Keluarga Sukarno dan Hatta hanya bisa memandang dengan tatapan kosong saat orang terdekatnya ditangkap tentara Belanda. Foto FB
abad.id-Pada 19 Desember 1948 dimulai aksi militer yang disebut 'aksi polisionil', sementara bagi orang Indonesia disebut Agresi Militer Kedua. Pihak Republik terkejud kejadian agresi militer kedua ini. Sebab dianggap pilihan waktunya tidak tepat. Sebab saat kejadian masih ada delegasi berunding di Kaliurang.
Baca Juga : Saat Serangan Agresi Militer ke II, Soekarno Hanya Takut Westerling
Menurut pejabat Kepala Staf TNI, T.B. Simatupang, tidak menyangka bahwa Belanda berani menyerang Yogyakarta sementara delegasi CGD berada di Kaliurang. Aksi militer sudah diantisipasi. Untuk mempersiapkan, pada tanggal 21 Desember pasukan Republik Indonesia telah merencanakan sebuah latihan besar-besaran.
Pagi buta hari Minggu tanggal 20 Desember 1948, dalam beberapa jam saja lapangan terbang Maguwo Yogyakarta berhasil dikuasai. Memang, pertahanannya tidak kuat, dengan mudah direbut pasukan terjun payung Belanda. Istana presiden sedikit panik.
Menurut ahli sejarah George Mac T.Kahin, yang pada waktu itu tinggal di Yogya sebagai mahasiswa peneliti, beberapa sebelumnya Soekarno telah menata koper karena akan pergi ke India. Nehru telah mengirim pesawat untuk menjemput Presiden Indonesia itu. Hatta dan kabinetnya akan terbang ke Bukittinggi, bahkan kalau perlu ke Aceh. Soekarno akan meneruskan rencananya untuk terbang ke New Delhi dan mungkin ke Amerika untuk menguji coba bakat oratorisnya di depan para anggota Dewan Keamanan.
Fatmawati beserta kedua anaknya mencari perlindungan di sebuah ruangan di bawah tanah yang digali di kebun istana. Soekarno tidak ada waktu untuk berlindung, walaupun di dekat istana terdengar ledakan bom. la tetap menyelenggarakan rapat darurat dengan menteri-menteri yang berada di Yogya.
Baca Juga : Sejak Peristiwa Zeven Provincien, Belanda Makin Sinis Dengan Pribumi
Mereka lalu mengirim telegram ke menteri keuangan Sjafroeddin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi. Sjafroeddin Prawiranegara diminta untuk membentuk suatu pemerintahan dalam pengasingan, jika pemerintah Republik Indonesia dilumpuhkan. Sjafroeddin membentuk pemerintahan di pengungsian Aceh ketika pasukan Belanda bergerak menuju Bukittinggi. Namun tidak banyak yang dilakukan kabinet Sjafroeddin.
Sementara itu Soedirman memilih meninggalkan istana untuk mempimpin perang gerilya dalam fungsinya sebagai Panglima Besar. Para militer yang masih leluasa bertindak, antara lain TB Simatupang dan pasukan garnisun di Vredenburg. Sedangkan AH Nasution bérada di luar kota sedang menyiapkan latihan kemiliteran.
Kini Presiden Sukarno tinggal menunggu kedatangan penguasa Belanda. Hari itu satu peleton korps pasukan khusus, di bawah pimpinan letnan J.B. Schüssler telah sampai di istana. Sempat terjadilah tembak-menembak yang gigih. Selang beberapa Waktu keluarlah tiga pengawal pribadi Soekarno, untuk gencatan senjata. Peleton yang mengepung istana dan komandan peleton bersama dengan ajudannya P.Vermeer, yang fasih bahasa Indonesia, berjalan ke serambi menuju tempat Soekarno yang sudah menunggu. Duduk ditempat itu Sjahrir dan Laksamana Udara Suryadarma.
Pertama-tama ditanyakan Soekarno kepada Schüussler dalam bahasa Belanda, apakah Kapten R. Westerling ikut terlibat. Schüssler berkata bahva dia sudah diganti lalu. Kemudian 60 penghuni istana diperintahkan untuk keluar dan mengumpulkan senjata. Setelah itu, Schiusler secara resmi menangkap Sukarno.
