abad.id- Ibu Agung Maradia Depu Maraqdia Balanipa (Maradia Depu) seorang perempuan tangguh. Srikandi dari Mandar ini dikenal gigih memimpin rakyat berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bersama lima tokoh lain, pada 8 November 2018 Maradia Depu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. Maradia Depu merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional dari Sulawesi Barat.
Kisah perlawanan Maradia Depu berawal sejak Belanda mulai masuk daerah mandar tahun 1906. Pada tahun yang sama Maradia Tomatindo di Djudda menjadi Raja Balanipa ke 50, dan membawakan tujuh kerajaan kecil di Mandar. Maradia Tomatindo meninggal dunia tahun 1927 di Mekah. Karena itu lembaga adat segera memilih pengganti.
Raja Maradia Tomatindo mempunyai putra sebelas orang dari istri yang berlainan. Maradia Depu, anak ke 6 dan satu-satunya wanita. Maradia Depu dipilih oleh lembaga adat untuk menggantikan kedudukan Maradia Tomatindo. Pemilihan tersebut ditolak oleh gubernur Sulawesi pada zaman Belanda. Alasannya, la wanita, bagaimana bisa menjadi raja? Sungguhkah ia mampu?
Tapi anggota lembaga pemerintahan adat tetap bersikeras. Mereka merasa pilihannya tak salah. Meskipun Maradia Depu wanita, sikapnya sangat jantan. Sikap seperti inilah yang diperlukan rakyat Mandar sebagai pemimpin.
Akhirnya pemerintah Belanda mengajukan syarat, boleh saja wanita jadi raja, kalau rakyatnya kepingin begitu, tapi yang pantas memerintah tetap laki-laki. Jadi suaminyalah yang memerintah atas nama Maradia Depu pada tahun 1927. Sedangkan Maradia Depu menjalankan pemerintahan adat.
Sebenarnya ada sesuatu alasan mendasar terpilihnya Maradia Depu menjadi ratu. Maradia Depu dipingit sampai usia 11 tahun, dan tempat bermain hanya sekitar istana.Tidak punya teman bermain kecuali dayang yang selalu menjaga dengan hati-hati. Maradia Depu melihat isi dunia dari istana panggung milik ayahnya. Selama dipingit kakinya tak pernah boleh menginjak tanah.
Maradia Depu yang dipanggil Sugirana ini, anak kesayangan ibunya Permaisuri Sumaturu. Raja pun sangat sayang kepada Maradia Depu. Kasih sayang kedua orang tuanya ini menyebabkan Maradia Depu dipingit. la dijaga layaknya intan
Setelah peraturaan adat pingit berakhir, Maradia Depu mulai berani dan gemar melakoni permainan yang biasa dilakukan anak-anak lelaki. Ia suka memanjat pohon, menunggang kuda, bahkan main perang-perangan. Sang putri juga senang bergaul dengan siapapun.
Ibu Agung Maradia Depu Maraqdia Balanipa (Maradia Depu) dinobatkan sebagai Arayang atau Maraqdia Balanipa di Mandar. Foto dok femina
Saat matahari sudah di kaki langit, raja menyempatkan duduk berdua dengan Maradia Depu. Ternyata, raja menceritakan penderitaan rakyatnya. "Mata saya sampai tak berkedip, kalau ayah meceritakan petani kopra tak bisa berbuat apapun, saat pengusaha Belanda mengambil dengan paksa dan rakus milik mereka. Itukah arti penjajahan, sering saya pertanyakan di dalam hati," kenang Maradia Depu.
Meskipun berasal dari keluarga raja, pendidikan formal Maradia Depu sangat terbatas. Namun, itu rupanya tidak terlalu bermasalah baginya. Ia justru bisa memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk semakin mendekatkan diri dengan rakyat Mandar, sambil memperdalam ilmu agama.
Sampai Maradia Depu dewasa, cerita tentang penderitaan rakyat tetap berbekas di hati. Suaminya, Andi Baso Pabiseang, lelaki tampan yang punya kedudukan sebagai kepala Distrik Campalagian. Kedudukan ini bisa disamakan dengan pembantu raja dalam pemerintah kerajaan. Mestinya kedudukan dan kemewahan bisa melemparnya ke dunia impian, tanpa perlunya memikirkan penjajahan.
