Pohon Sawo Penanda Pengikut Diponegoro
Laporan: N. Aji
Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan Islam di berbagai penjuru mata angin. Namun ada satu komitmen yang menarik dari pengikut Pangeran Diponegoro, yakni untuk menandakan semangat persatuan melawan kemungkaran, setiap lokasi yang mereka diami ditanami pohon sawo.
- - - - - -
Sejak penangkapan Pangeran Diponegoro oleh De Kock dan kemudian diasingkan, pahlawan Goa Selarong ini menghembuskan nafas dalam kesunyian. Benar-benar tragis. Ia dijauhkan dari peradaban pasca perang Jawa yang terkenal itu. Ia jauh dari sanak dan pengikutnya.
Hingga akhirnya pangeran yang memiliki nama asli Ontowiryo ini wafat pada Senin 8 Januari 1855, di usia 73 tahun (versi lain usia 69 tahun). Jenazahnya dikuburkan di luar benteng Rotterdam, di kampung Melayu sebelah utara Ujungpandang (sekarang Makasar).
Sejak perang Jawa pecah tahun 1825-1830, pamor Pangeran Diponegoro telah naik dari bangsawan Mataram menjadi messiah tanah Jawa. Betapa tidak, ia telah memimpin gerakan perlawananan sporadis alias kraman terbesar sepanjang sejarah kolonialisme Hindia Belanda di tanah Jawa. Tidak hanya jatuh korban besar di kedua belah pihak, tetapi akibat perang tersebut telah menghabiskan pundi-pundi kerajaan Belanda. Selama perang kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Perang Jawa ini setidaknya telah memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya dalam kurun 5 tahun peperangan.
Pasca perang, pengikut Pangeran Diponegoro banyak meninggalkan jejak. Sejak itu pula sejarah penyebaran agama Islam di abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda di berbagai daerah.Yah, para pengikut Pengeran Diponegoro kemudian melanjutkan perjuangan sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat yang masih kental dengan budaya dan agama Hindu Majapahit.
Tidak bisa dipungkiri, perang Jawa telah mengakibatkan banyak ulama pengikut Diponegoro mati syahid. Namun sisanya menyingkir ke pedalaman, membuka perkampungan, mendirikan masjid, mengajar ngaji para penduduk kampung. dan merintis pesantren. Sebagian besar para ulama dan santri ini mengganti nama dan identitas untuk menghindari kejaran Belanda yang terus menerus memantau pergerakan sisa-sisa laskar Diponegoro.
Sisa-sisa prajurit Diponegoro dalam taktik mengundurkan diri ini bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta dan Magelang, lalu beralih ke wilayah timur atau Matraman. Dipilihnya daerah Matraman karena umurnya sudah 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia.
Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel (mendirikan banyak benteng kecil untuk menjepit gerak langkah pasukan Diponegoro), dalam Perang Jawa, yang sebelumnya mereka alami. Mereka membuka lahan baru (mbabat alas) bersama pengikutnya maupun menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya.
Di Matraman ini, para pengikut Diponegoro terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama asli) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu.
Adalah Pangeran Djonet atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang diterima dengan tangan terbuka dan perlindungan masyarakat Matraman. Di situlah sang pangeran beserta pengikutnya menetap di Matraman lebih kurang selama dua tahun.
Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) dalam blognya menyebut, Pangeran Djonet sudah sejak kecil ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong, setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda.
Sehingga dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela.
Mendirikan Masjid dan Pesantren
Dari pesantren kembali ke pesantren, demikian semangat historis pengikut sang messiah ini. Memang tidak banyak diketahui bagaimana para ulama dan kyai menjadi elemen penting pengikut Diponegoro. Padahal masa sebelumnya ulama dan keraton berbatas garis demarkasi gara-gara kedekatan keraton dengan kolonial yang dicap kafir.
Namun sejarawan asal Inggris yang menekuni penulisan sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey menyebut, sebenarnya laskar Pangeran Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di samping prajurit yang dilatih militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama yang notabene mempunyai kemampuan ilmu kanuragan.
Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 syeikh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Ya, setelah pengikut Diponegoro menempati wilayah Matraman, mereka lantas mendirikan masjid dan pesantren. Jejak-jejak itu dapat dilihat dengan masih berdirinya pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang banyak menyimpan kronik-kronik sejarah ini.
Sebut saja di Magetan, terdapat Pesantren Takeran yang menjadi peninggalan pengikut Diponegoro. Pesantren ini yang didirikan oleh Kyai Kasan Ngulama (Kyai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syattariyah, yang juga merupakan putera Kyai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kyai Khalifah alias Pangeran Kertopati usai perang mengungsi ke arah timur Gunung Lawu, Magetan, dan membangun sebuah padepokan agama di Bogem, Sampung, Ponorogo.
Di pondok yang merupakan cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM), Kyai Hasan melakukan kaderisasi para santri yang kelak juga banyak mendirikan pesantren lain di berbagai daerah. Berasal dari Bagelen, Purworejo, trio veteran Perang Jawa: Kyai Nur Qoiman, Nuriman dan Ya’qub, memutuskan mbabat alas di Desa Gondang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek.
Di desa ini, tiga bersaudara tersebut mendirikan sebuah masjid. Keberadaan masjid sederhana ini kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren salaf di era kepemimpinan Kyai Murdiyah alias Kyai Muhammad Asrori, yang merupakan murid Kyai Kholil Bangkalan. Di era Kyai Asrori, banyak santri yang datang berguru. Kebanyakan berasal dari wilayah Mataraman dan Jawa Tengah. Pesantren berusia tua ini sekarang menggunakan nama PP Qomarul Hidayah.
Sezaman dengan Kyai Khalifah, tak jauh dari situ ada masjid kuno bernama masjid KH Abdurrahman. Lokasinya di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi. Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi.
“Waktu itu setelah kalah perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini,” jelas keturunan kelima KH Abdurrahman, KH Gunawan Hanafi.
Gunawan menuturkan bahwa KH Abdurrahman merupakan keturunan keluarga Kraton Padjajaran, Jawa Barat, dan hijrah ke Pacitan, Jawa Timur, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Kraton Solo. “Beliau itu memang berganti-ganti nama sebagai strategi perjuangan agar sulit dicari penjajah,” kata ketua ta’mir masjid setempat ini.
Demikian pula dengan Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. Keberadaannya tak bisa lepas dari keterkaitan historis dengan perang Diponegoro. Sebab pendiri dan pembabat alas desa dan Pondok Tambakberas adalah Kyai Abdus Salam atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Soihah. Dia tak lain pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Ketika mbabat alas, Kyai Abdus Salam bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya. Jumlah santrinya dibatasi 25 orang. Pondok ini dikenal dengan nama pondok selawe alias “pesantren dua puluh lima” atau disebut pondok telu karena hanya ada tiga unit bangunan.
Di kemudian hari, Bani Abdus Salam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para kiai di wilayah ini mengerucut pada namanya. Salah seorang puterinya, Layyinah, dipersunting Kyai Usman yang kemudian menurunkan Kiai Asy’ari, ayah dari KH. M. Hasyim Asy’ari. Adik Layyinah yang bernama Fatimah menikah dengan Kiai Said. Pasangan ini dikaruniai putera bernama Chasbullah Said.
Nama terakhir ini adalah ayah dari KH. A. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU. Sedangkan adik Kyai Wahab menikah dengan KH. Bisri Syansuri, ulama yang berasal dari Pati. Kyai Bisri kemudian berbesanan dengan gurunya, Kyai Hasyim Asy’ari. Di kemudian hari, pesantren ini menjadi cikal bakal pesantren besar lain di wilayah Jombang, seperti Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Seblak, dan sebagainya.
Di Kediri, ada saudara tiri Diponegoro, Sabar Iman alias Kyai Bariman bin Hamengkubowono III. Dia menyingkir dari keratonnya dan memilih tinggal di kota ini. Dari silsilah Kiai Sabar Iman ini lahir Abdul Ghofur. Di kemudian hari salah satu putra Abdul Ghofur, Mukhtar Syafa’at, menjadi salah seorang ulama terkemuka di Banyuwangi. Pesantren yang dirintis, Darussalam, berkembang dengan ribuan santri. Saat ini, pesantren yang didirikan oleh Kiai Mukhtar Syafaat diasuh oleh putranya, KH. Ahmad Hisyam Syafaat.
