images/images-1688970286.jpg
Budaya
Indonesiana

Cerita Gerbong Srimulat Menuju Jakarta, Membawa Cara Ketawa Baru

Pulung Ciptoaji

Jul 10, 2023

655 views

24 Comments

Save

Asmuni dan Timbul membawa konsep lawakan orang kaya baru. Foto Youtube  

 

 

 

abad.id-Setelah meninggalnya Srimulat pada 1 Desember 1968, sang suami Teguh Slamet Rahardjo seolah kehilangan semangat untuk memulai kembali perjuangannya. Namun, kenyataan memaksa sang bos Srimulat untuk kembali ke medan panggung. Ia tidak mungkin mengunci diri terus-menerus dan membiarkan anak buahnya bersedih dan strategi panggung Srimulat adalah desain besar.  

 

Sejak tahun 1969, Teguh telah berencana untuk mementaskan Srimulat di kota Jakarta. Siapa yang tidak ingin tampil di ibu kota yang menjadi barometer atau ukuran sukses secara nasional. Srimulat bukan jago kandang. Teguh berusaha melatih anak buahnya untuk mendapatkan 'ramuan humor yang pas' untuk bisa dilontarkan di semua golongan masyarakat. Namun, pilihan untuk menuju Jakarta adalah pertaruhan yang sulit. Soal pendanaan dan tempar bermain adalah hal yang luar biasa memusingkan.

 

Baca Juga : Beratnya Pelawak Dulu, Dipaksa Bisu Harus Melucu

 

"Kami tidak takut! Kami siap!" begitu komentar Teguh ketika rencana kepergian Srimulat ke Jakarta. Saat sebuah sesi latihan grup Srimulat, mereka mencoba mengubah guyonan ala Suroboyoan menjadi semi metropolis ditambah dialek-dialek ala Betawi. Soal ini, Pak Teguh berusaha mengarahkan anak buahnya untuk tidak meninggalkan ciri khas Srímulat. “Ibu kota boleh saja. Akan tetapi, ciri asli jangan hilang,”

 

Dalam buku Srimulat Aneh dan Lucu tulisan Soni Set dan Agung Pewe, berangkatlah rombongan besar Srimulat itu ke Jakarta. Dalam sejarah yang belum pernah tertulis, dalam rombongan kereta api itu berisikan anggota Srimulat bisa berinteraksi langsung dengan para pedagang asongan, para penumpang, dan orang siapapun yang baru dikenal. Isi gerbong berubah menjadi tempat bersenda gurau paling ramai di dunia.

 

Lewat malam, kereta melewati kota Solo. Hati Pak Teguh tercekat, ia teringat dengan istrinya Djudjuk Djuwariyah yang baru saja tertimpa musibah keguguran. Hati Teguh miris. Ia merasa berat meninggalkan istrinya tercinta tesebut yang sedang dalam keadaan sakit. Namun, tugas harus dijalankan. Sudah sedemikian besar pertaruhan dilakukan demi mencapai cita-cita membesarkan Srimulat.

 

Baca Juga : Dunia Makin Tidak Lucu, Melawakpun Butuh Gelar Sarjana

 

Namun masa-masa emas yang seharusnya sudah direguk anggota Srimulat di Jakarta ternyata hanya sebentar, karena masalah teknis dan salah komunikasi antar pihak di dalam tubuh Srimulat. Beberapa pentolan nomor wahid Johny Gudel, Kardjo AC-DC, Suroto, Subur, Rujilah, Rus Peatil, dan Sumiati memisahkan diri. mereka membangun grup lawak tandingan.

 

Situasi ini membuat Teguh harus berpikr untuk membenahi manajemen dan menambal lubang kekurangan. Namun lagi-lagi Teguh mengalami kesulitan mencari pemain baru dalam wakru singkat. Beberapa pemikiran terlontar untuk membawa lapis kedua Srimulat yang bermukim di Surabaya dan Solo. Itu juga tidak mudah karena menurut Teguh, para awak Srimulat yang masih bermukim di Solo dan Surabaya belum siap untuk bertarung di Jakarta. Apalagi yang tersisa nama-nama kuat seperti Bumbang Gentolet, Edi Geyol, Paimo, Bandempo, Bendor, dan Toto Hidayat.

