Riset Data
Pada bulan April 1966 Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Sukarno. Foto Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977
abad.id- Satu hal yang pernah menggegerkan publik saat Gubernur Ali Sadikin menggali sumber keuangan untuk kepentingan masyarakat, yakni dari judi.
Sejak awal Ali Sadikin tahu, bahwa judi sudah ada di Jakarta. Malahan Ali Sadikin tahu persis bahwa di belakangnya ada oknum oknum tertentu yang melindunginya. Mereka bisa hidup dengan mapan secara ekonomi tanpa harus bayar pajak. Maka Ali Sadikin bicara dengan Dyamadjitin. Ali Sadikin tanyakan apakah ada aturan aturan dan hukum mangenai judi di Jakarta.
“Ada,” jawab Dyamadjitin
Ali Sadikin pun jadi tahu, bahwa bekas Gubernur sebelumnya pernah punya rencana antuk mengadakan judi, mengudakan lotto. Tapi, rupanya, belian ragu menentang Bung Karno waktu itu, sehingga tidak sempat.
"Mengenal judi, kekuasaannya ada pada Kepala Daerah, sesuai dengan perundang undangan,” kata Dyumadjitin yang ahli hukum itu.
Ali Sadikin merasa mempunyal kekuatan dan mempunyai dasar hukum dengan mendengar keterangan dari Djumadjitin.
"Saya akan menertibkan perjudian itu," kata Ali Sadikin di didepan Djumadjitin
"Dari judi Ali Sadikin akan pungut pajak," tambah Ali Sadikin. Maka Djumadjitin ikut mengangguk.
"Itu semua legal,kan?" kata Ali Sadikin
"Legal. Ada hukumnya. Boleh," jelas Djumadjitin meyakinkan."Ada undang undangnya, ada peraturannya, ada Undan-Undang No.11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian. Hanya gubernur-gubernur lain tidak berani melakukannya.
“Say berani,”kata Ali Sadikin. "Untuk keperluan rakyat Jakarta saya berani,”
Lalu Ali Sadikin berfikir bagaimana caranya.
“Mesti orang Cina," kata Djumadjitin. "Undang-undang menetapkan bahwa kepala daerah bisa memberikan ijin kepada seorang bandar Cina, karena judi dianggap sudah merupakan budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina”
“Jadi lebih baik disahkan saja daripada dibiarkan liar dan tidak nenghasilkan apa-apa untuk pemerintah, untuk rakyat. Kan begitu? kata Ali Sadikin.
Lagi-lagi Djumadjitin membenarkan.
Berikutnya Ali Sadikin tidak perlu menghubungi Menteri, misalnya Menteri Sosial. Langkah berikutnya Ali Sadikin menemui Penjabat Presiden Soeharto urtuk melaporkan saja, bahwa Jakarta akan mengesahkan judi, karena undang-undangnya ada. Ali Sadikin tidak meminta persetujuan.
Walikota Sudiro dulu juga pernah berkeinginan mengadakan casino di Pulau Edam, di teluk Jakarta, tapi partai-partai agama gigih menolaknya. Gubernur Sumarno Sosroatmodjo juga mengatakan bahwa tiap Gubernur menginginkan diadakannya casino di wnilayah Jakarta untuk pembangunan Jakarta. Sumarno pernah mempelopori usaha Lotto.
Memang pada masa jabatannya sekitar thun 60-an, usaha-usaha yang dikatakan maksiat itu sangatlah tidak menarik hati orang, serta merta mendapatkan tentangan. Ali Sadikin menjelaskan, ada empat atau lima tempat di Jakarta yang jadi tenpat perjudian, yang dilindungi oleh oknum-oknum ABRI yang mencemarkan nama ABRI.
“Saya sengaja tidak meminta persetujuan Penjabat Presiden untuk usaha judi, dengan pikiran, bahwa saya tidak mau memberatkan Penjabat Presiden dalam hal ini.” Kata Ali Sadikin dalam buku Bang Ali tulisan Ramadhan KH.
Menurut Ali Sadikin bahwa jika terjadi sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan melegalkan judi ini, maka itu akan menjadi tanggungjawab Ali Sadikin. “ Saya mau menyelamatkan orang lain dan tidak mau menyeret orang lain,” prinsip Ali Sadukin.
Benar saja, keputusan Ali Sadikin mengenai judi itu langsung banyak yang menentang. Ali Sadikin mengakui bahwa judi itu haram. Agama apa pun mengatakan begitu. Tetapi, judi ini diatur hanya untuk kala tertentu. Orang-orang yang dalam way of life-nya tak bisa hidup tanpa judi. Dan untuk itu mereka pergi ke Macao. Nah, Ali Sadikin berpikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Macao. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja.
