Surabaya Dalam Jejak Kubilai Khan, Cheng Ho dan Marga Han
Surabaya kota multikultural. Jejaknya bisa dilacak dari peninggalan dan kronologi sejarah yang ada. Berikut kisahnya.
Abad.id - Kedatangan Mongol (1293)
Pulau Jawa sudah lama dikenal oleh penguasa Tiongkok. Ada beberapa catatan tentang hal itu. Catatan tertua adalah mengenai kedatangan pasukan Mongol di Jawa di masa pemerintahan Dinasti Yuan (1271 - 1368).
Pasukan Mongol adalah unit tempur berkuda dari Asia yang terkenal karena kekejamannya. Mereka berhasil menaklukkan wilayah yang sangat luas mulai dari medan bertebing, berhutan, berpasir hingga bersalju pada abad ke-13 dan mendirikan Kekaisaran Mongolia di bawah Jenghis Khan pada 1206.
Kubilai Khan (1215-1294) adalah cucu Jenghis Khan (- 1227), yang berhasil menguasai China dan berkehendak meluaskan geo politiknya di Jawa, yang terlebih dahulu harus menaklukkan raja Jawa Singasari. Maka sebagai langkah awal diutuslah Meng Chi, tapi ditolak mentah mentah oleh raja Singasari, Kertanegara pada 1292.
Pada 1293, Kubilai Kan mengirimkan pasukan untuk menginvasi Singasari di tanah Jawa. Sebuah perjalanan yang cukup jauh, 4000 km yang ditempuh dengan perjalanan laut, memberangkatkan 500 kapal dan ribuan pasukan. Mereka dipimpin okeh tiga jendral: Shih Pi, Ike Mese dan Gau Xing. Tujuannya menghukum Kertanegara. (Archaeological Reseach in Asia: Mongol Fleet on the Way to Java - First Archaeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia).
Mereka berangkat dari Guangzhou (Fujian) pada 22 Januari 1293, melalui Hainan, Kepulauan Karimata, Karimun Jawa, dan akhirnya mendarat di Tuban (Jawa) pada 22 Maret 1293. Mereka butuh 2 bulan perjalanan laut.
Menurut Groenneveld dalam bukunys "Notes in the Malay Archipelago and Melacca", compiled from Chinese Sources" (1876), yang mengutip catatan China disebutkan bahwa dari Tuban pasukannya dipecah menjadi tiga. Masing masing di bawah satu jendral. Separuh pasukan jalan darat menuju (rencananya) Tumapel dengan dipimpin general Ike Mese dan Kau Tsing, yang terlebih dahulu harus singah di sebuah delta dekat muara Pa-Tsih-Kan (Kalimas).
Sementara separuh pasukan lainnya, yang dipimpin general Shih Pi, melalui laut menuju delta yang sama di muara Pa-Tsih Kan. Dari pangkalan inilah, mereka berencana bergerak untuk menghukum Raja Kertanegara dari Tumapel melalui sungai Brantas. Tapi Raja sudah meninggal karena dibunuh Raja Jayakatwang dari Daha. Peta politik dan pertempuran pun berubah.
Singkat cerita, misi invasi Mongol atas Jawa ini gagal dan pasukan Monggol yang perkasa itu kalah perang dan harus meninggalkan pulau Jawa, tepatnya terjadi pada 31 Mei 1293. Data ini sebagaimana tercarat dalam Archaeological Reseach in Asia: Mongol Fleet on the Way to Java - First Archaeological Remains From the Karimata Strait in Indonesia by Hsiao-Chun Hung, Hartatik, Tisna Arih Ma'arif dan Truman Simanjuntak.
"Mereka tiba di Tuban, utara Jawa, pada 22 Maret 1293 dan meninggalkan Jawa pada 31 Mei 1293. (Tidak disebutkan melalui mana mereka meninggalkan Jawa). Lalu mereka menempuh 4100 km menuju Guanzhou dalam waktu 66 hari", tulis laporan itu.
Sementara Groenneveld memperinci kedatangan pasukan Monggol ke Jawa yang diawali dari Tuban, lalu Gresik, Surabaya dan kemudian ke pedalaman Jawa. Dari kedatangan mereka di Jawa, diduga kuat mereka menyisakan jejak jejaknya di Jawa.