Pada tahun 1929, setahun setelah Sumpah Pemuda, datang beberapa orang pembaharu dari Ujung Pandang. Mereka itu para guru, H.M Saleh, Syamsyudi dan H. Dunuyuaalo yang menggerakkan kaum muda untuk berorganisasi. Kegiatannya antara lain membentuk koperasi, mendirikan sekolah dan melakukan pemberantasan buta hurup. Maradia Depu sering bertukar pikiran dengan para pemuda tersebut, dan dia juga menyokong setiap usaha untuk mensejahterakan rakyat. Sejak saat itu, pikiran tentang nasionalisme Indonesia tertanam hingga akhir hayatnya.
Maradia Depu Membawa Pemikiran Baru di Mandar
Maradia Depu sesungguhnya tak suka dengan kemewahan. Akan tetapi ia tak kuasa melawan adat yang ketat. Maradia Depu mencoba sedikit demi sedikit mengikis adat yang dianggapnya tidak sesuai. Misalnya suatu ketika ia pernah melawan kebiasaan. Waktu itu anak tunggalnya Andi Parenring berumur 2 tahun. Menurut adat, sampai seumur itu seorang anak belum boleh menginjak lantai, kecuali setelah diadakan upacara. Juga seorang anak pantang menginjak tanah sebelum melakukan upacara menginjak tanah.
"Saya merasa kasihan kepada anak saya ke sana ke mari selalu digendong dayang-dayang. Anak itu sering meronta-ronta ingin turun, tapi tak ada dayang yang berani melanggar adat. Barangkali si anak ingin kebebasan. Saya dapat merasakan betapa tidak enak bila hidup tanpa kemerdekaan. Ini saya alami waktu dipingit. Oleh karena itu saya suruh para dayang untuk membiarkan anak saya bermainmain di lantai. Para dayang terkejut mendengar perintah itu. Saya bilang pada mereka, 'Jangan takut. Toh Maradia tidak ada.' Ya, waktu itu ayah dan ibu saya (kami menyebut mereka Maradia) sedang pergi ke Mekah. Jika mereka ada di sini, mungkin saya pun tidak berani berbuat begitu." Cerita Maradia Depu
Pada waktu sang anak berumur 6 tahun, Maradia Depu berselisih dengan suaminya. Sang suami memilih menyekolahkan anaknya di sekolah desa 3 tahun. Maradia Depu menghendaki supaya anaknya dimasukkan ke sekolah Belanda meski jauh di Pare-pare."Saya ingin agar anak saya bersekolah lebih lama, tidak sekedar 3 tahun. Dengan pendidikan yang cukup, ia akan mempunyai masa depan lebih baik," kata Maradia Depu. Setelah ramai bersitegang, akhirnya sang suami mengalah.
Perselisihan dengan suaminya sekali lagi terjadi pada saat memperbincangkan masalah yang mendasar yakni cara mengusir penjajah Belanda. Maradia Depu berpendirian, "Angkat senjata! Usir penjajah!" Suaminya lain lagi, "Mengangkat senjata? Mana mungkin kita menang. Bangsa kita masih lemah, membuat jarum saja tidak becus."
Terlibat Mendirikan Republik Indonesia
Pada 1943 saat pemerintahan Jepang, Maradia Depu memelopori berdirinya Fujinkai di Mandar sebagai wadah pergerakan kaum perempuan di daerahnya. Tujuannya ingin memberdayakan memberi pendidikan yang baik kepada perempuan.
Saat terdengar kabar Jepang mulai terdesak oleh Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya, Maradia Depu turut menggagas dibentuknya organisasi bernama Islam Muda pada April 1945. Hingga Indonesia akhirnya merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Maradia Depu dan rekan-rekan seperjuangan segera bergerak menyebarkan berita gembira ini ke seluruh pelosok Mandar. Bendera Merah-Putih pun langsung dikibarkan di halaman depan Istana Balanipa.
Namun, suka-cita tidak berlangsung lama. Hanya beberapa pekan usai proklamasi, Sekutu datang lagi, diboncengi Belanda (NICA). Kedaulatan rakyat Mandar kembali terancam. Maradia Depu pun segera menyusun kekuatan demi menjaga kemerdekaan. Bahkan, ia menjadikan Istana Balanipa sebagai markas para pejuang Republik di Mandar.
