Kiai Subchi Ulama Pencetus Senjata Bambu Runcing
Kiai Subchi mengangkat bambu runcing dan mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat yang melintas di atas kepalanya. “Allahu Akbar..!’’ teriak Kiai Subkhi. Pesawat itu tiba-tiba oleng dan jatuh.
Abad.id Dengan bersenjatakan bambu runcing, perjuangan Arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945 mampu menandingi senapan penjajah. Bagaimana bisa bambu runcing menandingi persenjataan canggih tentara sekutu?
Bambu runcing memang senjata sederhana. Namun tidak sesederhana itu menjadikannya senjata. Banyak versi yang menceritakan kemunculan senjata ini. Dari cerita yang beredar, senjata ini diprakarsai oleh seorang kiai bernama Subchi. Ulama tersebut berada di sebuah pesantren. Saat rakyat berjuang untuk kemerdekaan, banyak santrinya yang ingin ikut berjuang.
Di sinilah Kiai Subchi memperkenalkan bambu runcing sebagai senjata. Para santri dan rakyat yang ingin berjuang terlebih dahulu diajarkan membuat bambu runcing sebelum berangkat perang. Bahan dasarnya hanyalah bambu yang salah satunya diruncingkan. Konon, Kiai Subchi juga mendoakan bambu runcing yang dibuat sehingga memiliki kesaktian untuk membuat para santri dan pejuang selalu menang dalam peperangan. Doa tersebut ditulis di sisi atas bambu runcing.
Kiai Subchi pada tahun 1945 telah berusia 87 tahun. Lahir 31 Desember 1858. Beliau termasuk kiai sepuh. Asalnya dari Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Memiliki nama lahir Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga namanya berganti menjadi R. Somowardojo.
Namanya berubah lagi setelah beliau menunaikan ibadah haji. Berganti nama menjadi Subchi. Kiai Subchi meninggal di tempat kelahirannya tersebut pada 6 April 1959 saat berusia 100 tahun.
Kakek Kiai Subchi, Kiai Abdul Wahab merupakan keturunan seorang Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta. Kiai Abdul Wahab inilah yang menjadi pengikut Pangeran Diponegoro, dalam periode Perang Jawa (1825-1830).
Ketika laskar Diponegoro kalah, banyak pengikutnya yang bersembunyi di kawasan pedesaan untuk mengajar santri. Jaringan laskar kiai kemudian bergerak dalam dakwah dan kaderisasi santri.
Kiai Wahab kemudian mengundurkan diri untuk menghindari kejaran Belanda. Ia menyusuri Kali Progo menuju kawasan Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga singgah di kawasan Parakan.
Kawasan Parakan merupakan titik penting arus transportasi kawasan Kedu, yakni sebagai persimpangan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang. Keluarga Kiai Abdul Wahab kemudian menetap di Parakan, sebagai tempat bermukim untuk menggembleng santri dan menyiapkan perlawanan terhadap penjajah.
Pasukan Belanda tidak henti-hentinya mengejar pengikut Diponegoro di berbagai pelosok Jawa, terutama Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika Ibunda Kiai Subchi mengandung, Belanda masih sering mengejar keturunan Kiai Wahab, serta santri-santri yang diduga menjadi pengikut Diponegoro. Pada tahun 1885, Subchi kecil berada di gendongan ibundanya yang tengah mengungsi dari kejaran pasukan Belanda.
Subchi kecil dididik oleh orangtuanya, dengan tradisi pesantren yang kuat. Ia kemudian nyantri di pesantren Sumolangu, asuhan Syekh Abdurrahman Sumolangu (ayah Kiai Mahfudh Sumolangu, Kebumen). Dari ngaji di pesantren inilah, Kiai Subchi menjadi pribadi yang matang dalam ilmu agama hingga pergerakan kebangsaan.
Bambu Runcing Jatuhkan Pesawat
Dalam perjuangannya, Kiai Subchi tidak bisa dipisahkan dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kiai Subchi memiliki karakter yang tegak, kuat, gagah, dan tajam. Sama halnya dengan bambu runcing.
Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subchi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayah Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang.
Kiai Subchi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subchi.
Kiai Subchi dikenal sebagai kiai alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Di kemudian hari, Kiai Subchi dikenal sebagai “Kiai Bambu Runcing”.
Dari kisah yang beredar di kalangan mantan pejuang Hizbullah, karomah bambu runcing Kiai Subchi mulai terkenal saat menjelang pertempuran Ambarawa. Pada suatu pagi, seusai mengajar santrinya, Kiai Subchi berdiri di tengah halaman sembari memegang sebilah granggang (bambu yang ujungnya runcing). Tiba-tiba tepat di atas langit pesantren, melintaslah pesawat pengebom Belanda yang saat itu memang sangat ditakuti pejuang kemerdekaan. Pesawat itu oleh para pejuang diberi julukan cocor merah karena bagian depan pesawat tersebut dilumuri cat berwarna merah.
Nah, karena kesal terhadap pesawat itu, tiba-tiba saja Kiai Subchi mengangkat bambu runcing yang dipegangnya seraya mengarahkan ujung runcingnya ke arah pesawat cocor merah yang tengah melintas di atas kepalanya. “Allahu Akbar..!’’ teriak Kiai Subkhi sembari mengarahkan bambu runcingnya.
