Hari-hari terakhir Soe Hok Gie di Gunung Semeru. Foto dok net
abad.id- Dalam minggu-minggu terakhir ini, Soe Hok Gie mulai mengalihkan kegiatan Mapala ke Gunung Semeru bersama kawan lamanya, Herman Lantang, yang baru saja pulang dari Irian Jaya. Pendakian ke Semeru sudah dibicarakannya dengan Herman Lantang beberapa kali selama lebih dari dua tahun terakhir.
Baca Juga : Cerita Petrus Akan Selalu Menjadi Misterius
Baca Juga : Sudomo, Laksamana di Tengah Lautan Jenderal
Dengan konflik di UI yang menyakitkan, yang masih segar dalam ingatannya, ditambah kekecewaarnya terhadap banyak aspek politik di bawah Orde Baru dan perasaan melankolis yang menyelimuti dirinya, dengan antusias Soe Hok Gie benat-benar sudah menunggu kesempatan untuk menyendiri ke puncak gunung. Agar ia bisa keluar dari begitu banyak penderitaan dan kegelisahan.
Saat persiapan keberangkatannya, masih saja ada dua provokasi politik lain. Misalnya pada tanggal 22 November, Undang-Undang Pemilihan Umum tengah diperdebatkan dan peraturan pelengkapnya telah diumumkan oleh pemerintah Soeharto. Soe Hok Gie masih melakukan pembahasan terkait Undang-Undang Pemilihan Umum ini di Radio UI yang disiarkan tiap malam.
Pada saat yang sama Soe Hok Gie masih terlibat dalam seloroh politik lainnya. Bekerja sama dengan beberapa teman, ia mencetuskan rencana mengirimkan hadiah "Lebaran-Natal” kepada tiga belas perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Disiapkanlah paket-paket yang berisi pemulas bibir, cermin, jarum, dan benang, disertai surat terlampir yang berisi kumpulan tanda tangan.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Jawa Timur, Soe Hok Gie juga masih mendengar kabar kematian mendadak seorang teman sekolah. Berita yang mengejutkan ini tampaknya membuatnya gelisah. “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol membuat acara yang intim dengan I...Saya kira ini adalah pengaruh,” ungkap Soe Hok Gie yang ditulis John Maxwell.
Baca Juga : Mengenal Suharto, Jendral Kesayangan Sudirman
Saat-saat terakhir persiapannya, Soe Hok Gie masih melakukan kunjungan istimewa untuk mengucapkan selamat jalan berturut-turut kepada tiga gadis yang sangat dekat di hatinya itu.
Kelompok Mapala tidak pernah terlalu memperhatikan aspek teknis kegiatan mereka di alam bebas. Mereka hana ingin menikmati tantangan perjalanan dengan gembira dan berusaha melupakan segala persoalan. Perlengkapan dan perbekalan mereka selalu sederhana, meskipun dalam kesempatan ini Soe dan Herman berusaha keras mempelajari beberapa peta lama dan catatan salah seorang vulkanolog yang pernah mendatangi daerah itu.
Bagaimanapun juga, Gunung Semeru adalah gunung berapi yang sangat aktif dan dengan ketinggian 3.676 meter. Gunung itu merupakan gunung tertinggi di Jawa. Meskipun desa-desa di sekitarnya mudah dicapai dari Malang, puncak Mahameru masih sangat jauh dan terisolasi.
Soe Hok Gie, Aristides Katoppo, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman Idhan Dhanvantari Lubis serta Freddy Lodewijk Lasut, berangkat dari Jakarta tanggal 12 Desember melalui Stasion Gubeng Surabaya. Kemudian menuju Stasion Malang.
Tim ini berbekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang panduan naik semeru. Mereka menggunakan jalur yang tak umum. Jika biasanya jalur yang dipakai penduduk dengan menggunakan Desa Ranupane dengan jalur landai, tim mendaki melalui Kali Amprong mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek, sampai turun ke arah Oro Oro Ombo. Perjalanan pun dilanjutkan. Sampai di Arcopodo, mereka membentangkan ponco (jas hujan dari militer) untuk jadi tempat perlindungan, meninggalkan tas dan tenda. Mereka membawa minuman untuk bekal menuju puncak.
Baca Juga : Kisah Cinta Alfiah Sudirman Sepanjang Hayat
Untuk mencapai puncak gunung itu, mereka harus menempuh perjalanan yang panjang dan sulit. Kabut sangat rendah dan hujan yang baru saja turun membuat tanah sangat liat. Segembur dan butiran-butiran lava yang menutupi lereng bagian atas dengan kemiringan enam puluh derajat.
Setelah mendirikan perkemahan pendakian, mencapai pinggir kawah saat sore menjelang malam tanggal 16 Dèsember 1969. Tampak kawah menyemburkan asap. Rombongan sudah sangat lelah. Mereka turun satu persatu untuk mencari perlindungan dari angin malam yang sangat dingin dan dari gumpalan awan tebal yang terbentuk dari asap yang menyembur dari dalam kawah.
