Berita kematian Gubernur Suryo menyebar dengan cepat. Pemerintah kabinet Hatta di Yogjakarta menerima kabar itu langsung menggelar rapat darurat untuk memerintahkan penumpasan segera. Foto dok net
Massa yang beringas melakukan main hakim sendiri terhadap siapa saja yang diangap telibat pemberontakan PKI Madiun. Foto dok net
abad.id-Bulan September tahun 1948 terjadi peristiwa yang tragis yang diinisiasi dengan aktor PKI. Aksi pemberontakan PKI di Madiun itu telah membunuh warga sipil, dan tentara rakyat, tokoh masyarakat serta Gubenur Jatim Ario Suryo atau biasa disebut Gubernur Suryo.
Nama lengkapnya Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, ia lahir di Magetan, pada tanggal 9 Juli 1898. Menurut Iwan Lubis dalam artikelnya berjudul Biografi Gubernur Suryo mengatakan Suryo pernah menempuh pendidikan di OSVIA dan Bestuurs School. Ia juga pernah mendapat pendidikan polisi di Sukabumi. Sebagai priyayi Jawa, Suryo mengawali karir dengan bekerja sebagai pamong praja di Ngawi, kemudian menjadi mantri di Madiun. Pada masa Hindia belanda, Suryo pernah menjadi bupati Magetan. Di masa penjajahan Jepang, Suryo diangkat sebagai syucokan (residen) di Bojonegoro. Usai membacakan teks proklamasi di Jakarta, Presiden Sukarno segera memerintahkan kepada Suryo untuk menjadi Gubernur pertama Jawa Timur.
Baca Juga : Begini Kronologis Tewasnya Muso Tokoh PKI Madiun
Aksi PKI Menusuk Teman Sendiri
Pergerakan PKI pasca proklamasi Indonesia semakin agresif. Terdapat nama-nama yang menjadi pelopor. Seperti Alimin, Moeso dan Semaun. Mereka sudah aktif bergerak di bawah tanah sejak sebelum tentara Jepang masuk, serta ikut terlibat dalam peristiwa pembentukan pemerintaan Sukarno-Hatta. Namun membentuk sebuah negara tidaklah mudah. Pemerintahan Sukarno Hatta juga disibukan dengan niat pemerintah Hindia Belanda mengembalikan kekuasaan kolonialismenya di tanah jajahan. Beberapa kali perjanjian membuat wilayah Indonesia menyempit. Bahkan demi keamanan negara, ibukota harus pindah ke Yogjakarta dengan disokong Hemengkubuwono IX.
Baca Juga : Supersemar, Langkah Soeharto Untuk Kudeta Merangkak
Melihat dinasmime pemerintahan dan munculnya agresi militer Belanda 1 dan 2 itu, sangat diperhatikan PKI Moeso. Kubu PKI Moeso ini memperhatikan adanya keruwetan dan kekacauan dengan berusaha mencari jalan untuk keluar dari jurang reformisme dengan cara mereka sendiri. PKI Moeso mengadakan kritik dan self-kritik, terutama saat rapat pleno CC PKI 10-11 Juni 1948. Dalam rapat Polit-Biro 2 Juli 1948 itu, semua anggota Polit Biro PKI memutuskan untuk mengadakan perubahan yang radikal, yang bertujuan supaya selekas-lekasnja mengembalikan kedudukan PKI sebagai pelopor klas buruh, selekas-lekasnja mengembalikan tradisi PKI jang baik pada waktu sebelum dan selama perang dunia ke-II serta PKI mendapat hegemoni (kekuasaan jang terbesar) dalam pimpinan Revolusi Nasional.
Di ibukota Yogjakarta saat itu sudah mendengar kondisi gawat atas iniisiasi PKI Moeso. Kabinet Hatta yang menjadi sasaran protes golongan kiri, sudah berusaha mengajak dialog sebagai sesama anak bangsa. Hingga suatu saat saat malam yang naas, Gubernur Suryo yang tegas membela bangsanya sendiri meninggal di tangan PKI Moeso.