Baca Juga : Sayembara Berburu Binatang Buas di Era Hindia Belanda
Setelah peleton pasukan khusus meninggalkan istana, muncul Kapten A.V. Vosveld, atas nama Kolonel D.R.A.van Langen, komandan brigade-T, yang ditugaskan menduduki Yogya. Kapten Vosveld memasuki istana dengan pistol otomatis di tangan. Dia didampingi tiga anggota KNIL orang Ambon yang senang hati menembak mati Soekarno jika diperintah. Kapten Vosveld menyampaikan dengan suara lantang kepada orang-orang yang berkumpul di ruang depan istana, bahwa mereka dalam status ditahan.
Dalam perintah harian, Jenderal Spoor menekankan bahwa mereka tidak datang sebagai penguasa, tetapi sebagai pelindung. Maka penduduk sipil tidak boleh dibuat menderita. Namun kenyataannya perintah ini tidak dihiraukan. Pagi-pagi mereka mulai menembaki kota dengan senjata otomatis dan menjatuhkan bom dengan menggunakan pesawat yang terbang rendah.
Roeslan Abdulgani, yang saat itu menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan, menyaksikan semdiri dua anak buahnya yang berdiri di sebelah tiba-tiba terbunuh. Sedangkan ia sendiri terkena pecahan granat. Satu peleton khusus yang dipimpin seorang sersan, sambil mabuk menghentikan laju mobil yang ditumpangi Sekretaris Jenderal Santoso. Bersama penumpang lainnya Santoso diseret keluar dari mobil dan disuruh berdiri menghadap tembok. Lalu dor..seluruh rombongan ditembak mati.
Salah seorang penyerang Belanda, Letnan J.A. Bakker, perwira bagian penerangan brigade-T, dalam sebuah surat yang ditujukan kepada sanak-saudaranya, menceritakan tindak-tanduknya di Yogyakarta. Surat tersebut panjangnya 12 halaman.
Orang yang dijumpainya di Yogyakarta menurut Letnan Bakker adalah George Mac T.Kahin yang disebut Bakker sebagai seorang Amerika muda yang tidak tahu sopan santun. George Mac T.Kahin seorang ahli sejarah yang saat itu sedang menjadi mahasiswa sedang melakukan penelitihan di Yogjakarta. Bakker meminta agar mahasiswa yang protes itu "tutup mulut, dan jadilah anak yang manis."
Letnan Bakker juga menangkap kakek kecil dengan janggut kecil dan tidak bersepatu. Orang yang digambarkan tersebut adalah Menteri Luar Negeri Agoes Salim. Hal sama dilakukannya Letnan Bakker ialah dengan menahan mereka dan dimasukan ke sebuah truk terbuka dan dalam kondisi hujan deras. Para tahanan anggota kabinet itu diangkut dan dimasukan ke penjara Wirogunan.
Baca Juga : Mimpi Orang Belanda di Tanah Syurga
Setelah itu Letnan Bakker pergi ke istana tempat Soekarno dan keluarga dikenakan tahanan rumah. Saat bertemu Soekarno masih mengenakan kemeja dan bretel tanpa kopiah. “Sama sekali tidak mirip dengan lelaki ganteng seperti tampak di foto", Ia lebih mirip orang Cina yang mulai gundul yang termangu sedih, ” tulis Bakker. Beberapa hari kemudian Vosveld dan Letnan Bakker membawa Soekarno menghadap komandan daerah Jawa Tengah, Mayor Jenderal J.K.Meier.
Di kemudian hari, Soekarno selalu mengenang peristiwa 1945-1950, saat dia diperlakuan dengan hina. Terutama ketika ditangkap pada 20 Desember 1948, hingga mengobarkan rasa dendam terhadap orang Belanda. Surat Letnan Bakker kepada sanaknya itu membuktikan bahwa Belanda memang sama sekali tidak mengindahkan perasaan terhadap kepala negara. Tetapi yang oleh Letnan Bakker dan anak buahnya dianggap sebagai seorang kolaborator.
Mengenai penjemputan Soekarno, Bakker menulis, “Dengan kepala yang diangkat tinggi dan dengan mengenakan baju seragam yang mahal dia melangkah dengan berwibawa lalu bertanya apakah ajudannya boleh ikut serta di dalam mobil, yang tentu saja ditolak. Dia boleh duduk di sebelah Vosveld di dalam mobil jip, dan saya sendiri mengikuti dari belakang dengan jip saya. Untuk menjaga segala kemungkinan saya telah mendatangkan seorang operator film untuk merekam kejadian ini. Sebenarnya Saya mengharapkan keonaran, supaya dengan demikian saya mempunyai kesempatan untuk menghajarnya.”