Ali Sadikin bersama Prof Ishaq Salim di sebuah acara peringatan HUT Rumah Sakit Mata Aini. Foto istimewa
Ali Sadikin jelaskan, bahwa DKI memerlukan dana untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas, pasar dan lain-lain. Tapi, yang tidak setuju toh tetap ada. "Bapak-bapak, kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di DKI dibangun dengan pajak judi." Kata . Ali Sadikin kepada mereka yang menentang judi. Dengan jawaban semacam itu membuat orang kemudian tertawa.
Ali Sadikin juga tidak minta persetujuan dari DPRD mengenai hal ini. Pikir Ali, kalau meminta persetujuan DPRD, malah akan menyulitkan mereka. Secara politis dan secara moral, para anggota DPRD itu tentunya tidak akan menyetujui tindakan Ali Sadikin. Ali Sadikin paham benar. Jadinya, Ali Sadikin cuma memberitahukan saja kepada mereka.
Kemudian Ali Sadikin sahkan judi , mulai Lotere Totalisator, lotto, dengan konsep mencontoh dari luar negeri. Lalu dengan macam-macam judi lainnya. Sampai kepada hwa-hwe. Dalam pada ini, peraturan menegaskan hanya orang Cina yang dibolehkan judi. "Orang kita tidak boleh judi. Apalagi orang Islam!" seru Ali Sadikin. "Haram bagi orang Islam main judi!" Jadi judi yang diselenggarakan pemerintah DKI hanya bagi golongan tertentu saja.
“Berulang kali saya jelaskan, kalau ada umat Islam yang berjudi, itu bukan salah Gubernur, tetapi keislaman orang itu bobrok. Dan sebagai umat Islam saya sendiri sama sekali tidak pernah berjudi," perintah Ali Sadikin.
Namun pada prakteknya ternyata warga Indonesia pribumi tidak bisa mengendalikan diri, sehingga ikut bermain hwa-hwe yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga negara asing keturunan.
Sementara itu Ali Sadikin harus mengakui bahwa volume pembangunan ibukota di akhir 1969 itu tidak sebesar dulu ketika hwa-hwe masih dibuka. Yang patut diingat benar adalah, bahwa dari hasil judi ini dimasukkan ke dalam APBD, dalam kelompok penerimaan khusus. Serta para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana hasil judi tersebut.
Hasil judi itu dipakai untuk kepentingan masyarakat Jakarta. Semua menikmatinya, karena pajak dari sana untuk pembiayaan pembangunan, pembangunan di bidang pendidikan. Maka DKI Jakarta bisa membangun gedung-gedung sekolah dasat yang pada waktu itu sangat dirasakan kurang, perbaikan dan peneliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas per kotaan, fasilitas kebudayaan dan lain-lain.
Ijin judi dilakukan melalui tender, dengan tujuh orang yang mengikutinya. Baru si Apyang dengan si Yo Putshong muncul menjadi pemenang. Ali Sadikin tidak pernah mengenal mereka sebelumnya.
Waktu Ali Sadikin ke Manila, dua kali Ali Sadikin diterima oleh Presiden Marcos. Pertama kali saat sedang mengadakan pertemuan dengan para walikota dan gubernur. Ali Sadikin diterima di ruang sidang, di istana yang megah itu, Marcos duduk di sampingnya, diperkenalkan kepada hadirin dengan disebutkan bahwa Mr. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya, Ibukota Republik Indonesia.
Di situlah Presiden Marcos bicara mengenai soal casino di Jakarta, karena waktu itu di negara Philipina masih tabu, karena Katolik berkuasa di sana. Maka Ali Sadikin jelaskan apa adanya. Pertama memerlukan duit untuk mengelola Jakarta, untuk pembangunan, dan kedua judi itu memang sudah ada di Jakarta, dan undang-undangnya juga ada. “Daripada kami tidak menarik apa-apa dari judi yang ada itu, lebih baik kami sahkan saja tapi bisa menarik untung untuk pemerintah dan dipakai untuk pembangunan,” terang Ali Sadikin. Lalu Presiden Marcos manggut-manggut.
Setelah Ali Sadikin mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan Ali Sadikin itu menyebut Ali Sadikin "Gubernur Judi" atau malahan "Gubernur Maksiat". Malahan sampai-sampai ada yang menyebut isteri Ali Sadikin "Madam Hwa-Hwe".
Apalah kesalahan isteri Ali Sadikin dengan kebijaksanaan yang Ali Sadikin ambil? Isteri Ali Sadikin "kena getahnya".Tetapi, apa boleh buat. Kalau berani berbuat, harus berani pula bertanggung jawab. Ali Sadikin harus berani berkorban untuk menyelamatkan orang banyak. Ini semua karena Ali Sadikin ingin menciptakan pembangunan buat Jakarta. Tidak mau melihat anak-anak keluyuran tidak sekolah. Tidak mau menyaksikan jalan-jalan bopeng, saluran-saluran mandek, beberapa rumah sakit seperti mau runtuh.
