abad.id- Banyak orang menganggap bahasa menunjukan suatu bangsa. Bahasa juga dijadikan identitas asal seseorang dalam pergaulan global. Misalnya bahasa Jawa, digunakan orang yang berdiam di Jawa dan perantauan orang Jawa. Ada pula mereka yang selalu menggunakan Bahasa Indonesia digunakan orang yang pernah tinggal di Indonesia, dan menganggap sebagai tanah leluhurnya.
Saat itu saya baru dua hari berada di Fuda Hospital Guangzhou. Rumah sakit berlantai 8 itu banyak melayani pasien kanker dari seluruh dunia. Disini saya tidak merasa kesulitan berkumunikasi, sebab beberapa petunjuk menggunakan Bahasa Indonesia. Mungkin fasilitas dari rumah sakit yang sengaja memprioritaskan Bahasa Indonedia, sebab banyak pasien juga berasal dari Indonesia. Jika kesulitan berkumunikasi, banyak penerjemah bahasan yang secara sukarela membantu keluarga pasien.
Baca Juga : Keramat dan Penuh Sejarah Keramik China
Salah satu penerjemah bahasa Indonesia itu Zhang Qing Feng, warga lokal yang saya kenal tanpa sengaja. Saat itu saya hendak mencari warung atau tempat makan sederhana di luar rumah sakit. Tentu saya kesuitan berkomunikasi dengan warga lokal yang lewat menggunakan bahasa Inggris. Tiba tiba Zhang datang menengahi saya. Bapak tua ini menjelaskan jangan pernah takut berkunjung ke Guangzhou, sebab banyak komunitas Indonesia siap membantu.
Saya langsung akrab dengan Zhang. Dari umurnya, saya bisa menebak sekitar 60 tahunan. Zhang Qing Feng sangat paham bahasa Indonesia sebab dia lahir dan pernah tinggal di pulau kelapa tersebut.
Baca Juga : Mengenal Kapiten Sepanjang Pemimpn Geger Pecinan
Bagi Zhang, yang tinggal di Jude Lu kasawasan Fuda Hospital Guangzhou china ini, bisa berbahasa Indonesia sunggung membanggakan. Zhang bisa berkomunikasi dengan siapa saja terutama ras melayu, yang sedang berobat atau berkunjung di Fuda Hospital. Dari kemampuan berbahasa Indonesia ini, Zhang berharap bisa memperkaya teman. Sekaligus bisa bernostalgia tentang masa lalunya di Indonesia.
Patung lima ekor kambing yang menjadi ikon kota Guangzhou ini terletang di tengah-tengah Yuexiu Park. Untuk meraihnya diperlukan untuk menaiki tangga hingga ke puncak taman. Foto Pulung
Zhang Qing Feng bukan sendiri yang mengangap negara Indonesia sebagai tanah kelahirannya. sebab, Zhang mengaku hanya bagian dari sejarah bangsa Indonesia. “ Saya bersama 7 orang keluarga asal Metro Lampung, harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1967. Saat itu, sedang transisi pemerintahan Sukarno ke Suharto, hingga mengorbankan ribuan etnis Tionghua di Indonesia. Kami diusir paksa dengan diangkut 2 kapal menuju China,” cerita Zhang.
Baca Juga : Akhir Kisah Geger Pacinan, Gubernur Jenderal Valckenier Ditahan
Zhang mengaku, saat itu umurnya 8 tahun. Tidak satupun keluarga yang bisa berbahasa dan menulis mandarin. Sebab selama di Indonesia memang tidak pernah diajarkan tentang bahasa dan budaya leluhurnya. “Maka hingga hari ini, keluarga besar kami masih mempertahakan bahasa Indonesia untuk komunikasi,” cerita Zhang.
Menurut Zhang, saat ini di Quangzhou terdapat hampir 500 ribu keluarga pengungsi asal Indonesia yang masih aktif berbahasa Indonesia. Seperti halnya warga China lainnya, Zhang bersama keluarga tinggal di flat susun lantai 8 dengan ruang terbatas. Sejak pensiun dari perusahaan pengerukan dermaga, Zhang aktif membantu menjadi penerjemah bagi siapapun orang Indonesia yang dijumpainya.
Putus Hubungan Dengan China
Di Jakarta kawasan Glodok tiba tiba menjadi ramai. Kawasana peChinan ini didatangi beberapa aksi demontrasi sejak munculnya peristiwa pembunuhan para jendral tahun 1965. Salah satu tempat yang dituju para demontran, sebuah tanah lapang seluas 1 hektar yang sebelumnya hendak dibangun gedung super megah. Pondasi bangunan sudah nancap, dan di temat itu konon akan dibangun pusat perbelanjaan bernama “Galeria Glodok”. Namun semua tinggal kenangam sebab lahan yang dekat kedutanan besar RRT itu sudah ditutup pasca pembekuan hubungan Indonesia-China.
Baca Juga : Ketika Prajurit Mataram Terlibat Perang Tahi di Batavia
Saat itu September akhir tahun 1967, pemerintah republik Indonesia mulai membahas rencana pembekuan hubungan diplomatik dengan republik rakyat China. Keputusan tersebut diambil karena China dianggap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan bantuan yang diberikannya kepada G-30-S,PKI, baik untuk persiapan dan pelaksanaan maupun sesudah terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut. China juga dianggap memberi perlindungan kepada tokoh-tokoh PKI di luar negeri serta terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya, RTT melakukan kampanye propaganda menyerang orde baru.