Kedatangan Cheng Ho (1412)
Catatan mengenai kedatangan bangsa Tiongkok berikutnya adalah kedatangan rombongan Cheng Ho. Cheng Ho atau Zheng He adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok muslim yang terkenal. Di antara penjelajahannya adalah ekspedisi ke Nusantara, termasuk ke Jawa untuk tujuan Majapahit pada awal abad 15.
Ceng Ho. Foto: repro
Adalah Ma Huan, seorang Tiongkok muslim juga yang menulis kronik perjalanan ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15, khususnya catatan perjalanan menuju Majapahit.
Dari catatan Ma Huan, secara umum menuliskan sebagai berikut. Bila berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Kemudian orang Tionghoa datang dan menghuni nya. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun.
Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih.
Kemudian, dari sana bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok. Jadi saat kedatangan Cheng Ho, di Surabaya (Su-Lu-Ma-Yi) sudah ada warga etnis China.
Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu (Pelabuhan Canggu). Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit.
Kisah perjalanan Cheng Ho ini sebagaimana ditulis Ma Huan dalam catatan yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean's Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text yang diedit oleh Feng Ch'eng-Chiin dan di terbitkan oleh Cambridge University Press 1970.
Dalam tulisan Groenneveld, Cheng Ho datang ke Jawa pada awal abad 15 dengan mengikuti rute yang pernah dilalui oleh tentara Mongol pada akhir abad 14. Yaitu dari Guangzhou, Hainan, Natuna, Karimata (Chia-Li-Ma-Ta), Karimunjawa (Chie-Li-Men), Lasem (Na-Ts'en), Tuban (Tu-Pan), Gresik (Chi-Li-Shih) dan Surabaya (Su-Lu-Ma-i) lalu ke Majapahit (Man-Che-Poo-i).
Sebetulnya, sebelum kedatangan Cheng Ho, yang beragama Islam, ke Jawa, di China sendiri agama Islam sudah berkembang lebih dari ratusan tahun tahun. Di kota Taiyuan, di ibukota Provinsi Shanxi, sudah ada masjid kuno yang berdiri sejak abad 11. Di era yang sama di Jawa adalah di masa Airlangga.
Hingga kini masjid kuno itu selalu ramai, apalagi ketika masuk bulan Ramadhan. Tidaklah heran jika agama Islam sudah menjadi bagian dari agama dan kepercayaan masyarakat Tionghoa di negeri Tirai Bambu ini.
Peninggalan China di era Majapahit
Peninggalan serta bukti bukti yang ada menunjukkan pernah adanya aktivitas dari suatu peradaban. Kerajaan Majapahit pada masanya menjadi magnet kedatangan orang orang asing. Salah satunya adalah dari China. Orang China memang dikenal sebagai bangsa perantau sejak dahulu hingga tahun tahun berikutnya.
Kedatangan orang China ke Majapahit, salah satunya untuk melakukan usaha perdagangan dan lainnya. Wujudnya beragam dan jejaknya masih bisa dikenali hingga sekarang. Ada arca orang orang China dalam. Berbagai bentuk, gerabah porcelin, hingga mata uang.
Contohnya temuan di Trenggalek dari era Majapahit, yang berupa benda dan barang dari China seperti mangkok, uang kepeng, hingga cupu yang diperkirakan dari Dinasti Ming. (koranmemo,com, 28 Januari 2019)
Dari segi agama dan kepercayaan pun, warga Tionghoa juga sudah mewarnai sifat keagamaan orang-orang Majapahit kala itu.
Misalnya agama Islam. Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan, yang beragama Islam, turut mewarnai kehidupan masyarakat di era kerajaan Majapahit.
Bahkan Raden Rahmad, yang selanjutnya disebut Sunan Ampel di kenal sebagai sosok berdarah Tionghoa. Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong, Semarang, Sunan Ampel dikenal dengan nama Bong Swi Hoo. Ia adalah cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi dan percampuran antara suku Han di Tiongkok dengan bangsa Samarakand, Asia Tengah). (https://p2k.unkris.ac.id/en3/3065-2962/Sunan-Ampel_35252_p2k-unkris.html)
Kedatangan Marga Han di Surabaya (1700)
Marga Han mulai datang ke Jawa di kisaran awal abad 18 atau tahun 1700-an. Tidak ada data yang tepat mengenai tahun kedatangan Merga Han ke Jawa. Tapi yang jelas, kedatangan Marga Han ini diawali dengan kehadiran Han Siong King (1674-1743) di Lasem.
Han Siong Kong datang ke Jawa mengikuti jalur jalur kuno yang telah dijelajah oleh para pendahulunya baik itu tentara Mongol (1293) maupun Cheng Ho (1412).