Di tahun '73, judi di Jawa Tengah dan di Jawa Barat dinyatakan dilarang oleh Kopkamtib. Maka para wartawan menemui Ali Sadikin. Mereka bertanya apa reaksi Ali Sadikin dengan dilarangnya judi di propinsi-propinsi lain.
"Soal itu tergantung pada Kopkamtib,” jawab Ali Sadikin. Tapi Ali Sadikin didorong-dorong terus, dan hati Ali Sadikin meluap jadinya.
"Kalian seperti beo saja," kata Ali Sadikin menjawab dorongan mereka. "Pemerintah bicara judi, kalian juga ikut-ikut bicara soal judi. Apa maunya?”
Ali Sadikin tidak menunggu orang bicara lagi. "Judi dan perjudian di kota Jakarta ini resmi berdasarkan undang-undang. Dus, legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo, jawab. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?"
Ali Sadikin dengar ada yang menjawab, dan dia tepat.Tentunya yang memback-nya, oknum yang bergantung pada yang punya kekuasaan.
Lalu Ali Sadikin berondongkan isi hatinya. “Dari hasil pajak judi itu Pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SMP sekian, SMA sekian, memperbaiki kampung, membikin jalan dan lain-lain. Dan kalau judi dihapus di Jakarta, apakah sanggup Pusat menyediakan uang bermilyar-milyar, kurang lebih 20 milyar rupiah sebagai gantinya? Jangankan yang itu, soal perimbangan keuangan yang diminta oleh DKI saja masih belum berhasil,” kata Ali Sadikin.
Masalah membangun dan mensukseskan Pelita tidak cukup hanya dengan sekedar gembar-gembor saja. Itu mesti dengan uang," teriak Ali Sadikin.
"Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermilyar rupiah? Ayo,coba!" Ali Sadikin marah. Memang Ali Sadikin merasa didorong dan menjadi marah.
Waktu itu Ali Sadikin ingat, sebelumnya ada beberapa anak muda yang menamakan dirinya sebagai "Generasi Muda" mendatangi Kopkamtib, menyatakan dukungan dan terima kasih, sebab Kopkamtib telah melarang judi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lalu mereka pergi ke Senayan.
Sementara itu Ali Sadikin ingat, bahwa di Sydney, Australia, dibolehkan orang menyelenggarakan judi. Sebagai satu-satunya kota di Australia, kota Sydney dibolehkan mengadakan judi.
“Jakarta punya sifat khusus yang tidak sama dengan Bandung, tidak sama dengan Semarang, tidak sama dengan Surabaya. Nah, di Jakarta bisa saja dibolehkan judi,” pikir Ali Sadikin.
Ali Sadikin jalan, hendak masuk kamar kerja. Tapi unek-unek Ali Sadikin masih terasa. Ia membalikkan muka lagi dan berkata kepada para wartawan. "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya, Cuma dapat berapa, kurang lebih Cuma dapat Rp 15 juta tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi Rp. 75 juta lebih. Cuma sebegitu,". (pul)
Pulung Ciptoaji
16.05.23
abad.id Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban. Namun H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), telah melakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban.
Ternyata, semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”.
Soal berpindah-pindahnya masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Soko Guru
Sebuah kisah tentang Masjid Agung Demak. Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah pradondi kiblat –silang pendapat untuk menentukan arah kiblat –dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkah secara ainul yaqin.
Lalu, menurut sahibul kisah, Sunan Kalijaga Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II disebut Syekh Melaya, berdiri tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung Demak kemudian diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Tiang di barat laut merupakan karya Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara karya Sunan Ampel, dan yang didirikan di timur laut karya Sunan Kalijaga.
Tiang tersebut diletakkan pada empat penjuru mata angin berukuran besar dengan tinggi 17 meter. Keberadaan soko guru tersebut memiliki filosofi empat pilar utama ajaran Islam.
Pengurus Masjid Agung Demak menuturkan bahwa sebutan Soko Guru bagi empat tiang tersebut lantaran mengisyaratkan empat pilar utama dalam ajaran Islam. Yakni Alquran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan tinggi tiang yang mencapai 17 meter juga memiliki arti bahwa tiap orang Islam berkewajiban menunaikan solat lima waktu, yang jika dijumlah semuanya menjadi 17 rekaat. Masing-masing subuh 2 rakaat, dhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat, dan isya 4 rakaat.
Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.
Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingungan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini dimasuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada –ia melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu.
Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’.
Tiang seperti ini juga terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Cuma sampai sekarang tidak ada data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di pintu masuk yang disebut Lawang Bledheg. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1, kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428 Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Dalam catatan Dinas Purbakala Jawa Tengah, masjid yang kini menjadi benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah masjid purba pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa.