Rombongan dibagi menjadi dua kelompok. Aristides, Hok Gie, Rudy Badil, Maman, Wiwiek, dan Freddy. Sedangkan Herman bersama Idhan. Sampai di Puncak Mahameru sudah jelang sore, tenaga mereka sudah habis. Soe Hok Gie menunggu Herman yang tertinggal di belakang. Tiba-tiba Maman mulai meracau. Akhirnya Aristides dan Freddy bahu membahu membawa Maman kembali ke shelter.
Herman dan Idhan akhirnya tiba di Puncak Mahameru. Sesampainya di sana, Hok Gie sedang dalam kondisi duduk dan kemudian Idham ikut duduk, tetapi Herman tetap berdiri. Karena duduk itu, menurut Herman, Soe Hok Gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat dari oksigen. Herman bercerita kondisi Soe Hok Gie sudah sangat lemas. "Tahu-tahu dia enggak ngomong, dan langsung menggelepar," jelas Herman. Soe Hok Gie meninggal di pelukan sahabatnya beberapa jam sebelum ulang tahunnya yang ke 27.
Beberapa menit kemudian Idan Lubis juga jatuh dengan cara yang mirip. Kawannya yang menunggu di bawah, mulai panik. Ketiganya menjadi korban sesak nafas akibat gas udara yang merembes dari permukaan gunung berapi itu.
Evakuasi Panjang Jenasah Soe Hok Gie
Berita tragedi Semeru sampai ke Jakarta baru beberapa hari kemudian. Membutuhkan waktu seminggu untuk mengambil jenazah kedua anak muda itu. Bahkan setelah tanda bahaya dipasang, pekerjaan mengangkat jenazah keduanya dari tempat yang terpencil dan tidak mudah terjangkau masih sangat sulit. Cuaca buruk dan permukaan tanah yang berbatu-batu menghalangi upaya awal yang dilakukan.
Baca Juga : Usaha Rumit Dibuat Sederhana Oleh Om Bob
Meskipun menggunakan helikopter Angkatan Laut untuk mencapai lokasi, hingga larut malam tanggal 22 Desember regu penyelamat belum juga bisa mendekat puncak Semeru. Di situ Herman Lantang berjaga sendirian selama beberapa hari. Jenazah dibawa turun dari gunung pada hari berikutnya ke desa tempat kakak Soe Hok Gie, Arief Budiman menunggu. Jenazah kemudian dibawa ke Malang melalui jalan darat. Pada tanggal 24 Desember sebuah pesawat Hercules membawa jenasah 2 korban ke Jakarta.
Ribuan mahasiswa sudah menunggu di kampus UI. Beberapa dianataranya berangkat dari Bandung. tampak Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo salah seorang tokoh terkemuka yang berada di antara para pelayat.
Dari Kemayoran rencana pemakaman telah disusun. Kedua jenazah itu pertama-tama dibawa secara terpisah ke rumah duka, yaitu rumah orang tua mereka masing-masing, sebelum keduanya dibawa ke Rawamangun. Jalan-jalan sempit di sekitar rumah Soe Hok Gie di Kebon Jeruk semakin penuh sesak. Banyak kendaraan ikut mengiringi mobil jenazah menuju ke sebuah rumah sederhana. Tampak orang tua Soe Hok Gie sudah menunggu dengan rasa duka.
Malam harinya jenazah Soe Hok Gie meninggalkan Kebon Jeruk untuk terakhir kali menuju tempat yang menurut pengakuan ibunya kepada teman-temannya telah menjadi rumah keduanya, yaitu kampus Fakultas Sastra di Rawamangun.
Peti jenazah Soe Hok Gie ditempatkan di sisi peti jenazah Idan Lubis di panggung auditorium fakultas yang sudah penuh seak mahasiswa. Upacara pelepasan jenasah dilakukan sederhana. Teman Soe Hok Gie dan sesama mahasiswa, ikut terlibat dan bertanggung jawab atas pelaksanakan pengaturan pemakaman Soe Hok Gie.
Baca Juga : Bob Marley, Menghisap Ganja Bersama Tuhan
Penghormatan utama atas nama pelayat disampaikan oleh Dekan Fakultas Sastra, Harsja Bachtiar, dan Profesor Sumitro. Dengan haru Harsja Bachtiar mengungkapkan keberanian Soe Hok Gie mengejar segala sesuatu yang ia yakini, perjuangannya untuk menegakkan cita-cita keadilan dan kemajuan. Soe Hok Gie sering menghadapi kritik tajam dari orang-orang di sekitarnya yang merasa terancam posisinya karena keterusterangan Soe Hok Gie. Sumitro menggambarkan Soe Hok Gie sebagai anak muda 'patriot sejati' yang dikenalnya secara pribadi.
Rujukan kepada agama hampir tidak disebut-sebut dalam upacara pelepasan jenasah ini. Hingga menjelang petang, iring-iringan pelayat mulai bergerak ikut medampingan jenasah ke pemakaman. Di Tanah Abang, makam Soe Hok Gie. ditandai dengan nisan putih sederhana yang ditulisi kutipan dari ungkapan spiritual rakyat yang menjadi favoritnya, "Nobody knows the trouble I sec, nobody knows my sorrow." (pul)