Sementara itu awal tahun 1946, atas permintaan para tokoh adat dan masyarakat, Maradia Depu dinobatkan sebagai Arayang atau Maraqdia Balanipa di Mandar. Arayang atau Maraqdia merupakan sebutan bagi raja atau pemimpin kerajaan. Maradia Depu dengan demikian menjadi pemimpin perempuan pertama dalam sejarah Kerajaan Balanipa.
Sejak saat itu, Maradia Depu lebih akrab dipanggil Ibu Agung, bukan Arayang, Maraqdia, ataupun Ratu, lantaran ia sangat dekat rakyat Balanipa di Mandar dan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Demi cita-cita menuju kemerdekaan yang utuh di wilayah Mandar, sang ratu mengutus dua orang kepercayaannya ke Yogyakarta pada akhir Februari 1946 untuk memperoleh infomasi terkini terkait perjuangan yang digelorakan di ibu kota RI tersebut.
Dinobatkannya Maradia Depu sebagai Arayang Balanipa semakin mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin rakyat Mandar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Maradia Depu dengan dibantu oleh segenap elemen perjuangan lainnya berhasil menggelorakan semangat rakyat untuk melawan ambisi Belanda yang ingin berkuasa lagi. Maradia Depu ikut mengangkat senjata bersama rakyat. Suaminya tak mau diajak serta bergerilya melawan Belanda. Karena itu Maradia Depu memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. '"Saya siri,'" kata Maradia Depu.
Perkataan siri berarti malu yang menyangkut harga diri. "Saya malu kepada rakyat yang menderita jika saya tetap tinggal bersenang-senang di istana."
Maka diputuskanlah ia bersama putra tunggalnya Andi Parenring yang saat itu berusia 13 tahun pindah ke istana tua milik ayahnya. Istana tersebut kemudian dijadikan sebagai markas perjuangan.
Beberapa kali Maradia Depu dibujuk suaminya agar meninggalkan istana tua, dan kembali berkumpul bersamanya. Tapi permintaan itu selalu ditolaknya. Suaminya tetap memerintah di kerajaan Balanipa. Dan Maradia Depu tetap di istana tuanya.
Nyonya Depu dan Peristiwa Merah Putih
Kisah heroik Maradia Depu bermula pada 15 Januari 1946. Hari itu suasana masih mencekam. Puluhan tentara Belanda berseragam NICA dengan senjata lengkap tiba-tiba datang tanpa diundang. Mereka mengepung Istana Balanipa yang memang menjadi markas para pejuang republik di Mandar, Sulawesi Barat.
Beberapa serdadu NICA di barisan terdepan bergerak maju, bermaksud menurunkan Sang Saka Merah-Putih yang dikibarkan di halaman istana. Belum sempat orang-orang asing itu mendekat, terdengar suara nyaring, berseru dengan lantangnya.
“Hei kau, anjing Belanda! Kalau kalian berani, tebaslah tiang bendera ini bersama dengan tubuh saya. Langkahi mayat saya sebelum kalian menurunkan Sang Saka ini!” hardik perempuan yang tidak lain Maradia Depu di pemilik istana.
Sementara itu para pemuda yang mengawal sang ratu langsung bersiaga. Mereka juga bersiap angkat senjata jika bentrokan tidak bisa lagi dihindari. Namun, nyali lawan rupanya terlanjur ciut, mereka pun terpaksa mundur teratur.
Sejak itulah Belanda menyadari pengaruh Maradia Depu. la bersama putranya dikejar-kejar Belanda, sehingga keduanya bersama rakyat masuk hutan bergerilya.Pada saat-saat bergerilya itulah selebaran berhadiah dijatuhkan di daerah Mandar. "Saya beberapa kali mengubah dandanan menyamar, kadang-kadang sebagai lelaki. Beberapa kali saya bebas masuk keluar hutan dengan cara itu," kenang Maradia Depu.
Seperti yang diterapkan di Jawa maupun di tempat-tempat lain, perjuangan yang dipimpin Maradia Depu di Mandar juga dilakukan secara gerilya. Cara ini amat merepotkan Belanda. Beberapa kali pecah bentrokan bersenjata, namun Maradia Depu selalu dapat meloloskan diri. Ia dianggap sebagai kunci pergerakan rakyat Mandar, khususnya gerakan KRIS MUDA. Maka, Belanda dengan segala upaya berusaha menangkap Maradia Depu.