Konon pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, yang secara garis keturunan bersambung ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan, masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan, masjid tersebut dibangun pada 1498 Masehi.
“Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak,” mengutip kata-kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati.
Dulu, di majid ini pernah digelar sidang Wali Sanga untuk mengadili Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, cuma ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal. Lalu jenazah Syeh Siti Jenar –usai dieksekusi Sunan Kudus –dimakamkan di Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’ –Majid Demak dan Ampel –Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa, walau kini dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari masjid ini adalah azan pitu, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. “Inilah satu-satunya kota di tanah Jawa yang namanya berasal dari bahasa Arab,” kata Prof. Dr. R.Ng. Poerbatjaraka (1884-1964), ahli bahasa dan kebudayaan Jawa.
Kudus, secara kontemporer lebih dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan Walisanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal masjid tersebut didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, lebih popular sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak diperdagangkan daging sapi.
Menurut penduduk, larangan menyembelih dan memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi.
Tapi tafsir ini sangat meragukan. Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari dan jam tertentu.@nov
*) Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
Penulis : Nanang Purwono
Abad.id-Makam Belanda Peneleh sesungguhnya lebih tepat jika dikatakan Makam Eropa karena mereka yang beristirahat disana untuk selama lamanya adalah orang orang Eropa. Tidak hanya orang Belanda saja, tapi jumlah orang Belanda yang dikubur di Peneleh memang lebih dominan.
Nama nama orang Eropa ini bisa dikenali melalui batu nisan dan besi nisan yang elok dan megah. Ada juga yang sederhana. Salah satu nama yang tersebut pada nisan adalah Schmutzer. Sebuah nama khas keluarga Jerman. Lantas siapakah Schmutzer itu?
Schmutzer adalah keluarga pengusaha gula yang kali pertama meletakan dasar-dasar penghargaan hak hak buruh di Hindia Belanda. Mereka menghapus penghisapan kelas buruh, yang tidak populer dimata kapitalisme kolonial kala itu.
Keluarga Schmutzer ini adalah Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer. Penghargaan terhadap buruh dengan cara menghapus penghisapan kelas buruh ini mereka lakukan ketika keduanya mengelola pabrik gula keluarga Gondanglipuro di Yogyakarta di akhir abad 19.
Sejumlah catatan menyebut keduanyalah yang pertama kali mempraktikkan hak-hak layak buruh. Upah buruhnya lebih tinggi daripada buruh pabrik gula lain. Jam kerja, hak berserikat, hak libur, dan cuti yang sekarang lazim dipenuhi, bermula dari lingkungan pabrik gula yang dikelolanya.
Pengaruh Agama
Tampaknya upaya Schmutzer bersaudara yang menghargai buruhnya itu akibat dorongan keyakinan agamanya. Pada 15 Mei 1891, Paus Leo XIII mengeluarkan maklumat “Rerum Novarum” (perubahan revolusioner), tentang Hak dan Kewajiban Modal dan Tenaga Kerja. Dari dasar keyakinan yang keluar dari maklumat Paus Leo XIII itulah, mereka mulai mempraktekkannya si pabrik yang dikelola keluarga Schmutzer.
Ketika seruan Paus Leo ini muncul, dua anak Schmutzer (Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer) sedang sekolah di Belanda. Pada saat itu, di Belanda yang namanya gerakan balas jasa alias politik etis mulai populer. Kemudian ketika sekolahnya selesai, mereka kembali ke Hindia Belanda dan mempraktikkan semangat keagamaan itu langsung di pabriknya.
Pabrik gula Gondanglipuro di Jogjakarta awalnya dibuka oleh pasangan Stefanus Barends dan Ellis Francisca Wilhelmina Karthous pada 1 September 1862. Namun pada 1876 Stefanus Barends meninggal dunia. Pada 1880 Ellis menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari perkawinan Ellis Francisca Wilhelmina Karthous dan Gottfried Schmutzer, maka lahirlah Ellis Anna Maria Antonia Schmutzer (1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (1884) dan Eduard Wilhelmina Maria Schmutzer (1887).
Di Kuburan Belanda Peneleh Surabaya, ternyata ditemukan Makam Gottfried Schmutzer, ibunya Ellis Schmutzer dan adik bungsu Edward dalam satu di liang lahat. Tidak ada catatan di mana nama dua bersaudara peletak dasar kesejahtreaan buruh itu dikubur. Kehadiran Gottfried Schmutzer ke Surabaya diduga masih ada kaitan usaha dan bisnis gula karena di Surabaya sendiri kala itu (mulai 1832) sudah mulai bercokol industri gula, tepatnya di Gubeng.