Di Kediri juga terdapat Pesantren Kapurejo yang didirikan oleh Kiai Hasan Muhyi. Setelah bergerilya di lereng Gunung Lawu, Wilis, dan Kelud, Kiai Hasan Muhyi (Raden Mas Ronowidjoyo), seorang perwira tinggi dalam Detasemen Sentot Alibasah Prawirodirdjo, akhirnya mendirikan Pesantren Kapurejo, di Kecamatan Pagu. Pesantren tua ini banyak menelurkan alumni yang kemudian mendirikan pesantren di wilayah Nganjuk dan Kediri. Kiai Ahmad Sangi mendirikan Pesantren Jarak di Plosoklaten, Kiai Nawawi merintis Pesantren Ringinagung, Kiai Sirojuddin merintis pendirian Pesantren Jombangan, dan beberapa kiai lain juga mendirikan masjid di berbagai tempat tinggal masing-masing.
Selain itu, ada juga Pesantren Miftahul Ulum, Jombangan, Tertek, Pare, Kediri, yang didirikan oleh Kiai Sirojuddin, kurang lebih limabelas tahun setelah penangkapan Pangeran Diponegoro. Kiai Sirojuddin kelahiran Kudus, bergabung dengan pasukan gerilya Diponegoro beberapa saat menjelang Perang Jawa pecah. Hingga saat ini, Pesantren Miftahul Ulum dilanjutkan oleh keturunannya dan fokus pada pengembangan kajian al-Qur’an dan kitab kuning.
Di Nganjuk, terdapat Pesantren Miftahul Ula, Nglawak, Kertosono. Pendirinya adalah Kiai Abdul Fattah Djalalain. Ayahnya, Kiai Arif, adalah cucu Pangeran Diponegoro, karena Kiai Arif adalah putera Kiai Hasan Alwi, yang merupakan putera Diponegoro dari selirnya. Kiai Arif semasa hidupnya diburu serdadu Belanda dan sering berpindah tempat. Terakhir, ia menetap di desa Banyakan, Grogol, Kediri.
Di kemudian hari, Kiai Arif menikah dengan Sriyatun binti Kiai Hasan Muhyi, pengasuh Pesantren Kapurejo. Dari pasangan ini, Kiai Fattah lahir. Pada era revolusi fisik, Kiai Fattah yang juga santri Kiai Hasyim Asyari ini menjadi magnet para laskar rakyat, termasuk Hizbullah dan Sabilillah. Sebab, beliau banyak memberikan wirid, amalan keselamatan, serta kekebalan bagi para pasukan yang mau terjun ke medan perang. Kiai kelahiran 9 April 1909 ini juga menjadikan pesantren asuhannya sebagai markas Hizbullah dan Sabilillah.
Menanam Pohon Sawo
Pada akhir perang, para kyai pengikut Pangeran Diponegoro memang berkumpul dan bersepakat untuk merubah arah perjuangan mereka. Dari perang fisik menjadi perjuangan di bidang pendidikan.
Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan Islam di berbagai penjuru mata angin. Namun ada satu komitmen yang menarik dari pengikut Pangeran Diponegoro, yakni untuk menandakan semangat persatuan melawan kemungkaran, setiap lokasi yang mereka diami ditanami pohon sawo. Pohon sawo ini menjadi penanda jaringan Pangeran Diponegoro masih ada. Makna filosofinya, pohon sawo dilambangkan sebagai “sawwu sufufakum” yang artinya “rapatkan barisanmu”.
“Pohon sawo itu tanda jaringan Pangeran Diponegoro. Bila kemudian muncul perintah untuk bergerak lagi, maka tinggal dicek siapa yang memerintahkannya itu. Dan bila di depan kediamannya ada pohon sawo, maka itu menjadi tanda bahwa sang pemiliknya masih merupakan anggota jaringannya,” kata Carey.