Misi Belanda itu akhirnya membuahkan hasil pada Desember 1946. Maradia Depu kala itu dalam perjalanan pulang dari Makassar usai melakukan koordinasi dengan pejuang Republik di sana. Pasukan Belanda sudah siap menyergap dan terjadilah pertempuran sengit selama beberapa jam. Banyak korban berjatuhan. Maradia Depu yang berada dalam situasi terdesak pun ditangkap dan masuk penjara Majene
Setahun kemudian terjadilah peristiwa besar ketika Maradia Depu di penjara Majene. Seorang perwira Belanda bersama anak buahnya ditumpas gerilyawan anak buah Maradia Depu. Betapa geramnya Belanda bahwa cakar-cakar Maradia Depu tetap membakar semangat rakyat. Bahkan di balik terali penjara. Maradia Depu masih bisa berhubungan dengan anak buahnya. Maka harus segera dipindahkan agar pengaruhnya hilang.
Dari Majene, Maradia Depu dipindahkan ke Pare-pare. Siapa tahu nyali rakyat Mandar bisa kendur. Sampai 28 kali Maradia Depu berpindah penjara, antara lain ke Jeneponto, Pinrang, Mamuju, dan Polewali.
Tak ada yang menyedihkan berpindah pindah di sel hitam yang pekat, kecuali saat dijebloskan di penjara Rappang. Ukuran sel itu keciI. Tempat yang membuat paru-paru terasa sesak, dijejali 43 tawanan. Lalu, ia satu-satunya wanita.
Di dalam penjara ia merasakan pengalaman pahit. Maradia Depu dicerca, dihina, disiksa. la tak peduli, kendati bayonet pernah bersarang di lengannya. Waktu terus bergulir. Belanda pada perkembangannya mampu memecah-belah Indonesia dengan membentuk sejumlah negara boneka. Salah satunya adalah Negara Indonesia Timur (NIT). Sementara itu, Maradia Depu masih meringkuk di bui.
Maradia Depu dan para pemimpin perjuangan rakyat Mandar akhirnya bebas menjelang penyerahan kedaulatan Indonesia secara penuh pada akhir 1949 sesuai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Selepas dari penjara, Maradia Depu turut mendukung pembubaran NIT. Akibatnya, ia ditahan lagi oleh sisa-sisa orang-orang NIT selama sebulan. Barulah Maradia Depu menghirup udara bebas di negara yang sudah merdeka, namun fisiknya jadi lemah. Sejak saat itu berulangkali Maradia Depu masuk rumah sakit.
Pada tahun yang sama setelah keluar dari penjara, Maradia Depu bercerai secara resmi dengan suaminya. Relung-relung cinta terkalahkan oleh keinginannya untuk bersama rakyat. Setahun kemudian, suaminya menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat. Rakyat Mandar mendesak Maradia Depu menjadi Raja Balanipa ke 52. Pemerintah Indonesia pun mendukung niat rakyat. Kerajaan Balanipa yang pernah besar di Teluk Mandar berubah menjadi daerah Swapraja. Di situlah Maradia Depu memegang pucuk pimpinan selama 9 tahun.
Kemudian Maradia Depu mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Atas jasa-jasanya Maradia Depu mendapat 10 penghargaan dari pemerintah Indonesia. Aantara lain, Bintang Mahaputera Tingkat IV, Tanda Kehormatan Satia Lencana Peringatan Perjuangan, Tanda Jasa Bintang Gerilya, Surat Penghargaan dari Kementrian Staf Angkatan Darat.
Di usia ke 76 tahun, Maradia Depu kerap bolak-balik ke Makassar untuk memeriksakan kesehatannya. Selama dalam pantauan dokter ini, Ia tetap beraktivitas untuk kepentingan rakyat dengan terlibat di berbagai kegiatan sosial.
Dia hidup bersama cucu dari saudara-saudaranya. Sementara anak tunggalnya, Andi Parenring meninggal dunia tahun 1981 tanpa mempunyai keturunan. Maradia Depu menetap di Ujung Pandang di sebuah rumah tua. Tanggal 18 Juni 1985, setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Pelamonia Makassar, Ibu Agung Hajjah Maradia Depu Maraqdia Balanipa (Maradia Depu) meninggal dunia dalam usia 78. Jenazah sang ratu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar, Sulawesi Selatan. (pul)