Menurut penelusur sejarah pabrik pabrik gula di Jawa Timur, Agung Widyanjaya, di wilayah administratif kota Surabaya sekarang, dulunya ada 9 pabrik gula. Diawali dengan pabrik gula di Gubemg (1832) kemudian diikuti dengan pabrik pabrik gula seperti Pabrik Gula Ketabang, PG Bagong, PG Ngagel, PG Darmo, PG Dadoengan, PG Ketintang, PG Karah dan PG Petemon.
Bisa jadi Surabaya yang memiliki banyak buruh karena, salah satunya, sektor industri gula ini menjadi jujugan dalam mempraktikkan politik etik yang sudah dikenalkan dan dipraktekkan oleh kedua anaknya di PG Gondanglipuro, Jogjakarta. Sayang keberadaan makam kedua anaknya: Julius Robert Anton Maria Schmutzer dan Joseph Ignatius Julius Maria Schmutzer tidak diketemukan di pemakaman Peneleh.
Di sini hanya ada Gottfried Schmutzer, Ellis Schmutzer (istri) dan adik bungsu Eduard Wilhelmina Maria Schmutzer (bungsu) dalam satu liang lahat. (Nng/pul).
Author Abad
11.11.22
abad.id- Mengapa Sukarno menolak membubarkan PKI meski secara terang-terangan sudah menyebut tindakan D.N.Aidit dalam percakapannya dengan A.M. Hanafi sebagai "keblinger"? Apakah Sukarno seorang Komunis?
Suatu saat Salim Said dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi membicarakan soal ini bersama Ruslan Abdulgani, mantan juru bicara Manipol Usdek [ideologi Demokrasi Terpimpin] dan orang dekat Sukarno. Menurut Ruslan, Bung Karno seorang nasionalis sejati, tapi terlalu over confidence, terlalu percaya diri.
“Dia kira dia bisa mengontrol PKI. Lagi pula pengetahuan Bung Karno tentang Komunisme dasarnya adalah Komunisme pada masa mudanya, yakni yang mendorongnya merumuskan ideologi Nasakom. Komunisme waktu itu adalah alat melawan kolonialisme, bukan Komunisme dalam zaman Perang Dingin seperti sekarang,” kata Ruslan.
Pada zaman perjuangan nasional dulu, semua kekuatan dan golongan bisa diajak bersatu melawan kolonialisme. Sekarang ceritanya lain lagi, tapi Bung Karno masih tetap gandrung pada persatuan berdasarkan Nasakom.
Sementara itu menurut catatan Pusat Sejarah TNI, ketegangan antara Jenderal TNI Soeharto dan Presiden Sukarno bersumber pada sikap mereka yang bertentangan terhadap PKI dan Komunisme. Di sebuah dokumen tertulis bahwa, mengenai kedudukan PKI dalam masyarakat Indonesia, Presiden Sukarno berpendapat bahwa PKI harus dan bisa di Pancasilakan.
Sebaliknya Jenderal Soeharto menganggap hal itu tidak mungkin, karena PKI itu pasti berpegang pada doktrin Marxisme Komunisme. Presiden Sukarno menganggap PKI melakukan ekses, jadi tidak perlu diambil tindakan pembubaran seperti yang diusulkan oleh Jenderal Soeharto. Menurut Soeharto, PKI sudah dua kali mencoba merebut kekuasaan negara, karena itu jangan sampai diberi kesempatan lagi.
Bagi Salim Said dalam argumennya, sebenarnya yang dipertahankan Presiden Sukarno bukanlah PKI. Melainkan ideologi Nasakom yang sudah dikampanyekannya ke seluruh dunia. Maka, masuk akal jika Sukarno marah saat ada pihak ingin pembubarkan PKI. Pembubaran PKI hanya akan dilakukannya setelah berdiri satu partai baru yang menggantikan tempat PKI dalam komposisi Nasakom.
Dengan kata lain, Sukarno bukan Komunis dan tidak mencintai PKI. Bagi Sukarno, PKI hanya pengimbang yang dia perlukan untuk menghadapi Angkatan Darat. Pemimpin Besar Revolusi itu sebenarnya lebih mencintai diri dan gagasan Nasakom ciptaannya yang telah dipasarkannya ke seluruh dunia. Dengan gagasan yang kontroversial pada zaman Perang Dingin itu, Sukarno berharap diterima sebagai tokoh dunia yang bisa mengatasi konflik Barat dan Timur.
Memang, di bulan-bulan pertama setelah Gestapu, di Jakarta sempat beredar cerita bakal berdirinya sebuah partai beraliran kiri pengganti PKI. Ketuanya Nyoto tokoh PKI yang sudah sangat dekat dengan Sukarno. Nyoto saat menjelang Gestapu sudah menjauh dari Aidit sebagai pemimpinnya.