Baca Juga : Ini Penyebab Peristiwa Kerusuhan Bandung 1973
Lalu apa yang menjadi penyebab banyak ormas dan tentara yang dipelopori TNI AD sangat marah dengan RRT. Sebab negara ini dituding menjadi aktor intelektual atas pembantaian para jenderal dan perwira militer Indonesia yang anti komunis. Kemarahan itu juga dibalas oleh kelompok nasonalis di China. Begitu mengetahui kedutaan dan para diplomatnya yang berada di Indonesia terancam segerombolan, nasionalis China ganti mengepung kedutaan besar Indonesia di Peking. Serangan balasan dari kelompok garda merah (satuan militan yang dibentuk Mao Zedong di masa revolusi kebudayaa) membuat hubungan kedua negara memburuk.
Puncaknya terjadi pada tanggal 1 Oktober 1967, yang merupakan tanggal Hari Nasional China. Saat itu ribuan demonstran dari organisasi-organisasi kepemudaan seperti laskar Ampera ARK KAMI, KAPPI menyerbu kedutaan besar China di Jalan Gajah Mada 211-212, Glodok, sehingga menimbulkan bentrokan dengan para staf kedutaan yang berakhir dengan jatuhnya korban. “Bendera RRT (tiongkok) diturunkan dan diganti dengan bendera merah putih. Gedung kedutaan kemudian diserahkan kepada pihak militer yang segera menutup pintu gerbangnya,” tulis Setiono dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” (2003).
Sasaran kemarahan tidak hanya fasilitas-fasilitas milik pemerintah China. Universitas Res Publica (kini menjadi Universitas Tri Sakti) ikut diserang dan dibakar. lantaran kampus yang didirikan oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) tersebut dituduh sebagai antek PKI dan China. Peristiwa Oktober berdarah 1967 tersebut menyebar luas ke beberapa kota di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Dalam sekejap, aksi massa yang tidak terkendalai itu menyasar warga keturunan tionghoa maupun mereka yang bermata sipit mirip orang China yang sudah turun-temurun tinggal di Indonesia.
Sebagai tindakan lanjut keputusan pembekuan hubungan diplomatik tersebut, pada tanggal 30 Oktober 1967 kedutaan besar republik Indonesia di Peking secara resmi ditutup. Dalam pengumuman resmi yang dikeluarkan departemen luar negeri pada tanggal 30 Oktober 1967 dinyatakan bahwa kepentingan-kepentingan republik Indonesia akan diurus oleh kedutaan besar Kamboja di RRT, sedangkan RRT menunjuk Rumania untuk mewakili kepentingan-kepentingannya di republik Indonesia.
Beijing juga langsung bereaksi penutupan hubungan diplomatoik ini, yaitu dengan menyelamatkan jutaan warganya di Indonesia. Maka menurut cerita Zhang, orang tuanya langsung mendengar akan ada pemulangan paksa warga keturunan dengan naik kapal di pelabuhan priok. Zhang yang lahir di Lampung itu hanya bisa mengikuti perintah orang tuanya untuk segera berkemas. Semua aset yang ada mulai tanah dan toko dijual murah. Beruntung ada warga pribumi yang membeli dengan cepat. Setelah itu, keluarga Zhang segera membeli tiket kapal yang sudah menunggu di Pelabuhan Tanjung Priok. “Kapal tersebut hanya mampu memuat 2 ribu orang, lalu datang lagi kapal kedua dengan ukuran yang sama,” cerita Zhang.
Perjalanan dari Jakarta menuju pelabuhan Quangzhou memakan waktu hamir 3 minggu. Kapal harus beberapa kali berhenti. Sempat singgah di Singapura hanya untuk menghisi air tawar dan perbekalan. Setelah itu jalan lagi dan berhenti lagi di tengah laut untuk memperbaiki mesin. “ Kapal tiba di dermaga Guangzhou langsung disambut pejabat setempat. Setelah itu keluarga kami ditampung di sebuah bangunan besar dan kemudian disebar ke banyak tempat,” kata Zhang.
Baca Juga : Yoko Ono Bangkit Dari Tragedi Penembakan Jhon Lenon
Beruntung, keluarga Zhang mendapat bantuan rumah petak di sekitar dermaga. Sejak saat itu Zhang bersama saudaranya bersekolah dan belajar bahasa Mandarin. Hingga akhirnya Zhang sendiri bekerja di sebuah perusahaan dermaga kapal hingga pensiun. Zhang mengaku tidak akan lupa bahasa Indonesia dan akan selalu cinta tanah leluhurnya, meskipun perpisahan itu sangat menyakitkan.
“ Lidah saya sudah sangat Indonesia banget, saya sangat suka makan soto, kare ayam, nasi liwet, kue lapis, tahu isi, tempe..” cerita Zhang yang mengaku setelah pemulihan hubunan diplomatik, baru 2 kali mengunjungi Indonesia dan masih punya kerabat tinggal di Tuban. (pul)