images/images-1688473986.jpg
Riset

Dari Fatwa Menuju Resolusi Jihad

Pulung Ciptoaji

Jul 04, 2023

357 views

24 Comments

Save

Kantor PCNU Surabaya Bubutan. Foto tourism.surabaya.go.id

 

resolusi jihad

 

abad.id-Resolusi perang suci lahir di Surabaya pada 21 Oktober 1945. Kala itu, delegasi NU dari Jawa dan Madura hadir di kantor PB Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya. Pertemuan tersebut untuk menunaikan amanat Rais Akbar NU KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU sekaligus pendiri Ponpes Tebuireng Jombang yang menyampaikan amanat pokok-pokok kaidah, tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan Tanah Air yang dikenal dengan fatwa jihat.

 

Baca Juga : Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Pernah Menyatu di Masyumi

 

Ketua PCNU Surabaya KH Muhibbun Zuhri menceritakan, sudah ada gerakan penolakan kedatangan sekutu yang dilakukan kaum nahdiyin jauh sebelum resolusi jihat muncul. Gerakan itu secara sporadis dengan membentuk laskar-laskar kecil di beberapa daerah. Mulai dari Malang, Kediri, Jombang hingga Madura. Laskar Hisbullah misalnya, dalam satu komando selalu mengikuti gerakan para ulama. Sementara laskar rakyat lain juga bermunculan, misalnya Pemuda Rakyat hingga Bonek. Pemuda Sutomo atau sapaan akrab Bung Tomo sendiri membentuk laskar yang bernama pemuda pemberontak.  Di sisi lain munculnya laskar rakyat ini menguntungkan pemerintahan Sukarno-Hatta yang baru berdiri. Sebab lawan sekutu yang membonceng Belanda yang dihadapi bukan ringan. Sementara Badan Keamanan Rakyat baru saja dibentuk dengan kekuatan yang sangat terbatas baik personil maupun peralatan perang hasil rampasan Jepang. “Ini tentu menjadi tugas tidak mudah, maka perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini harus melibatkan harus melibatkan rakyat semesta,” pikir Sukarno saat itu.

 

Tidak ada pilihan lain bagi Sukarno untuk mendatangi tokoh tokoh central dan jaringan simpul rakyat pada masa itu. Maka Sukarno mengirim utusan untuk bertemu KH Hasyim Ashari di Jombang. Kedatangan utusan Sukarno di Tebu Ireng itu untuk berdiskusi tentang keterlibatan rakyat melawan penjajahan. Tentu saja KH Hasyim Ashari menyambut positif tukar pendapat itu. Kesimpulannya, hari itu juga KH Hasyim Asyari mengeluarjan Fatwa Jihat.  Berupa lembaran kertas yang bertulisan tangan yang berisikan perintah wajib berperang melawan penjajah sekutu, jika meninggal karena perang ini adalah mati sahid, dan bagi siapapun yang berkompromi atau bekerjasama dengan penjajah sekutu boleh dibunuh. Fatwa Jihad tulisan tangan tersebut segera diedarkan di markas hisbullah, di Malang dan Kediri sekalaigus sebagai perintah untuk meningkatkan perlawanan. “Jadi sebelum Resolusi Jihad bulan September 1945 itu sudah ada letupan-letupan di berbagai daerah. Hanya saja sejak ada Resolusi Jihad gerapan rakyat semakin bersemangat hingga puncaknya 10 November atau 18 hari pasca Resolusi Jihad diumumkan,” kata KH Muhibbun Zuhri.

 

Baca Juga : Gus Ardhi: Ingat, NU Keluar Dari Masyumi Secara Demokratis

 

Sementara itu bagi pemerintah Jakarta atau pemerintah darurat di Surabaya, kedatangan Sekutu ini suudah pasti sangat dicurigai. Apalagi pasukan Inggris yang memimpin rombongan, namun terdapat pasukan Belanda NICA ikut campur dalam pelucutan senjata di Surabaya. Kabar bahwa pasukan NICA Belanda ini datang dari pelabuhan Australia ini, memiliki misi khusus ingin mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda. Padahal Bangsa Indonesia sudah menyatakan diri merdeka pada 17 Agustus 1945. Maka beberapa pemimpin pemerintahan menyepakati dua gerakan melawan sekutu ini. Yaitu jalur diplomasi dengan diskusi serta jalur gerilya rakyat.