Mungkin karena tahu rencana Sukarno akan membuat partai baru pengganti PKI, maka kubu Komunis Aidit perlu segera bertindak. Sementara itu sejak peristiwa Gestapu, Nyoto menghilang. Bahkan, tidak pernah ketahuan di mana kuburnya. (pul)
Pulung Ciptoaji
01.05.23
abad.id- Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan bersejarah, yaitu mengakui ada 12 peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di masa lalu. Berbagai kasus itu tak pernah mendapat penyelesaian hukum sampai saat ini. Pengakuan ini dia sampaikan setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara Jakarta, pada 11 Januari 2023.
Pelanggaran HAM berat itu disesalkan oleh Jokowi, meliputi Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Setelah pengakuan ini, pemerintah akan berupaya memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana. Pemulihan hak ini tanpa menegasikan penyelesaiaan secara yudisial. Presiden Jokowi juga meminta Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar terlaksana dengan baik.
Khusus kasus demonstrasi berujung kekerasan berdarah di Tanjung Priok 39 tahun lalu itu, dianggap kabur dan banyak versi. Ada sebuah versi yang menytakan penyebab perisiwa itu, Jakarta wilayah utara menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Massa yang melakukan aksi demontrasi mendapat hasutan pada 12 September 1984 terhadap kebijakan Soeharto, sehingga berujung tragedi berdarah.
Dalam dokumen Komnas HAM, demonstrasi penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal berawal dari 4 warga Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur yang ditahan polisi. Mereka ditahan setelah terjadi kerusuhan pembakaran sepeda motor. Mereka dianiaya selama dalam tahanan polisi. Masyarakat juga mendengar ada aksi provokasi yang dilakukan oknum tentara di sebuah masjid. Kabar beredar semakin liar dan menyebabkan masyarakat setempat marah.
Massa berkumpul di sebuah tabligh akbar di Jalan Sindang, di wilayah Koja, Tanjung Priok pada 12 September 1984. Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat, dalam ceramahnya menuntut pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Sa’adah. Amir Biki memimpin massa mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Namun, upaya yang dilakukan tak mendapat respons. Massa dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara.
Aparat keamanan berupaya melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa. Namun, saat itu massa tidak mau bubar sebelum tuntutannya dipenuhi. Bahkan, menurut mundur Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban LB Moerdani. Rupanya massa yang berdemonstrasi lengah, sehingga sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan bensin melakukan aksi anarkis.
Rupanya aksi anarkis ini yang menjadi alasan aparat keamanan bertindak tegas, bahkan brutal. Hujaman timah panas menjadi langkah terakhir, ketika imbauan agar massa membubarkan diri tak digubris. Versi Komnas HAM, korban tewas mencapai 24 orang, sedangkan 55 orang luka-luka.
Ada alasan lain terjadinya pertiwa Tanjung Priok dari pengakuan Tokoh CSIS Jusuf Wanandi. Pada era tahun 80an, lembaga CSIS yang didirikan Jusuf Wanandi sangat didengar oleh penguasa Orde baru. Bahkan tiap minggu diwajibkan membuat catatan yang dikirim untuk dibaca oleh Suharto. Isi catatan bisa apapun, berupa kritikan maupun saran terhadap gejala sosial, politik ekonomi bangsa Indonesia. Dalam bukunya Menyibak Takbir Orde Baru,Memoar Politik Politik indonesia 1965-1998, Jusuf Wanandi menuding ada nama Benny Moerdani disitu. Namun tujuan Benny sedang mencari keseimbangan di antara dua hal yang berlawanan. Antara melaksanakan tugasnya, tetapi juga harus melindung kepentingan presiden.
“Pada 12 September 1984, tentara menembaki sekelompok muslim yang sedang melakukan protes di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Korban tewas masih simpang siur, kabarnya ada puluhan orang tewas, namun berapa jumlah pastinya belum diketahui,” kata Jusuf Wanandi.
Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, menjadi tragedi kemanusiaan pada masa pemerintahan Orde Baru. Foto wikileaks
Peristiwa ini berawal beberapa bulan sebelumnya setelah adanya perubahan cara kerja aparat keamanan. Polisi diberi wewenang menangani masalah dalam negeri, sehingga mereka memegang monopoli keamanan. Sebagai Panglima ABRI, Benny Moerdani mengeluarkan perintah agar tentara berada di belakang saja, dan membiarkan polisi yang menangani masalah sehari-hari.
Pada saat yang bersamaan, ada kebijakan baru yang membatasi perusahaan yang menawarkan jasa bongkar muat kapal di Pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin, perusahan yang dapat melakukan bongkar muat dibatasi pada mereka yang mampu kegiatan menawarkan jasa penuh di pelabuhan. Akibat peraturan baru ini, banyak perusahaan kehilangan pekerjaan.