 

Di saat genting, datang sebuah kejutan. Kelompok Lokaria Surabaya bubar berantakan karena manajemen salah urus. Akhirnya, anggotanya tercerai-berai. Lebih mengejutkan, para pentolan grup Lokaria mendatangi langsung Teguh di Surabaya. Intinya,mereka ingin bergabung dengan Srimuat.

 

Baca Juga : Begini Rahasia Awet Ngakak Srimulat

 

Diawali Abimanyu, Dadang,Triman, Sofu dan Asmuni. Masuknya mereka membuat Srimulat seperti Panggung Srimulat yang semula sepi kembali bergairah. Cara lawak mereka berbeda dengan gaya Srimulat yang cenderung lebih tradisional dan lebih njawani dalam melakukan olah komedi.

 

Perbedaan ini dikemas Pak Teguh menjadi sebuah kreativitas baru, yaitu gaya lawak metropolis yang njawani. Maka, keluarlah resep gaya 'orang kaya baru', 'orang kaya mendadak', dan 'gaya metropolis yang norak. Untuk melakonkan permintaan ini, Teguh melihat Triman sebagai sebuah karakter yang layak dipoles sebagai aktor perlente khas metropolis. Teguh meminta Triman berdandan layaknya seorang 'om senang' atau bergaya dandy lengkap dengan sepatu mengkilat dan jas yang selalu melekat.

 

Ramuan ini tentu saja ditelan mentah-mentah oleh para penonton Srimulat saat itu. Triman berhasil membawakan peran orang kaya yang absurd dan over akting di setiap penampilan. Begitu juga dengan Asmuni, Teguh melihat Asmuni adalah gambaran sosok priyayi bangsawan. Logat Jawa Timurnya yang kental justru dapat menjadi sebuah modifikasi karakter orang kaya yang ceriwis dalam bertutur kata.

 

Baca Juga : Ini yang dilakukan setelah Sumpah Pemuda, Lucu-Lucu

 

Tidak berapa lama, paduan lawak orang-orang mantan Lokaria dan Srimulat lama bersiap menyusul ke Jakarta. Media massa mencatat perubahan tersebut sebagai sebuah pertaruhan besar.

 

Dasar memang sebuah keberuntungan, hadirnya orang-orang Lokaria ternyata membuat nama Srimulat makin terkenal. Sementara grup-grup komedian yang dibentuk mantan-mantan anggota Srimulat berguguran. Puncaknya ketika tahun 1975, Srimulat membukukan tingkat penjualan karcis tertinggi. Pecahan anggota Lokaria lainnya yang turut bergabung adalah Ribut Rawit, Tessy,  Paul, Tarzan, Ani Asmara, dan Hermina. Mereka langsung menduduki pasukan kunci dan memeriahkan panggung Srimulat.

 

Dari sekian banyak anggota Srimulat yang diboyong ke Jakarta, ada beberapa nama yang menjadi pemain kunci asal Jawa Timur. Asmuni misalnya, bernama asli Toto Asmuni. Ia lahir pada tanggal 17 Juni 1932 di Jombang, dan meninggal pada tanggal 21 Juli 2007 di Trowulan Mojokerto pada usia 75 tahun. Pada tahun 1976 Asmuni bergabung dengan grup Srimulat Surabaya. Di grup lawak legendaris inilah nama Asmuni makin dikenal orang karena aksi lucunya. Celetukan-celetukannya yang segar populer saat dirinya membubuhkan kumis tipis dan blankon Chaplin dapat membuat wajahnya menjadi lebih lucu.

