Presiden Soeharto memantai kegiatan Pemilu. Foto dok simomot.com
Pemilu di Jkarta berjalan dengan lancar. seluruh warga negara Indonesia telah menggunakan hak pilihnya pada tanggal 4 Mei 1982 di TPS-TPS yang telah disediakan. pada hari itu setelah melaksanakan haknya, presiden Soeharto meninjau beberapa TPS di ibu kota. Foto dok Femina
abad.id- Pasca kemenangan Soeharto pada tahun 1968 dengan dipilihnya menjadi presiden melalaui sidang umum MPRS tanpa melewati hasil Pemilu, kini perhatian selanjutnya menyelenggarakan Pemilu 1971. Pada episode ini, Soeharto harus menang jika ingin tertap bertahan sebagai presiden. Maka Soeharto memerlukan sebuah partai politik sebagai kendaraan.
Baca Juga : Harmoko "Calon Istana" Ketua Umum Golkar Dari Sipil
Dalam buku Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Kompas, 2014), terungkap pada awal 1969 kelompok intelektual dan pemuda pendukung Soeharto sudah mengusulkan pembentukan sebuah partai politik sebagai kendaraan Pemilu. Dasarnya pengalaman Soekarno akhirnya jatuh karena tidak memiliki partai dan berusaha mencari keseimbangan kekuatan. Soekarno akhirnya gagal mengatasi konflik antara PKI dan Angkatan Darat, dan berakhir dengan kedua kelompok tersebut justru melawan dirinya.
Namun usulan tersebut tidak disetujui Soeharto. "Jangan, kalian adalah para cendekiavan dan intelektual. Militer akan menuduh kalian sebagai samaran PSI," kata Soeharto
PSI dan Masyumi masih dikaitkan dengan pemberontakan pada tahun 1950-an dan Soeharto gigih menolak untuk memulihkan mereka."Kalian akan dianggap sebagai bagian dari mereka, dan kalian tidak akan bisa menang," katanya.
"Jadi, apa yang Bapak inginkan?" tanya Yusuf Wanandi.
"Gabung saja dengan Golkar," jawab Soeharto.
Baca Juga : Mengenang Harmoko, Pimpinan MPR yang Mengangkat dan Meminta Presiden Suharto Mundur
Golkar dirintis pada akhir 1950-an tepatnya saat keadaan darurat perang diberlakukan. Sebuah Badan Kerja Sama dibentuk yang terdiri dari pemuda, mahasiswa, perempuan, ulama, intelektual, dan pengusaha. Tujuan Badan Kerja Sama itu untuk menggalang rakyat dan menentang PKI. Konsep kerja sama ini diambil dari pemikiran sindikalisme yang diajarkan oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II kepada calon pemimpin Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Tahun 1964, Sekber Golkar dibentuk untuk menandingi PKI yang sudah memperluas jangkauannya ke seluruh lapisan masyarakat. Jumlahnya mencapai tiga juta anggota, dan mereka yang berafiliasi termasuk 3,5 juta pemuda dan lebih dari 20 juta anggota united front terdiri dari petani, buruh, perempuan, mahasiswa, profesional, seniman, dan guru. Sekber Golkar harus mengelola dan mengatur lebih dari 250 kelompok profesional dan organisasi massa. Semuanya di bawah pimpinan Angkatan Darat dan dimaksudkan sebagai gabungan kekuatan yang konstitusional.
Baca Juga : Sejarah Pemilu Paling Rumit, Pesertanya 48 Partai
Namun, pada dekade tahun 1960an reputasi Golkar kurang baik. Sebab salah satu ketuanya memiliki sebuah klub malam. Seorang lagi mengelola sebuah BUMN yang penuh dengan kasus korupsi. Serta yang ketiga suka bermain perempuan dan pernah selingkuh dengan istri ajudannya. Cerita-cerita seperti ini banyak diketahui masyarakat.
"Bagaimana kami dapat bergabung dengan Golkar ?, Orang-orang seperti kami sangat tidak populer. Bagaimana kami bisa percaya kepada mereka?," tanya Yusuf Wanandi
"Karena itu, saya justru minta kalian mempertimbangkannya. Saya membutuhkan kalian di sana," jawab Suharto.