Dampak kebijakan ini, terjadi konsolidasi usaha jasa kecil di pelabuhan yang kehilangan lisensi dan bangkrut. Mereka menelantarkan para buruh jasa bongkar muat. Sementara yang masih bisa berjalan perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki keturunan Tionghoa Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini kemudian menjadi target kemarahan dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Insiden Tanjung Priok disulut oleh laporan yang menyatakan ada anggota polisi yang memasuki masjid di Tanjung Priok tanpa melepas sepatu. la memerintahkan agar poster dan spanduk bernada anti pemerintah diturunkan. Ketika penjaga masjid menolak, anggota polisi itu masuk ke masjid untuk melepas poster-poster itu sambil tetap mengenakan sepatunya.
Peristiwa ini menyinggung perasaan warga masjid. Akibatnya, mereka menyerbu kantor polisi setempat. Mereka yang menyerbu antara lain terdiri dari para buruh jasa bongkar muat yang sudah kehilangan pekerjaan yang menetap di kawasan itu. Polisi yang kewalahan kemudian meminta bantuan tentara.
“Benny Moerdani terpaksa melakukan intervensi. Sebagai Panglima ABRI, salah satu tugasnya yang tidak tertulis adalah melindungi Try Sutrisno yang diangkat sebagai Panglima Komando wilayah Jakarta Raya pada tahun 1982. Try pernah menjabat sebagai ajudan Soeharto selama 8 tahun. la dipersiapkan menjadi Panglima ABRI, menggantikan Benny. Karena itu Benny wajib melindungi Try agar kariernya mulus,” kata Jusuf Wanandi.
Karena polisi mundur, Try memenuhi permintaan bantuan dengan megirim tentara dengan menempatkan sejumlah pasukan lengkap dengan senapan laras panjang dan M16. Ada sekitar 20 tentara yang berada di sana. Daripada mati diserbu massa, tentara lebih memilih melakukan tindakan mempertahankan diri.
Namun akibat kekuatan tidak seimbang ini sungguh sangat buruk. Peluru menyasar ke orang-orang yang datang menyerbu secara beringas. Akibat diterjang peluru, banyak orang tewas. Korban berjatuhan dan jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti. “Ada laporan banyak jenazah langsung dikubur atau dibuang ke laut. Kemungkinan jumlah korban lebih dari 90 orang. Itulah jumlah yang diumumkan pemerintah,” tambah Jusuf Wanandi.
Peristiwa ini bukan saja sebuah tragedi, melainkan juga penghinaan bagi komunitas Muslim. Kemudian situasi semakin parah, karena salah seorang korban yang tewas adalah seorang pengusaha bongkar muat, seorang preman yang menjadi pemimpin komunitas di situ. Kematiannya telah menjadi martir.
Atas perintah Presiden Soeharto, Benny mengambil alih penanganan kerusuhan. "Ini salah. Saya tidak dapat membenarkan kejadian ini, dan perlu menindak tentara itu," kata Benny.
"Namun, patut diingat, tentara kita memang tidak dipersiapkan untuk menangani kerusuhan seperti itu. Seharusnya polisi yang bertanggung jawab atas keamanan masyarakat," tambah Benny
Namun pernyataan saling lempar tanggungjawab ini membuat semakin marah banyak orang, dan menuntut agar Benny diseret ke pengadilan.
Tentu saja Benny mempunyai kepentingan. Ketika Benny memenuhi keinginan Presiden Soeharto agar peristiwa Tanjung Priok tidak menghancurkan karier Try Sutrisno, maka dia mempunyai alasan pribadi untuk melindungi Try. (pul)
Penulis : Pulung Ciptoaji
Pulung Ciptoaji
15.02.23
Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Sebuah monumen berdiri tegak di pertigaan Jalan Rolak Gunungsari ke Karah Surabaya. Bangunan yang menggambarkan para pemuda yang mengangkat senjata itu lebih dikenal dengan nama monimen TRIP. Monumen itu sebagai penanda bahwa para TRIP atau Tentara Republik Indonesia Pelajar pernah ikut berjuang melawan gempuran tentara Inggris mempertahankan wilayah Gunungsari Surabaya pada tanggal 28 Nopember 1945.
Memang berbeda antara TRIP dengan Mas Trip. Namun mereka dimaknai sebagai pemuda yang biasa dipanggil “mas” (kakak). Karena nama sapaan itu didepan nama organisasinya, maka masa pemuda pelajar ini lebih dikenal mas-mas TRIP dan disingkat Mastrip. Pembentukan TRIP dipimpin pemuda Soengkono dengan nama Barisan Keamanan Rakyat Pelajar (BKR-P) tanggal 22 Agustus 1945. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur dan membentuk sebuah batalyon.