 

Baca Juga : Hikayat Plat Nomor Kendaraan Warisan Tentara Inggris

 

Asmuni memutuskan hijrah ke Jakarta di era 80-an.Tidak saja dunia lawak yang ia tekuni, dunia akting pun mulai ia rambah. Di antara film layar lebar yang sempat ia perankan adalah Gepeng Bayar Kontan dan Asmuni Jadi Bos.

 

Asmuni mempunyai bisnis rumah makan di bilangan Slipi, Jakarta Barat. Ia sering menyediakan rumah makannya tersebut sebagai tempat bernaung para anggota Srimulat yang belum memiliki rumah.

 

Asmuni juga sempat memperkuat kelompok Ludruk Glamour dan Ketoprak Jampi Stress yang didirikan Basuki. Sebelum akhir hayatnya, Asmuni mengembangkan bisnis rujak cingur di daerah Trowulan. Bahkan, sebelum meninggal Asmuni masih sempat membuka cabang rumah makannya.

 

Asmuni menjadi pelawak kunci yang selalu ditunggu penonton. Dia berhasil membangun konteks lawakan yang baru yaitu mengubah guyonan ala Suroboyoan menjadi semi metropolis ditambah dialek-dialek ala Betawi.

 

"Ape? Elu Ngak bise ngomong Jawe? Gile lo?"

 

Asmuni pelawak yang paling terkenal menggunakan istilah Jawa-Betawi yang amburadul. Hingga orang Jakarta menyebutnya medok dan katrok.

 

Baca Juga : Hikayat Lalat Menjadi Artis Bom Sex

 

Asmuni juga menciptakan kelucuan dengan menggubakan idiom Arab sebagai bahan lawakan. Kesannya sederjana, namun sangat lucu karena dialegsia yang terbalik-balik. Seperti Masyak Alloh, musyawaroh, dan mustahil menjadi idiom-idiom lucu diatas panggung. Jika menyebut hal mustahil menjadi mustahal.

 

Butuh kecerdasan tersendiri untuk membawakan kebudayaan desa dibawa ke panggung yang dilihat orang-orang kota berpendidikan. Terkadang Asmuni berperan oang kaya dengan menghubungkan kesenangan. Salah satu ciri khas Asmuni berupa kumis ala Charlie Chaplin yang diadopsinya menjadi perangkat wajib. Soal kumis ini, Asmuni menganggap sebagai perhiasan abadinya.

 

Semula, gaya Asmuni ini agak disambut was-was oleh pimpinan Srimulat. Namun, Asmuni adalah orang cerdas yang mengetahui batasan-batasan dalam melawak. Tanpa menunggu lama, idiom dialek musyawaroh, hil yang mustahal, dan salam pembuka assalamu'alaikum, menjadi dialog yang paling ditunggu penonton. Salah satu kata yang cukup sukses dan selalu disebut-sebut Asmuni adalah kata Ndiwek sebagai sebutan bagi lawan aktingnya yang berpenampilan lugu dan ndeso.

"Ndoro, saya nggak bisa menggunakan telefun."

"Ndiwek itu apa tho, Ndoro?” 

"Masya Allah? Ndiwek saja tidak tahu?"

Asmuni menyebutkan kata Ndiwek,  saat itu pula seluruh penonton menyambut dengan gegap gempita.

 

Didik Manghuprojo

 

Didik Mangkuprojo lahir di Malang, tanggal 28 Agustus 1938. la adalah salah satu pelawak senior dari grup Srimulat. Ia memulai kariernya sebagai pelawak keliling sejak tahun 1970-an. Kariernya mulai menanjak ketika masuk Srimulat Surabaya pada tahun 1978. Kini, di usia 72 tahun, ia memimpin grup lawak Didik Mangkuprojo.