Hatta Ditangkap dan Dipenjara di Sumatra
Hanya sebulan di Jakarta, setelah menikah Hatta bersama Rahmi terpaksa turut hijrah ke Yogyakarta. "Dengan mendadak suami saya mengatakan bahwa kami harus ke Yogya. Waktu itu sama sekali saya tak menyangka bahwa kami akan lama di Yogya," ungkap Rahmi.
Rahmi sedang mendongeng dan menghibur Meutia yang sangat sedih ditinggal Bung Hatta di pengasingan pulau Bangka
Dengan hanya membawa satu kopor pakaian, Rahmi berangkat bersama rombongan kecil bersama Bung Karno, Fatmawati serta Wangsa Widjaja dan Hutabarat. Mereka berangkat pada tanggal 3 Januari 1946 secara diam-diam dari belakang gedung Jalan Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Kemudian mereka naik kereta api.
Belanda merebut kembali Jakarta saat pemerintahan Indonesia yang masih sangat muda terpaksa pindah ke Yogya. Tahun 1947, tanggal 21 bulan Maret, lahirlah putri pertama keluarga Hatta. "Kami memberinya nama Meutia Farida," kata Rahmi.
Kata Meutia diambilkan dari nama Rahmi Siti Rahmiati Meutia, karena nama tersebut hampir tidak pernah dipakai. Ketika Meutia belum berusia setahun, pada tahun 1948 terjadilah clash. Bung Hatta bersama Bung Karno membuat pemerintahan darurat di Bukit Tinggi. Tak lama kemudian, Rahmi harus meninggalkan Yogya demi keamanan.
Baca Juga : Masa Bersiap, Peristiwa Brutal Paling Ditakuti Belanda
Bersama ayahnya, Rachim, Keluarga ini mengungsi ke Sarangan. “Untuk berhubungan dengan Hatta, sangat sukar. Ketika di Yogya masih lumayan, kami masih bisa berhubungan melalui radio telephon, walaupun untuk itu saya harus ke RRI (Radio Republik Indonesia). Tapi setelah berada di Sarangan, surat menyurat saja hanya bisa sebulan atau dua bulan sekali. Itupun bukan melalui kantor pos melainkan melalui orang, disampaikan secara berantai," cerita Rahmi.
Rahmi tetap memberikan dorongan semangat kepada suaminya. Dari Jawa, ia mengirim surat kepada Hatta dengan cara yang unik. "Tangan Meutia yang kecil itu saya letakkan di atas secarik kertas, lalu saya tarik garis mengikuti bentuk jari-jarinya. Dan saya tulisi kata keramat "merdeka," cerita Rahmi dengan tersenyum.
Kurang lebih 9 bulan di Sarangan, mereka kembali lagi ke Yogyakarta. Kemudian keluarga Hatta sempat berkumpul sebentar beberapa bulan. Namun kembali terjadi Agresi Militer ke 2 bulan Desember 1948. “Suami saya bersama Bung Karno dibawa Belanda. Saat itu Bung Hatta sedang sakit disentri. Mula-mula kami tak tahu ke mana mereka dibawa, baru kemudian saya tahu bahwa mereka diasingkan ke Bangka. Sedangkan kami tetap di Jalan Reksobayan, Yogyakarta,” cerita Rahmi.
Suatu ketika serangan umum ke Yogya yang dipimpin Soeharto telah berhasil mencuri perhatian orang Belanda. Dampak serangan itu, tentara belanda semakin ketat menjaga Yogjakarta dan mengamankan tokoh-tokoh republik. Rahmi dipindahkan ke istana gedung negara. Di sana sudah ada Sam Ratulangi, Moh Roem, Sastroamidjojo dan yang lainnya. Sesampai di sana, mereka baru sadar bahwa sesungguhnya sedang ditawan Belanda. Tujuannya mencegah agar tentara Rl tidak meneruskan serangannya. “Secara bergiliran kami disuruh berdiri di beranda istana." Jelas Rahmi.
Baca Juga : Inilah Rahasia Kuat Bangunan Kolonial Belanda
Setelah situasi mulai mereda, Rahmi dan Meutia kembali ke Jalan Reksobayan pada tanggal 6 Juli tahun 1949. Tidak lama kemudian Hatta dan Bung Karno kembali dari pembuangan di Pulau Bangka. Keluarga Hatta kembali berkumpul. Pada tahun 1950, Keluarga Hatta kembali ke Jakarta dan menempati rumah wakil presiden di Jalan Merdeka Selatan Jakarta. (pul)