 

Disadari bahwa perlawanan rakyat perlu digelorakan dengan masif. Maka sejumlah tokoh NU membawa Fatwa Jihad tersebut dalam sebuah meja perundingan yang sangat beresiko. Artinya para tokoh NU ini sudah memperhitungkan dampak terburuk dari perang yaitu kematian dan mundurnya sebuah peradaban. Atau pilihan kemerdekaan bangsa Indonesia hanya sebuah seremonial di jakarta tanpa melahirkan dan diperjuangkan. Maka siang itu Surabaya pada 21 Oktober 1945, di kantor HBNO jalan Bubutan VI/2, Surabaya, sidang darurat PBNU dipimpin langsung Ketua Besar NU KH Abdul Wahab Hasbullah. Pertemuan tersebut untuk menunaikan amanat Rais Akbar NU KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU sekaligus pendiri Ponpes Tebuireng Jombang. Sidang itu dihadiri para tokoh NU se Jawa dan Madura berhasil menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama Resolusi Jihad. Isi Resolusi Jihad yakni yaitu 'Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)'.

 

Baca Juga : Setelah Kartini Kirim Surat ke Oost en West, Ukiran Jepara Jadi Begini

 

Berita tentang resolusi Jihad dari PBNU itu seketika mengguncang Surabaya. Rakyat menyambut suka cita seruan jihad yang disiarkan melalui pengeras suara musala dan masjid. Kala itu arek-arek Suroboyo telah meraih kemenangan dari sisa-sisa tentara Jepang. Sementara laskar rakyat juga mulai berdatangan menuju Surabaya dan membentuk barisan barisan dan kantong kantong perlawanan. Pemuda Sutomo atau lebih dikenal Bung Tomo masih bekerja di kantor berita Antara. Dengan dasar Resolusi Jihad oleh para ulama ini membuat pijakan untuk mengorbankan semangat pejuang rakyat melalui radio bawah tanah. Bahkan dalam pidato itu, Bung Tomo selalu menyebut nama Allah sebagai dasar perjuangan dan kepastian tujuan berperang. Gerakan Bung Tomo ini sering tidak selalu ikut komando BKR. “Resolusi Jihad membakar semangat juang arek-arek Suroboyo dan puncaknya pada 10 November 1945. Kaum santri dan rakyat bersatu mengusir tentara sekutu dari Kota Pahlawan,” kata KH Muhibbun Zuhri.

 

Keberanian dengan dasar mempertahankan tanah air adalah jihad itu, memicu perang rakyat selama 4 hari di Surabaya. Yakni 26-29 Oktober 1945. Perang tersebut antara arek-arek Suroboyo dengan Brigade ke-49 Mahratta yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Jenderal Mallaby terbunuh pada 30 Oktober 1945.

 

Bahkan resolusi Jihad, berdampak besar hingga mendorong banyak pengikut NU ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di lain sisi, terbunuhnya Jenderal AWS Mallaby memicu kemarahan tentara sekutu. Pada 9 November 1945, mereka mengeluarkan ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan senjatanya sebelum pukul 06.00 WIB. Namun, rakyat menolak sehingga pertempuran kembali meletus.

 

Baca Juga : PETA Ranjau Jepang Untuk Tentara Sekutu

 

Pertempuran besar 10 November 1945 di Surabaya, tambah Fathurrochman, benar-benar di luar perkiraan sekutu. Mayor Jenderal EC Mansergh mengira Surabaya bakal takluk dalam tiga hari. Namun, pertempuran sengit itu berlangsung hingga 100 hari.  "Arek-arek Surabaya dan kaum santri baru mundur ke luar kota setelah bertempur 100 hari,"

Oleh sebab itu, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Sedangkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional untuk mengenang jasa kaum santri yang terlibat dalam melawan kolonialisme di Tanah Air.

