Pemuda dayak yang misterius lengkap dengan anting dan tombak. Foto diambil pada tahun 1919. Sumber FB
abad.id-Pang Suma merupakan patriot asal Kalimantan Barat. Sosoknya yang sangat kuat membuat nyali Jepang menciut. Jasanya begitu besar bagi bangsa Indonesia. Namun masih jarang yang mengenal pejuang ini. Lantas, seperti apa sebenarnya Pang Suma.
Baca Juga : Alasan Westerling Menganggap Dirinya Sang Ratu Adil
Menurut penuturan cucu pengawal Pang Suma, Sera, atau lebih dikenal dengan Pang Ronda, bahwa Pang Suma tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas di Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Anak ketiga dari enam bersaudara ini memiliki nama asli Bendera bin Dulung. Namun ada pula yang menyebutnya Menera.
Nama Pang Suma diabadikan di sebuah gedung olahraga Pontianak, GOR Pang Suma. Foto dok net
Arti nama Pang Suma adalah Bapak si Suma. Panggilan dengan menggunakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil orang tua dengan menyebut nama anaknya yang paling besar. Ini dikarenakan agar lebih sopan dan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.
Pang Suma berjuang membebaskan Meliau dari penjajah Jepang, walaupun mati di tangan teman seperguruannya yang berkhianat karena bergabung bersama Jepang. Pang Ronda mengungkapkan cerita ini dari orang tua dan kakeknya. Bahwa perjuangan Pang Suma memang benar-benar gigih.
Baca Juga : Perang dan Muslihat Sentot Ali Basyah
Pang Suma saat menginjak dewasa, sama dengan masyarakat lainnya berada di bawah kekuasaan Jepang yang mengharuskan para kaum laki-laki harus bekerja untuk budak. Para pria dipaksa membawa batang kayu berukuran besar. Jika tidak kuat akan dipukul serta perlakuan lain kasar yang tidak manusiawi.
Latar belakang itulah, Pang Suma melawan ketidakadilan dan mendapat dukungan dari rakyat. "Kita bekerja mati-matian untuk Jepang dan kita nanti mati juga untuk Jepang, daripada kita mati untuk mereka kenapa kita tidak membunuh Jepang," kata Pang Ronda menirukan cerita kakeknya.
Rasa ingin membebaskan dari belenggu penjajah saat itu hanya dengan berbekal keberanian dan sebilah Sabur (sejenis mandau/parang panjang). Tiap kali akan melakukan perlawanan terhadap Jepang, Pang Suma selalu menyebar ‘mangkok merah’ sebagai tanda adanya ancaman.
Seketika berita menggegerkan terdengar pada Februari 1945, sebab di komplek Nitinan, di kampung Sekucing, kecamatan Meliau ditemukan mayat seorang pemimpin perusahaan kayu berkebangsaan Jepang bernama Kusaki. Kondisi petinggi Jepang tersebut sangat mengenaskan, ia tergeletak tanpa kepala. Ternyata pembunuh Kusaki sendiri adalah Pang Suma.
Baca Juga : Maradia Depu Pahlawan Nasional 28 Kali Pindah Penjara
Peristiwa tersebut hanyalah awal dari beragam perlawanan yang dilakukan oleh pejuang suku Dayak tersebut. Tak lama setelah peristiwa berdarah yang menimpa pimpinan perusahaan kayu itu, terjadi lagi penemuan mayat tanpa kepala di perusahaan kayu milik Jepang yang lain. Korbannya Soet Soegisang di Pulau Jambu. Sejak saat itu, keberanian Pang Suma pun ramai diperbincangkan.
Karena mulai khawatir dengan tindakan Pang Suma, Jepang akhirnya mengirim pasukan terlatih di bawah komando Kaisu Nagatani. Pimpinan pasukan Jepang tersebut bertekat untuk menghancurkan Pang Suma dan pasukannya, termasuk keluarganya sebagai bentuk balas dendam. Sampai di perkampungan Meliau, mereka menjadikan salah satu rumah pedagang China sebagai markas.
Esok harinya tentara Jepang melanjutkan perjalanan sampai di desa Kunyil. Para pasukan Jepang berhasil menguasai desa tersebut. Mereka lagi-lagi menggunakan sebuah bangunan sebagai markas. Namun, di suatu malam yang tak terduga, Pang Suma dan para anak buahnya yang bernama “Angkatan Perang Majang Desa” menyerbut markas tersebut. Kaisu Nagatani pun berhasil dibunuh oleh Pang Suma.
Baca Juga : Hari Ini 54 Tahun Lalu, Usman Harun di Eksekusi Mati di Penjara Singapura
Setelah berhasil membunuh banyak petinggi Jepang, pihak Jepang dibuat ketar-ketir dengan keberadaan Pang Suma. Beragam cara pun dilakukan Jepang, termasuk dengan mencari teman Pang Suma. Mereka mencari kelemahan patriot asal Dayak tersebut untuk bisa menumbangkannya
Sementara itu, Pang Suma dan Raden Iting (pewaris kerajaan Meliau) mendirikan markas di Kampung Rambai. Laskar Pang Suma pun berhasil menduduki kantor Guncho Meliau. Sementara Raden Iting juga memperkuat pertahanan mereka di seberang.
Pang Suma Tewas Ditembak Sahabatnya Sendiri
Bagi suku dayak, seseorang dapat dikatakan jago atau pahlawan bila dapat membunuh musuh paling banyak serta membawa pulang kepalanya sebagai bukti. Maka Pang Suma merupakan satu sosok yang dapat membahayakan bagi Jepang, karena sudah banyak yang terbunuh. Maka Jepang membayar teman seperguruan Pang Suma untuk membalas Pang Suma, yakni ditembak dengan buntat kuali.
Saat itu Meliau berhasil direbut oleh Jepang pada 30 Juni 1945. Pasukan Jepang menyerbu dan menguasai beberapa daerah di sana. Tanggal 17 Juli 1945 Pang Suma mencoba balas menyerbu markas Jepang. ia telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco (Camat) Meliau pada 17 Juli 1945. Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Di saat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang.
Baca Juga :Isi Pidato Tjokroaminoto Yang Mengantarnya ke Penjara
“Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang,” pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang.
Pang Suma ditembak bersama adiknya. Sang adik selamat namun Pang Suma meninggal dunia di bawah jembatan, yang berlokasi disebelah dermaga Meliau.
Kegigihan seorang Pang Suma melawan tentara Jepang pada tahun 1945 telah membakar semangat masyarakat Kalbar yang lain untuk mengusir penjajahan Jepang. Informasi kematian salah satu pejuang Kalbar dan Panglima Perang ini, tidak menyurutkan para anggota Perang Majang (pasukan pimpinan Pang Suma) untuk melanjutkan perjuangan. Mereka justru bergelora untuk mengusir Jepang dari Bumi Kalimantan Barat. Seperti di Ngabang yang dipimpin Panglima Batu, di Sanggau oleh Panglima Burung serta di Ketapang oleh Panglima Banjing dan Pang Layang. Mereka lakukan agar Jepang mengakhiri kekejamannya dan pergi dari Kalbar.
Baca Juga : Jejak Pasukan Gerilya Istimewa Anggotanya Mantan Serdadu Jepang
Nama Pang Suma diabadikan di sebuah gedung olahraga Pontianak, GOR Pang Suma. Bangunan ini selalu ramai digunakan oleh masyarakat Kalimantan Barat, khususnya masyarakat Kota Pontianak, untuk melakukan aktivitas olahraga. Perjuangannya dan pengorbanan yang patut diapresiasi bagi masyarakat Kalbar dan pemerintah. (pul)