images/images-1688041570.jpg
Sejarah

Tanpa Oetari, Inggit dan Fatmawati, Si Bung Bukan Siapapun

Pulung Ciptoaji

Jun 29, 2023

766 views

24 Comments

Save

"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karo. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karo mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku”

 

inggit

 

abad.id- Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak gurunya.Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.

 

Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru.

 

Baca Juga  : Tanpa Inggrit Garnasih, si Bung Bukan Orang Besar

 

Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karo tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya. Api gairah sudah mulai menyala.”Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya nampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi.”

 

Inggrit Garnasih selisih umur 15 tahun lebih tua. Sejak perkenalan itu, keduanya selalu terlihat romantis dimanapun dan situasi apapun. Sang ibu kost berasal dari Desa Kamasan, Banjaran Bandung ini berkulit kuning dan cantik telah membuat Sukarno kehilangan akal. Inggrit awalnya mengaku rikuh bahwa pujaannya seorang ningrat Jawa dan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik. Sementara Ia sendiri tidak pandai berbahasa Belanda atau bahasa Melayu, dan yang dimengerti hanya Bahasa Sunda.

 

Baca Juga : Pentingnya Sarinah di Hati Sukarno

 

Meskipun demikian mereka tidak langsung menjalin hubungan serius. Keduanya sadar betul memiliki penghalang masing-masing cinta yang timbul secara spontan itu. Kepada penulis bukunya Ramadhan KH, Inggrit bercerita mengusulkan untuk secepatnya mengajak Utari ke Bandung guna mencegah melakukan perbuatan yang tidak pantas.

 

Sementara itu bagi Bung Karno, percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan yang matang dan berpengalaman. Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak.”

 

Baca Juga : Inilah Kisah Dibalik Lagu Sukarno "Bersuka Ria"

 

Menurut pengakuan Sukarno dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950 tulisan warga Belanda Lambert Giebels, antara dirinya dengan Utari yang masih belia itu tidak terjadi hubungan sexual. Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Kamo, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian Alu kesepian Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar,hal-hal yang demikian itu kemudian tumbuh.”

 

Sukarno telah menjadi lelaki yang bebas. Sesudah perceraian itu, Sukarno kembali ke Bandung  untuk menemui pujaan hatinya Inggrit. Dengan penuh keberanian dan tekat, Sukarno langsung meminta ke Haji Sanusi hendak meminang istrinya. Si Sanusi yang tak acuh menerima keadaan dengan sportif. Inggrit mengisahan percakapan dengan Haji Sanusi tentang persoalan ini.

 

“ Marilah kita bicara keadaan kita bertiga,” begitu kata Haji Sanusi

“ Saya tahu bahwa Sukarno ingin mengawinimu”

“Bagaimana pendapatmu?” Inggrit bertanya ” Lalu bagaimana dengan kita berdua?”

Reaksi Sanusi ”Kamu akan berbuat apa jika saya lepas?”

“Saya akan kembali ke ibu saya,” begitu jawab Inggrit mengagetkan.

“Jangan-jangan”, Sanusi bergegas menjawab” Bakal susah nanti. Pasti nanti teman-teman dagang saya akan mendatangi kamu di rumah ibumu untuk merayumu. Tidak, lebih baik kau terima saja pinangan Sukarno dan kau jadikan Ia orang penting,”

 

Baca Juga : Van Mook Rival Sukarno Calon Penguasa Indonesia

 

Cinta itu sangat buta, dan jodoh itu tidak pernah dinyana. Mereka akhrinya menikah di Bandung dengan upacara yang sederhana pada tanggal 24 Maret 1923. Acara itu dihadiri ibu Inggrit Amsi dengan pernikahan secara Islam. Dalam akta perkawinan itu ditulis umur Sukarno 24 tahun, padahal sebenarnya 22 tahun. Sedangkan Inggrit Garnasih yang sudah berumur 36 tahun dibuat umur yang lebih muda dari suaminya. Untuk sementara waktu suami istri ini menyewa rumah di Gang Jaksa. Setelah itu mendapatkan pemondokan di gang Godong Delapan.

 

Selama berumah tangga, boleh dikatakan Inggritlah yang mencukupi kebutuhan dan kekurangan biaya hidup. Sebab Sukarno saat itu konsentrasi menyelesaikan kuliah, dan tentu tidak banyak penghasilan kecuali kiriman dari R Sukemi ayah kandung Sukarno dari Blitar.

 

Baca Juga : Mien Hessels Noni Belanda Kekasih Sukarno

 

Inggit Garnasih lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Penjara yang dikenal angker dan penuh penderitaan itu, justru menjadi tempat penuh jiwa kasmaran bagi Sukarno. Padahal hampir setiap saat ada tahanan yang datang sehat keluar tewas. Banyak diantara tahanan itu disiksa dan stres bunuh diri. Sukarno memang pintar agar dirinya krasan di Sukamiskin. Di ruang sempit dan terisolasi itu, Sukarno masih memainkan perannya dan bisa mengatur para penjaga tahanan.

 

Sukarno memang cerdik. Caranya Ia meminta uang ke isrinya Inggrit Garnasih sebesar 60 gulden untuk dibagikan kepada para penjaga. Jaman itu uang susah didapat dan harus bekerja keras agar bisa memiliki 60 gulden. Sebagai istri Sukarno, Inggrit Garnasih banyak akal pula. Untuk memperoleh uang itu, ia menjadi agen sabun, membuat dan menjual rokok linting merek “Ratna Djuami” yang belakangan diketahui nama anak angkatnya.  Bahkan pernah menjadi agen penjualan cangkul dan parang. Kegiatan itu tentu tidak meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai penjahit dan berjualan bedak kecantikan.