 

Hari santri dan resolusi jihad

 

Penetapan Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober tak lepas dari sejarah Resolusi Jihad NU bertahun-tahun lampau. Berkat perjuangan kaum santri inilah, Presiden Joko Widodo, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 menetapkan Hari Santri jatuh pada 22 Oktober.

 

Baca Juga : Begini Pidato KH Wachid Hasjim, Mengajak Kerja Sama dan Menuntut Merdeka

 

Resolusi Jihad NU dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari, kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena melihat kemungkinan bahwa perjuangan kemerdekaan masih belum berakhir kendati proklamasi sudah dilantangkan pada 17 Agustus 1945. Hal ini disebabkan kedatangan Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, yang merupakan buah dari rencana Agresi Militer II Belanda.

 

Sebelumnya, Nahdhatul Ulama (NU) sudah memiliki milisi yang sempat dilatih secara militer oleh Jepang berkat siasat KH Hasyim Asyari. Nama organisasi itu adalah Laskar Hizbullah, yang turut dikobarkan semangatnya melalui Resolusi Jihad NU.

 

Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah.

 

Baca Juga : Laskar Hizbullah Sekumpulan Orang Sakti Ikut Perang

 

Beberapa pentolan yang dikumpulkan K.H. Hasyim Asyari di dua hari itu adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai lainnya. Mereka berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Pertemuan itu turut dihadiri panglima Hizbullah, Zainul Arifin, dan forum pun menyepakati untuk mengeluarkan Resolusi Jihad yang secara umum berisikan dua kategori dalam berjihad.

 

"Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain [harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak] bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah [yang cukup dikerjakan sebagian orang Islam saja]," bunyi dua kategori jihad dari fatwa tersebut.

 

fatwa itu dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad NU 22 Oktober yang menjadi dasar penetapan Hari Santri. Resolusi Jihad NU punya dampak besar di Jawa Timur. Pada hari-hari berikutnya, ia menjadi pendorong keterlibatan Laskar Hizbullah, kaum santri, dan jamaah NU untuk ikut serta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

 

Orang-orang Pesantren yang mulanya bertujuan untuk belajar ilmu agama, dalam perkembangannya diajarkan nilai-nilai nasionalisme untuk berkhidmat kepada bangsa dan negara. Karena itulah, persantren kemudian menjadi wadah untuk melatih kesadaran kolektif untuk membangun cita-cita persatuan umat dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Resolusi Jihad NU lantas melahirkan spirit perlawanan yang menggerakkan semangat "kaum bersarung" untuk terjun berpartisipasi angkat senjata melawan penjajah.

 

Baca Juga : Mengenal Langgar Gipo, Pernah Jadi Markas Laskar Hisbullah

 

Pondok pesantren berubah menjadi markas perjuangan Hizbullah dan Sabilillah. Sebagian besar kelompok santri dan rakyat di daerah itu, baik kalangan tua dan muda mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan bangsa.

 

Berkat perlawanan yang dikobarkan melalui Resolusi Jihad NU itulah, pada awal Oktober 2015, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengusulkan bahwa penetapan Hari Santri mestinya diperingati pada 22 Oktober, alih-alih 1 Muharam seperti rencana Presiden Joko Widodo sebelumnya. Akhirnya, pada 15 Oktober 2015, keluarkan Keppres nomor 22 Th. 2015 yang menetapkan bahwa Hari Santri jatuh pada 22 Oktober. (pul)

 

Artikel lainnya

Pelestraian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

Author Abad

Oct 19, 2022

Subtrack, Belajar Sejarah Dengan Mudah

Pulung Ciptoaji

Jan 23, 2023

H. P. Berlage dan Von Hemert. Siapa Von Hemert?

Author Abad

Dec 20, 2022

Peringatan Hari Pahlawan Tonggak Inspirasi Pembangunan Masa Depan

Malika D. Ana

Nov 12, 2022

Banjir di Gorontalo Cukup Diserahkan ke BOW

Author Abad

Oct 30, 2022

Benteng Budaya dan Derasnya Gelombang Modernisasi

Author Abad

Oct 03, 2022