Anehnya, entah karena apa, setelah takbir diteriakkan dan bambu runcing diarahkan, pesawat cocor merah tiba-tiba terlihat oleng. Tak hanya itu, pesawat pengebom itu kemudian menukik kencang ke arah bumi. Semua santri pun terkesima. Dan beberapa jam kemudian, datang laporan dari para pejuang yang menyatakan bahwa ada pesawat cocor merah terjun ke Rawa Pening. Katanya, pesawat itu mengalami gangguan mesin, sehingga pesawat pun jatuh tercebur masuk ke dalam rawa.
Kisah inilah yang kemudian meluas. Menteri agama di era Presiden Sukarno, Kiai Syaifuddin Zuhri mengisahkan, saat itu berbondong-bondong barisan-barisan Laskar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang paling terkenal adalah barisan Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur.
Ada pula “Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan Dr Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir Sakirman, “Laskar Pesindo” di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Semua badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju ke Parakan.
Kiai Saefudin Zuhri yang juga ayah dari menteri agama Lukman Hakim Saefudin, bahkan sempat mengantarkan para terkemuka seperti Kiai Wahid Hasyim, Kiai Zainul Arifin, dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Sejak itulah Parakan di dalam masa perang kemerdekaan dikenal sebagai kota ganggrang atau bambu runcing.
Pada masa revolusi itu, banyak pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung melawan musuh. Senjata bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.
Menyepuh Ribuan Bambu di Blitar dan Didoakan
Jelang pertempuran 10 November 1945, konon bambu-bambu dikumpulkan para santri dari tegalan. Setelah diruncingkan, bambu lalu lalu diolesi cairan di ujungnya yang lancip. Ada yang mengatakan bambu sebelum diruncingkan lalu diberi cairan sejenis racun atau oli yang sudah diberi asma atau doa oleh kiai. Kemudian bambu yang runcing itu dibakar sampai berwarna kehitaman di ujungnya.
Sebelum bertempur, ribuan tentara Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat sempat membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma, Kiai Subchi justru menangis tersedu. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, Kiai Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bambu Runcing itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar.
Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah Kiai Subchi. Jenderal Sudirman sering berperang dalam keadaan suci, untuk mengamalkan doa dari Kiai Subchi. Jenderal Sudirman memang dikenal sebagai santri Kiai Subchi.
Setelah menyepuh, ribuan bambu itu lalu diangkut menggunakan kereta api untuk dikirim menuju Surabaya. Ya, bambu runcing dibuat dari Blitar. Pembuatan bambu runcing dikomandoi Kiai Mansyur setelah mendapat isyaroh dari Kiai Subchi.
“Asal mula bambu runcing itu dari Kyai Subchi Parakan, Temanggung. Kiai Subchi membuat bambu runcing untuk daerah Jateng, sementara Kiai Mansyur membuat bambu runcing untuk Surabaya,” ungkap Kiai Hisyam, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fattah. Kiai Hisyam merupakan anak dari Kiai Mansyur, pendiri Ponpes Al Fattah.
Setelah mendapat mandat tersebut, Kiai Mansyur mulai mengumpulkan bambu runcing di Blitar. Ponpes Al Fattah di Desa Kalipucang Kecamatan Sanankulon Kabupaten Blitar ini pun menjadi pusat bambu runcing. “Kirimnya menggunakan kereta api. Sekali kirim bisa ribuan,” tandas Kiai Hisyam.
Kiai Mansyur memang dikenal sebagai penyempuh atau pengisi kekuatan bambu runcing. Tak hanya itu, Kiai Mansyur juga membuat senjata lain untuk para pejuang seperti sumpit, bambu runcing, dan juga ketapel.
Pembuatan bambu runcing dilakukan kiai bersama dua putranya yakni Kiai Masruri dan Kiai Mashudi. Kehebatan bambu runcing hasil sepuhan Kiai Mansyur sangat terkenal waktu itu. Bahkan, jika ada orang yang tanpa izin memperlakukan seenaknya bambu runcing yang sudah disepuh, akan langsung mendapat ganjaran.
“Pernah suatu saat bambu mau dikirim sudah dalam keadaan terikat. Ada seorang satri berjalan melangkahi ikatan bambu runcing itu. Tiba-tiba tubuhnya seperti didorong dari belakang hingga jatuh terjungkal,” papar seorang menantu dari santri kesayangan Kiai Mansyur, Abu Sujak.
Abu Sujak juga cerita, suatu ketika bambu runcing yang seharusnya tidak dikirim ke Surabaya malah terbawa kereta api ke sana. Sampai di Malang, tak seorangpun yang kuat mengangkat ikatan bambu runcing itu.
“Terbawa sampai di Malang. Karena keampuhan bambu runcing, gak ada yang kuat angkat, akhirnya dikirim balik ke Blitar. Sampai sini ya hanya santrinya Kiai Mansyur yang kuat angkat dibawa balik ke pondok,” ucap Abu.
“Bahkan disaat genting-gentingnya perang di Surabaya itu, Bung Tomo sempat ke Kalipucung, ke Kiai Mansyur untuk minta doa restu,” paparnya.
Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi dan santrinya dijelaskan hampir bersamaan dengan perlawanan dari laskar santri di Surabaya dan rakyat Semarang. Mereka secara bersama-sama mengadakan perlawanan ketika tentara Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.
Dijelaskan Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren, dalam peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris).
Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengan niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari Kiai Subchi. Dan tentara-tentara Allah inilah yang kemudian berbaris dengan bambu runcingnya. Setelah masing-masing diberkahi doa Kiai Subchi, semangat keberanian mereka tak tergoyahkan dalam melawan penjajah meski hanya berbekal bambu runcing.(nov)