Sementara itu, kelompok inteletual pemuda ini haris menghadapi tantangan lainnya. Salah satunya mempersiapkan undang-undang dan peraturan untuk Pemilu 1971. Pada akhir 1969, ada kesengajaan mencoba memperlambat proses dengan harapan tanggal pemilu diundur. Soeharto berang. Pada 31 Desember 1969, Soeharto memanggil Yusuf Wanandi. la marah karena mengulur-ulur waktu penyelesaian undang-undang Pemilu.
"Kalau saya harus mengandalkan kalian, pemilu tidak pernah jadi, dan kalau rakyat menggantung saya, kalian semua akan bersorak dan bertepuk tangan dan menertawai saya. Sekarang saya perintahkan kalian untuk segera mengesahkan undang-undang dan melaksanakan pemilu sesuai dengan jadwal," kata Soeharto dengan geram.
Baca Juga : Breakdance Tarian Korban Politik
Sebagai pemilu yang kedua di Indonesia, proses berjalan cukup baik. Pada Pemilu pertama, tahun 1955, dianggap jujur dan adil, di mana 28 partai mendapatkan kursi di Parlemen. Namun Pemilu 1955 kurang memadai karena kondisi negara yang masih berantakan setelah Perang Dunia II dan lima tahun revolusi kemerdekaan membawa kesengsaraan kepada rakyat. Partai politik dan pimpinannya tidak memiliki pengalaman dan pengertian bahwa kekuatan politik berarti tanggung jawab dan demokrasi berarti kompromi. Semua hasilnya kemudian dipreteli pada tahun 1959 ketika Soekarno membubarkan Konstituante.
Pemilu kedua tahun 1971 dikuti oleh 10 partai. Kecuali Golkar, yang lainnya sudah punya pengalaman ikut dalam Pemilu 1955. Namun, zaman sudah berubah. Partai-partai lama tidak pernah mempunyai cukup kekuatan atau keberanian melawan PKI karena itu tugas jatuh ke tangan militer. Golkar merupakan organisasi terdepan untuk militer sebagai koalisi kekuatan anti komunis. Dengan demikian, partai-partai politik bersikap defensif terhadap Golkar. Mereka cukup dikenal masyarakat, tetapi mereka juga punya citra gagal karena membiarkan PKI berkuasa dengan dukungan Bung Karno. Di lain pihak, Golkar adalah organisasi baru yang dekat dengan militer, yang dianggap pahlawan menumpas PKI.
Sebagai tim kecil, tim Intelektual dan pemuda memiliki sejumlah tokoh yang diandalkan, terutama para mantan pemimpin gerakan mahasiswa. Cara yang paling efektif dengan menggunakan kekuatan Pertahanan Sipil (Hansip) yang selama ini dikelola militer. Mereka dikerahkan dari rumah ke rumah menyampaikan pesan kepada kepala keluarga: "Hanya Golkar yang bisa menjamin stabilitas dan pembangunan. Kalau Anda pilih partai lain, berarti Anda anti militer dan mungkin saja pro-PKl." Kata para Hansip tersebut. Sehingga pesan seperti ini disampaikan secara tidak langsung dan secara pribadi sebagai cara paling efektif untuk mempengaruhi para pemilih.
Baca Juga : Tokoh Politik Etis Van Deventer Pengagum Kartini
Golkar juga mengandalkan birokrasi. Birokrasi nasional relatif baru di Indonesia, yang mulai diperkenalkan pada zaman pendudukan Jepang. Namun, sejak birokrasi berdiri, terpecah akibat tarikan partai politik terutama sejak tahun 1950. Untuk mengubah hal ini, ada gagasan untuk menciptakan birokrasi monoloyalitas terhadap pemerintah. Prinsip loyalitas tunggal ini sebagai usaha memulai sebuah birokrasi yang profesional dan setia kepada pemerintah yang berkuasa.
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) atau asosiasi para birokrat ketika itu belum didirikan. Maka birokrasi Departemen Dalam Negeri, yang mengelola pemilihan umum untuk mendukung Golkar secara tidak langsung dengan menggunakan prinsip loyalitas tunggal tersebut. “Kami kemudian menerjemahkan konsep loyalitas tunggal itu sebagai usaha untuk setia kepada Golkar. Untuk kepentingan inilah kemudian Korpri didirikan dan dimasukkan ke dalam undang-undang mengenai birokrasi. Korpri kemudian menjadi alat Golkar untuk memenangi pemilu, menggantikan peran yang dimainkan militer sebelumnya. Untuk jangka panjang, ketika Soeharto tidak lagi percaya kepada militer, yang selama ini menjadi basis politiknya, Korpri menjadi semakin penting baginya,” tulis Yusuf Wanandi.