Baca Juga : Sukarno Hendak Dipidana Dengan Tuduhan Terlibat Gestapu
Saat itu siang hari di Yogjakarta usai menghadiri peringatan 10 November. Sang Gubenur yang kharismatik itu ingin segara pulang ke Madiun dalam rangka menghadiri 40 hari wafatnya sang adik yang dibunuh anggota PKI. Di Istana Negara Yogjakarta, R Suryo berniat pamit dengan tergesa-gesa ke perdana menteri Hatta. Sang proklamator itu sudah melarang, mengingatkan agar Suryo membatalkan niatnya tersebut. Mengingat situasi yang belum stabil. Sang pemberani yang pernah terlibat dalam perang 10 November itu tetap bergeming, dan berangkat bersama ajudannya bernama Mayor Soehardi dan sopirnya Letnan Soenarto.
Iwan Lubis dalam artikelnya berjudul Biografi Gubernur Suryo mengambarkan, sejak awal keberangkatannya sang Gubernur sudah menunjukkan tanda-tanda tidak baik. Mulai ban mobil mereka sempat pecah dan kehabisan bensin. Bahkan sempat dua kali kembali ke titik keberangkatan karena ada sesuatu yang tertinggal. Saat tiba di Solo, Residen Solo, Diro, yang masih kawan dekat, sempat menahan sang pemberani untuk bermalam di kediamannya. Residen Diro juga mengingatkan Suryo untuk tidak melanjutkan perjalananya ke Madiun. Namun Suryo tetap menolak.
Usai melewati Sragen saat senja, mobil yang ditumpangi Suryo tiba di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Bogo Kedunggalar, Ngawi. Mobil yang disopiri Letnan Soenarto dicegat oleh gerombolan. Sang gubernur tidak menduga bahwa hari itu adalah terakhir kalinya menginjakan di bumi Jawa Timur. Dalam pikirannya, mereka adalah warga setempat yang hendak menyambutnya. Atau mungkin hendak menyampaikan sesuatu kepada sang Gubernur.Tentu sebagai pemimpin Suryo, turun dari mobil untuk menyapa gerombolan itu.
Baca Juga : Gubernur Suryo Aktor Utama Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Ternyata tengah malam itu sulit membedakan antara rakyat dengan biadap. Mereka ternyata gerombolan PKI yang dipimpin Maladi Yusuf. Dengan todongan senjata ralas panjang, Gubernur Suryo, sang pengawal Mayor Soehardi dan sopirnya Letnan Soenarto dipaksa turun dan dibawa ke Hutan Sonde. Tidak ada intrograsi apapun terhadap orang yang berjasa memenangkan perang di Surabaya itu. Rupanya Maladi Yusuf hanya mendapat perintah untuk membunuh siapapun yang melintas. Malam naas itu hari terakhir sang Gubenur melihat bintang dan bulan yang sembunyi di ranting-ranting pohon Hutan Sonde.
Tidak ada yang tahu pembunuhan senyab itu. Berita di Surabaya yang menyebutkan Gubenur Suryo belum datang di kantor. Sementara keluarga besar di Madiun juga sedang menunggu kabar perjalanan kedatangan Suryo. Hanya bisa dipastikan sempat kondisi sehat saat tiba di kantor Residen Solo, serta sudah melanjutkan perjalanan menuju Jawa Timur.
Baca Juga : Demontrasi Buruh Pimpinan Semaun Merugikan Belanda
Hingga 4 hari kemudian, penduduk di sekitar Kali Kakah Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo Lor Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi geger. Warga menemukan beberapa jenasah dengan kondisi mengenskan. Warga kemudian melapor ke pamong desa, dan diteruskan hingga ke telinga Bupati Madiun yang merupakan sepupu Suryo, Kusnendar.
Dari Kusnendar, berita kematian Suryo menyebar dengan cepat. Pemerintah kabinet Hatta di Yogjakarta menerima kabar itu langsung menggelar rapat darurat untuk memerintahkan penumpasan segera. (pul)