 

Kadir

 

Baca Juga : THR Etalase Seni dan Budaya Surabaya

 

Kadir lahir di Lumajang, 3 September 1951. Ia anggota Srimulat yang masuk setelah gelombang angkatan eks-Lokaria. Pelawak yang acap kali dalam lawakannya menggunakan logat Madura ini mengawali karier melawaknya dengan bergabung bersama grup lawak Srimulat. Pada tahun 1996, Kadir mendapatkan kesempatan untuk membawa grup Srimulat tampil di Indosiar. Semenjak itu hingga tahun manajemen tayangan Srimulat yang mencapai puncak keemasannya di era TV Swasta nasional.

 

Tarzan

Pelawak bernama asli Toto Mariadi Tarzan ini lahir di Malang, 24April1945. Bersama grup Srimulat, ia sering tampil di TVRI. Pertama kali tampil di televisi pada acara Galarama tahun 1979 di TVRI stasiun Surabaya. Kemudian,ia sering mengisi acara, antara lain Siaran Pedesaan dan Penerangan Lalu Lintas Kodak X Jawa Timur, Kuiz Keluarga, yaitu acara tentang penerangan keluarga (1981), dan acara Swadesi. Di sini, ia tampil sebagai pelawak.

 

Tampil bersama grup Srimulat, ia sering mendapat peran sebagai majikan atau tukang pukul. Peran ini memberikan peluang baginya untuk memecah tawa. Bersama teman mainnya, Gepeng, keduanya serasi dalam menjalin lawakan-lawakan. Perjalanan kariernya sebagai pelawak dimulai tahun 1967-1970 saat ia bergabung dengan sandiwara Briomo Yon 412 Malang. Kemudian, tahun 1970-1975, bergabung dengan Vijaya Kusuma dan tahun 1977-1979 mengikuti Lokaria. Akhirnya, pada tahun 1979, ia bergabung dengan Aneka Ria Srimulat.

 

Baca Juga : Edi Sud Menggiring Srimulat Menjadi Kuning

 

Tessy

Tessy, atau Tesi lahir di Banyuwangi. Nama aslinya Kabul Basuki, sedangkan saat gabung di Srimulat bernama Tesi. Kabul basui pernah menjadi anggota KKO, pasukan elit Angkatan Laut yang bertugas dalam pembebasan Irian Barat pada tahun 1961-1963. Lepas dari marinir dia terjun ke punggung hiburan rakyat di Surabaya dan bengibung dengun Srimulat pada tahun 1979.

 

Ciri khas Tessy selalu berperan banci. Kosmetik tebal, bibir monyong cincin akik bermata besar yang banyak di jari-jarinya serta logat Suroboyoan yang ketal. Tessy juga sering menggoda artis wanita lainnya yang sepanggung dengannya. Gaya banci ini pertama kali dipakai Tessy pada saat ia berperan sebagai hansip. Saat itu ia spontan berimprovisasi untuk menghidupkan suasana dengan bertingkah kemayu. Karena improvisasi itu sukses, sejak itu peran banci selalu dipakai dalam setiap pementasan. Selain itu, dia sering memplesetkan sendiri namanya menjadi Tessy Ratnasari, Tessy Kaunang, atau Tessy Lupita Jones.

 

Baca Juga : Jojon dan Cerita Kumis Minimalis

 

 

Bambang Gentolet

Bambang Gentolet adalah pelawak veteran Srimulat yang masih pentas di atas panggung hingga akhir hayatnya. Sebenarnya Bambang Gentolet kelahiran Yogyakarta, 30 Juni 1941, namun lebih memilih menetap di Surabaya. Di masa jaya, Bambang Gentolet sering memerankan peran batur. Ia cukup terkenal karena gaya penampilannya yang plontos dan sering berakting ngambek di atas panggung. (pul)

 

Artikel lainnya

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

hari selasa pagi

Reta author

Feb 21, 2023

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

Menjelajah Tempat Industri Gerabah Era Majapahit

Pulung Ciptoaji

Dec 21, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022

Epigrafer Abimardha: "Jika Hujunggaluh ada di Surabaya, itu perlu dipertanyakan"

Malika D. Ana

Feb 11, 2023