 

Baca Juga : Menguji Wibawa Sukarno di Pertempuran 10 November

 

Uang 60 gulden permintaan Sukarno akhirnya terpenuhi, dan untuk mengirim dan diterima langsung ke tangan Sukarno tidak mudah. Inggrit Garnasih menyelundupkan uang tersebut melalui kue yang dikirimnya saat membesuk. Tidak hanya itu, Inggrit Garnasih juga menyelundupkan naskah dan buku dibalik baju untuk bekal pembelaan Bung Karno di pengadilan nanti. Inggrit tak penah mengeluh ke suaminya betapa sulitnya mencari uang itu. juga tidak pernah bercerita perjalanan dari Bandung menuju Sukamiskin yang jaraknya sangat jauh ditempuh dengan berjalan kaki, sambil menuntun anak angkat mereka yang masih kecil Ratna Djuami. Selain harus menghemat ongkos, saat itu sangat jarang angkutan umum dari Bandung ke Sukamiskin yang melintas pada malam hari.

 

Kehidupan berat  harus Inggrit Garnasih jalani justru setelah sidang pengadilan Hindia Belanda. Saat itu Sukarno diputus harus menjauh dari aktifitas gerakan dan dibuang ke pulau Ende Flores. Atas putusan itu, Inggrit Garnasihlah yang memberi semangat agar suaminya tidak putus asa. Tahun 1932, Inggrit Garnasih ikut dalam pembuangan ke Ende dengan apapun resikonya. Ikut pula dalam rombongan itu Ibu Amsi Mertua Bung Karno yang telah sepuh dan sakit-sakitan. Hingga pada akhirnya Ibu Amsi meninggal dunia di tanah buangan Ende.

 

Baca Juga : Cita Cita Besar Sukarno Anti Kolonialisme Dimulai Dari Sini

 

Seperti dalam petikan buku Kuantar Ke Gerbang “Ia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta atau tahta, yang selalu memberi dan tidak meminta kembali, serta satu satunya yang menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan,”.

 

Memulai Hidup Baru Lagi

Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak. Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya.

 

Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno,"Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami. "Sesudah beberapa waktu tinggal bersama,Bung Karo berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alun-alun.

 

Baca Juga : Berhati Mulia, Sukarno Masih Mengampuni Maukar Calon Pembunuhnya

 

Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno," Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari pedanya dan dia memangilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang godis yang menyenangkan, salah seorang dan anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku.

 

Walau disembunyikan, akhimya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta."Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini Soekamo, jangan coba-coba menyembunyikan diri Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya”

 

Bung Kamo masih mencoba berkilah, "Jangan begitu.Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri"

 

Inggit mengingatkan,"Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."

 

Baca Juga : Soekarno Pernah Kerahkan Pelacur Ikut Berjuang

 

Bung Kamo kemudian semakin sadar, "Fatmawoati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian.”

 

Menurut versi Bung Kamo, dengan cara sopan dia sudah pemah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH, berdasar wawancara dengan Inggit Gamasih, Bung Kamo sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?

 

"Oh dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus dimadu, pantang aku),"jawab Inggit sengit."Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu”

 

Baca Juga : Che Guevara Sahabat Sejati Soekarno

 

Selepas masa pembuangan, 9 Juli 1942 mereka tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang kemudian hari dipakai tempat pembacaan proklamasi. Namun Inggrit tidak pernah mememetik buah kemenangan bersama Sukarno. Sebab  pasangan ini berpisah. Inggrit Garnasih memilih tinggal di Bandung bersama anak angkatnya Ratna Djuami hingga akhir hayatnya di usia 96 tahun dan dimakamkan di kuburan umum Babakan Ciparay. Prosesi pemakaman dihadiri Gubernur Jawa Barat Kunaefi. “Ibu Inggrit Garnasih ini orang besar, Kita bukan apa-apanya bila dibandingkann dengannya,”  kesan Kunaefi seperti yang dikutip di koran Pikiran Rakyat.

 

Warga Bandung sangat mengenal ibu Inggrit Garnasih Garnasih. Sebagai tanda penghormatan memasang bendera setengah tiang secara serempak tanpa disuruh. Mereka juga berduyun-duyun ikut mengantarkan jenasah, seorang wanita tua berjiwa besar yang membesarkan pemimpin bangsa di negara besar. (pul)

 

 

 

Artikel lainnya

Sehat Bersama Pemerintah Baru 52,2 Juta Warga Indonesia Dapat Cek Kesehatan Gratis

Mahardika Adidaya

Oct 24, 2024

Salah Langkah Kebijakan Pangkas Nilai Tambah Ekonomi Hilirisasi Nikel

Author Abad

Jul 15, 2024

Menggali Dana Hibah Untuk Pensiun Dini PLTU

Author Abad

Jul 16, 2024

TNI Berumur 77 Tahun, Menjadi Dewasa Karena Tindakan

Author Abad

Oct 06, 2022

Kembali ke Jati Diri Adalah Kembali ke Kebun, Sawah dan Segenap Pertanian Rakyat

Malika D. Ana

Apr 03, 2023

Pertukaran Budaya Indonesia Jepang Dalam Subtrack

Pulung Ciptoaji

Mar 02, 2023