Usaha kami berhasil, Golkar menang hampir 63 persen dari perolehan suara dan 236 dari 360 kursi DPR. Setelah pemilu, Golkar harus semakin bekerja keras, dari gabungan 256 kelompok menjadi 10 pilar atau konsorsium.
Soeharto Menghedaki Perampingan Partai Politik
Saat Pemilu 1977, partai-partai disederhanakan dan digabung, menjadi hanya tiga. Mereka Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan partai Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai nasionalis dan Kristen. Tetap saja tidak mudah untuk menang, kecuali pada pemilu tahun 1997.
Baca Juga : Politik Gelar Haji Pemerintah Kolonial Belanda
Konsep lain yang disalah artikan adalah floating massa atau massa mengambang. Tujuan awalnya untuk menggantikan revolusi permanen yang menggunakan massa sebagai ujung tombak perubahan. Permainan politik berdasarkan aksi massa ini dianggap mengganggu stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Demo dan aksi massa lainnya, harus dibatasi hanya pada masa kampanye pemilu. Massa harus diambangkan dan tidak boleh dikerahkan setiap ada isu politik seperti yang dilakukan Bung Karno pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya, tetapi terutama dikerahkan untuk kepentingan kampanye pemilu.
Masa antar pemilu, partai-partai politik dan ormas harus dapat mengurus dirinya sendiri dan membentuk cabang-cabangnya di desa kalau mampu. Ini yang terjadi di negara-negara demokratis.
Di zaman Orde Baru, Soeharto menghendaki stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Dalam Biografi Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis Ramadhan KH dan G Dwipayana, disebutkan Pemilu tahun 1971 adalah kedua di Indonesia. Satu-satunya Pemilu sebelumnya yang pernah digelar adalah tahun 1955 di era Presiden Sukarno.
Baca Juga : Cerita Tan Malaka Mendapat Testamen Politik Dari Sukarno
Dalam Pemilu 1971 ada 360 kursi yang diperebutkan sembilan parpol dan Sekber Golongan Karya. Jumlah ini ditambah 100 kursi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau TNI. Jumlah total kursi di DPR menjadi 460. Golkar tak masuk ke dalam sembilan parpol itu.
Setelah Pemilu 1971, Soeharto berpendapat tak perlu terlalu banyak partai di Indonesia. Dia berkaca pada kegagalan konstituante tahun 1955-1959, dimana seluruh parpol cuma berdebat dan ngotot sehingga tak ada keputusan yang bisa diambil.
Soeharto lalu memanggil para ketua parpol dan menjelaskan pemikirannya. Menurutnya, Parpol harus menyeimbangkan antara material dan spiritual. Kira-kira Nasionalis Religius atau Religius Nasionalis, kalau istilah parpol zaman sekarang.
"Dengan demikian maka kita sampai pada pikiran, cukuplah kita adakan dua kelompok saja dari sembilan partai, ditambah satu kelompok dari Golongan Karya. Tetapi tanpa dipaksa," kata Soeharto.
Partai Katolik, PNI dan IPKI mengerucut menjadi satu di PDI. Sementara parpol Islam yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti mengelompok jadi satu di bawah PPP.
"Saya tekankan jangan menonjolkan agamanya. Karena itu namanya pun tidaklah menyebut-nyebut Islam. melainkan Partai Persatuan Pembangunan dengan program spiritual-materil," kata Soeharto.
Baca Juga : Iding Soemita Berpolitik di Suriname
Hasil Pemilu 1977, di DPR kemudian terbentuk tiga fraksi. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Golongan Karya. Soeharto mengklaim, tak ada penolakan dari partai-partai politik itu. Menurutnya kalau cukup tiga, tak perlu lagi sembilan partai. Toh, tujuannya satu yaitu Pancasila dan UUD 1945. Soeharto mengibaratkan seperti mobil berkendara. Tidak perlu balapan dan kebut-kebutan kalau satu tujuan.
"Mari kita perkecil saja jumlah kendaraan itu. Tidak perlu terlalu banyak. Tetapi tidak perlu pula hanya satu kendaraan, dua atau tiga kendaraan, baiklah," kata Soeharto. (pul)