muhamad Said salah satunya, mulai memproduksi film dan karyanya diputar di gedung bioskop. Seperti Film Untuk Sang Merah Putih, serta Film Sampah dan Dr Samsi. Beberapa nama artis yang pernah terlibat dalam film tahun 1950an itu misalnya Nurhasanah, Titin Sumarni, dan Nurnaningsing.
Sejak peminat film semakin banyak, maka mulai bermunculah gedung-gedung bioskop. Di Surabaya saja, pernah berdiri 50 gedung bioskop dengan penonton yang tidak pernah sepi. Bahkan tidak hanya sandiwara toneel yang keliling, dulu juga terdapat tontonan bioskop keliling. Ciri-ciri bioskop keliling selalu digelar di tengah lapangan desa selama satu minggu, dan akan pindah tempat jika penonton mulai sepi.
Cara promosi bioskop sungguh unik. Yaitu petugas bioskop berkeliling kampung menggunakan mobil pincup atau dokar. Petugas berkeliling pada pagi hari untuk menyampaikan jadwal film yang akan diputar. Petugas juga membawa blosur kertas berisi pengumuman jadwal dan gambar promosi film. Saat belum ada pengeras suara, petugas akan membawa tetabuhan drum dan trompet untuk menarik perhatian. Setelah pengeras suara familier untuk mengundang massa, petugas mengganti drum dan trompet itu dengan musik dari kaset tape racorder. Sesekali petugas menyampaikan pesan promosi dengan mick yang kepalanya ditutup kain.
Baca Juga : Menolak Punah Musik Keroncong
Para penggemar film akan familiar dengan bunyi trojing trojing yang mengundang itu. Mereka akan mendekat mobil pick up bisa membaca dan melihat poster film. Puas berkeliling, petugas akan kembali ke tempat bioskop untuk menyiapkan tontonan. Untuk bioskop keliling, umumnya berbarengan dengan kegiatan pasar malam di alun alun atau di lapangan desa.
Kini waktu memasuki mulai sore pukul 15.00 Wib, dan pertunjukan bioskop akan dimulai. Para penonton mulai berdatangan dan membeli tiket. Rata-rata harga tiket sama sekitar Rp 200. Bioskop Purnama dan Garuda yang selalu ramai warga kelas menengah Surabaya. Sedangkan bioskop Wonokromo dan Kalidami harga tiket lebih murah, karena konsumennya warga menengah ke bawah. Di bioskop ini sering memutar film yang sudah lama masa edarnya, sehingga menjadi alasan tiket murah. Kelas sosial ini sudah tampak dari genre film yang diputar, serta fasilitas gedung bioskop. Di bioskop Purnama kawasan Dinoyo misalnya, banyak memutar film-film India dan Lokal Indonesia. Sedangkan Bioskop dengan konsumen kelas atas bisa ditemukan di mall Delta Surabaya, Tunjungan Plaza, Mall THR dan Mintra Balai Pemuda dengan fasilitas ruang ber AC. Genre film yang diputar produksi film Holywood dan mandarin.
Karcis bioskop Garuda pada tahun 1970 sudah seharga Rp 200. Foto Fb
Setelah mendapatkan tiket, Petugas bioskop mulai menyambut para pengunjung. Di emperan gedung bioskop dekat pintu loket sudah terdengar musik yang menjadi Soundtrack. Tidak berselang lama penonton diperbolehkan masuk. Pentonton harus mendapatkan tempat duduk berdasarkan nomor karcis. Memang ada gedung bioskop yang membebaskan nomor tempat duduk, sehingga penonton selalu mencari tempat yang dekat dengan kipas angin. Karcis yang dikeluarkan petugas bioskop istilahnya catutan, dengan harga kursi balkon leih mahal dibanding kelas 1. Khusus anggota TNI akan mendapatkan prioritas gratis menonton film bersama keluarganya.
Baca Juga : Geef Mij Maar Nasi Goreng, Ungkapan Rindu Indonesia dari Wieteke Van Dort
Untuk jenis tempat duduk dibedakan masing-masing kelas bioskop. Kelas bioskop Purnama dan Garuda misalnya, tempat duduk berbahan pentil plastik. Sedangkan kelas bioskop Kalidami tempat duduk berbahan kayu yang tidak empuk sama sekali. Beda harga dengan tempat duduk di bioskop mitra balai pemuda berbahan spon yang empuk.
Film belum dimulai, sebab kursi masih banyak kosong dan penonton di luar belum juga masuk. Sayub sayub terdengar suara para penjual keliling menjajakan makanannya. “ Kacang-kacang, permen-permen, minum-minum, kwaci-kwaci,”. Makanan yang dijual dibungkus dengan contong kertas dengan harga Rp 50 setiap contong. Namun film belum juga dimulai, dan cuaca di dalam mulai gerah. Sayub sayub mulai terdengar suara anak kecil rewel.
Baca Juga : Rumah Pocong Sumi, Pernah Ditinggali Menteri Agama Era Soekarno
“ Kring” bel berbunyi sangat panjang, sebagai tanda lima menit lagi film segera diputar. Dua menit kemudian terdengar suara kring kedua, dan saatnya penerangan lampu mulai dikurangi. Tiba-tiba suara penonton mulai bersemangat. Ada yang teplok tangan, ada suara suit suit kegirangan, sebab film akan dimulai.
Kini lampu mulai benar benar padam, sesat muncul lampu proyektor menyinari layar putih. Munculah pertunjukan film sesungguhnya. Film biasanya durasi sekitar 2 jam tanpa berhenti. Bisnis pertunjukan semakin berkembang sehingga tiap bioskop selalu memiliki proyektor ganda, sehingga waktu pause menjadi lebih singkat. Jika satu mesin berputar maka mesin satunya pause. Maka saat pita di mesin satu habis, maka mesin kedua langsung dinyalakan tanpa jeda.
Kini film telah selesai, dan lampu mulai dinyalakan bersama. Satu persatu penonton meninggalkan tempat duduknya. Mereka berjalan menuju pintu dengan melewati lorong. Para penonton masih belum puas dengan frame adegan film, dan dilanjutkan dengan diskusi bersama rombongannya.
Baca Juga : Kisah Sum Kuning, Hukum Sangat Runcing Kepada Orang Miskin
Sesekali terdengar senda gurau dari penonton yang berjalan keluar bioskop. Memang, film dan bioskop adalah produk budaya yang bercerita sisi kemanusiaan. Di gedung tersebut kadang terdengar gelak tawa dan suara riuh bahkan tangis bersama. Ya, Penonton sedang bercerita tentang hidupnya sendiri dan imajinasi. (pul)