Di kawasan Selatan Jawa atau wilayah Matraman, banyak sekali anak keturunan Pangeran Diponegoro yang masuk dalam jaringan ulama karena mereka kemudian menjadi ulama sera mengasuh pesantren. Karena itu di beberapa pesantren tua di wilayah tersebut biasanya dapat dijumpai pohon sawo yang usianya sangat tua.
Seperti pohon sawo yang berdiri di Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen. Di sini dapat ditemukan pohon sawo tua, baik jenis sawo kecik maupun sawo biasa.
Menurut Hidayat Aji Pambudi, pengurus Yayasan Pesantren Al Kahfi, “Pohon sawo keciknya baru saja ditebang terkena perluasan halaman pesantren. Sedangkan, pohon sawo jenis yang biasa masih tumbuh subur di samping masjid,” katanya.
Di tempat lain, tepatnya di Masjid Pathok Negara Ploso Kuning, Sleman, Yogyakarta, pohon sawo kecik raksasa hingga kini masih berdiri dengan kokohnya. Masjid ini menjadi salah satu tempat mengaji Pangeran Diponegoro ketika menjadi santri Kiai Mustofa.
“Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Di setiap pesantren di wilayah ini memang lazim di tanam pohon sawo sebagai perlambang dari perintah untuk taat ketika ada perintah: sami’na wa ato’na (saya mendengar, saya laksanakan),” kata peneliti dunia pesantren di kawasan Selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi.
Fahmi mengutip kata-kata ayahnya soal kalimat sami’na wa ato’na terutama ketika menjelang dilaksanakannya shalat berjamaah di masjid. “Kata Ayah saya, ingat di depan masjid kita itu ada pohon sawo. Itulah artinya: segera laksanakan ketika kamu dengar perintah!”
Di antara cicit Pangeran Diponegoro atau berdarah bangsawan Keraton Yogyakara yang kemudian menjadi ulama berpengaruh di wilayah ini adalah KH Muhammad Ilyas dan KH Abdul Malik (di Sokaraja), KH Badawi (di Kesugihan Cilacap), KH Masurudi (di Baturaden Purwokerto). Fahmi menambahkan, di pesantren tua yang diasuh kyai-kyai tersebut pasti ditemukan pohon sawo. Ini memang menjadi perlambang masih kuatnya jaringan antar ulama yang notabene mantan pengikut Pangeran Diponegoro.
“Jadi wajar bila banyak pesantren tua yang ada kawasan ini banyak di tanam pohon sawo, yang ternyata itu isyarat adanya jaringan ulama,” pungkas Fahmi.
Domini BB. Hera, kerap dipanggil Sisco, keturunan eks pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Ngantang, perbatasan Blitar-Kediri, menceritakan di Tegalrejo (Magetan), pohon sawo menjadi representasi sang pangeran.
Bukan hanya sebagai kode rahasia, lanjut Sisco, para pengikut Diponegoro mempercayai sawo kecik akan mendatangkan kebaikan bagi penanamnya. “Bagi orang Jawa, sawo kecik memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Keraton-keraton pecahan Kerajaan Mataram, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menanam sawo kecik. Kedudukannya sejajar dengan pohon beringin, asam, dan gayam. Pakubuwana X (memerintah 1893-1939) menanam 76 sawo kecik di lingkungan Kasunanan Surakarta. Sawo kecik juga banyak ditemukan di Kesultanan Yogyakarta,” terangnya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, pohon sawo kecik di belakang keraton Yogyakarta pernah menjadi tempat berkumpul para pejuang. Menurut Hardi, salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia dan pernah menjabat wakil perdana menteri I, jika hendak melapor Sultan Hamengkubuwana IX di keraton, para pejuang menyamar sebagai abdi dalem dengan berpakaian Jawa, lalu berkumpul di bawah pohon sawo kecik di belakang keraton.
“Jika suasana dianggap aman dari incaran intelijen Belanda, baru kami buru-buru masuk keraton,” kata Hardi.
Hingga kini tidak terhitung ribuan santri yang menjadi alumni dan kelak menjadi penerus perjuangan Diponegoro; melawan penindasan dan kemungkaran. Karena memang begitulah semangat Pangeran Diponegoro seharusnya diwariskan.(nov)