Ia berhenti di Lasem setelah melewati kepulauan Karimata, Karimunjawa, Jepara dan Muria. Lasem sendiri menjadi magnet bagi Han Siong Kong karena disana sudah ada jejak peradaban China dari penjelajah sebumnya.
Di Lasem Han Siong Kong menikah dengan wanita lokal yang namanya tidak diketahui. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai lima anak laki laki: Han Tjoe Kong, Han Kien Kong, Han Tjien Kong, Han Hien Kong dan Han Bwee Kong.
Setelah kematian Han Siong Kong pada 1743, anak anaknya berpencar. Dua anak tertua (Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong) menetap di Lasem. Dua lainnya Han Tjien Kong dan Han Hien Kong menuju Besuki dan menetap disana. Sementara satunya, yang bernama Han Bwee Kong, menuju Surabaya dan menetap di Surabaya.
Seperi halnya di Lasem, yang menjadi jujugan ayahnya, Surabaya yang menjadi jujugan Han Bwee Kong juga karena di Surabaya sudah ada jejak dari pendahulunya (Mongol 1293 dan Cheng Ho 1412). Titik peradaban China di Surabaya (Su-Lu-Ma-i) adalah kawasan tepian sungai Pa-Tsih-Kan (Kalimas), yang sekarang disebut Pecinan.
Lokasi Pecinan dan Delta Sungai
Lokasi Pecinan ini adalah kawasan yang berada di antara dua sungai: Kalimas dan Pegirian atau kawasan delta Sungai. Kawasan delta sungai mulai dari dulu hingga datangnya Marga Han selalu menjadi jujugan peradaban.
Pada 1293, pendaratan pasukan Mongol setelah dari Tuban adalah sebuah delta yang dekat muara Pa-Tsih-Kan (Kalimas). Pada 1412 ketika Cheng Ho menuju ke Majapahit juga berhenti di delta Surabaya terlebih dahulu. Pun demikian dengan kedatangan Han Siong Kong pada awal 1700-an juga menuju di delta sungai (antara Kalimas dan Pegirian).
Jadi kawasan di antara dua sungai: Kalimas dan Pegirian adalah kawasan kuno di Surabaya. Fakta ini dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi berupa sumur Jobong di kampung Pandean Peneleh pada 2018. Berdasarkan hasil uji karbon, sumur sudah ada pada 1430. Ini menguatkan data literasi keberadaan permukiman Glagah Arum (Pandean Peneleh) pada 1270 dan Surabaya 1275 (GH Von Faber).
Data (Faber) dan fakta (Sumur) menguatkan Prasasti Canggu (1358) tentang sebuah desa di tepian sungai (naditira pradeca) CURABHAYA yang sekarang menjadi Surabaya.
Ketika bangsa Eropa (Belanda) datang ke Surabaya pada 1612 (Hendrik Brouwer) dan Jan Pieterszoon Coon (1617) dan kemudian menetap di Surabaya bermula dari kawasan yang tidak jauh dari permukiman sebelumnya (Pecinan, Melayu, Arab dan Jawa) tetapi mereka memilih lokasi di seberang (barat) Kalimas. Mereka menggunakan Kalimas sebagai batas alami.
Han Bwee Kong (Foto: repro)
Di masa masa VOC (1617 - 1799) keluarga Han, yang di Surabaya diawali oleh Han Bwee Kong, mulai berkembang. Peran keluarga Han dalam hal percaturan ekonomi, perdagangan, hingga pemerintahan dan politik semakin kuat di wilayah Pantai Utara Jawa bagian Timur (Java's Oosthoek) mulai Tuban hingga Besuki Situbondo.
Keluarga Han pun mewarnai sendi sendi kekeluargaan dengan priyayi dan bangsawan Surabaya melaui pernikahan. Putri putri keluarga Han dinilkahi oleh priyayi Surabaya, misalnya dari trah Kromojayan (Krimojoyodirono). Trah Krimojoyodirono tidak hanya di Surabaya, tapi berkembsng hingga ke Mojokerto.
Apalagi salah satu anak dari Han Siong Kong yang bernama Han Tjien Kong yang juga bernama Soero Pernollo memeluk agama Islam. Soero Pernollo menetap di Besuki dan menikah dengan Puteri lokal. Dari sana berkembanglah Marga Han yang beragama Islam dan banyak menempati posisi penting di bidang pemerintahan dan politik. (Nanang)