Di catatan monumen tersebut dituliskan, pasukannya terdiri dari para pelajar sekolah menengah yang rata-rata berusia antara 12-20 tahun. Awalnya tugas mereka hanya sebagai sukarelawan, namun situasi dan hati nurani memaksa para pelajar ini belajar menembak. Bahkan mereka juga bertempur dan menjadi tulangpunggung pergerakan revolusi. Memang, berusia belasan tahun, namun dikenal berani dan tangguh dalam mengorbankan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kegagahan dan jiwa patriotisme mereka teruji dalam setiap pertempuran melawan kaum sekutu Inggris sejak serangan 10 November di Surabaya.
Bahkan sejak ultimatum disebar tanggal 9 November, pasukan Mastrip justru bergerak mengepung kota Surabaya yang sudah dikuasai Inggris. Mereka secara gagah berani bertempur dan bergerak menuju ke selatan Darmo. Karena kekuatan tidak seimbang, pasukan TRIP semakin begerak ke wilayah Wonokromo dan harus meninggalkan Surabaya melewati jalut barat Gunung sari hingga Kedurus. Kawasan yang dekat sungai dan perbukitan mempermudah gerakan pasukan TRIP untuk melakukan pertahanan dari sekutu yang bermarkas di Pabrik Gula Candi.
Selain bertugas untuk bertempur, pemuda TRIP juga mengawal pergerakan pengungsi warga Surabaya yang meninggalkan kota. Jalur pengungsian melewati jalan deandles Joyoboyo-Gunungsari-Driyorejo dan terakhir di sekitar Wringinanom. Para pengungsi akan beristirahat di Wringinanom sebelum melanjutkan perjalanan ke Mojokerto. Peran pasukan TRIP berperang sambil mengawal pengungsi bukan pekerjaan mudah. Bahkan terdapat lima orang dari pelajar gugur, di antaranya Soetojo, Samsoedin, Soewondo, Soewardjo, dan satu orang belum ditemukan. Serta sejak desakkan pasukan Belanda itu, pasukan TRIP mengambil langkah dengan membentuk markas di Jetis Mojokerto.
Pasukan TRIP Kembali ke Sekolah
Bagi warga Malang tentu tidak asing dengan kata TRIP, karena pasukan TRIP berasal dari BKR alias Barisan Keamanan Rakyat. Selain barisan tentara formal ini, dibentuk pula sebuah pasukan pelajar bernama BKR Pelajar.
Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR berubah namanya menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia). Ketika BKR berubah nama, begitu pula nasibnya dengan BKR Pelajar. Namanya dirubah menjadi TKR Pelajar dan diresmikan oleh komandan TKR Kota Surabaya oleh pemuda Soengkono pada 19 Oktober 1945. Selain ikut dalam revolusi Surabaya, Pasukan TRIP juga ikut palagan lain selama agresi militer Belanda I dan II. Pada tahun 1946, TKR Pelajar mengalami perubahan nama lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) Pelajar, atau disingkat menjadi TRIP.
Pada 14-16 Juli 1946, diselenggarakan sebuah Kongres Pelajar dengan dihadiri oleh semua unsur pimpinan IPI Jawa Timur. Kota Malang yang menjadi tuan rumah mendapatkan imbas hasil dari kongres tersebut. Tepatnya pada 21 Juli 1946, Kota Malang diputuskan menjadi Pusat Markas TRIP Jawa Timur. Pertama kalinya dipimpin oleh Komandan Isman dan Wakil Komandan Moeljosoedjono, yang berkedudukan di Mojokerto.
Setelah itu, dibentuklah pasukan-pasukan yang lebih kecil setingkat batalyon. Wilayah Malang dipimpin oleh Susanto yang menjadi basis Batalyon 5000. Sementara itu, Batalyon 1000 yang meliputi Karesidenan Surabaya berpusat di Mojokerto, Batalyon 2000 meliputi Karesidenan Madiun dan Bojonegoro berpusat di Madiun, Batalyon 3000 meliputi Karesidenan Kediri berpusat di Kediri, dan Batalyon 4000 meliputi Karesidenan Besuki berpusat di Jember.
Pada Mei 1946 para pelajar asal Malang yang tergabung dalam TRIP Staf I meninggalkan markas Jetis (Mojokerto) kembali ke Malang untuk kembali ke sekolah masing-masing. Kepergian mereka ini untuk menghadapi musim kenaikan kelas pada Juli 1946. Namun setelah kenaikan kelas diumumkan, Komandan Batalyon memerintahkan para pelajar ini agar tidak meninggalkan Kota Malang. Sebab pada 17 Juli 1946 itu, Susanto sudah memprediksi akan terjadinya agresi militer Belanda berdasarkan pengamatannya pada gejolak di Ibukota. Benar saja, kisah pilu terjadi di Malang, Agresi Militer Belanda I itu telah membunuh 35 Tentara Republik Indonesia Pelajar.
Seiring agresi militer berakhir dan pengakuan kedaulatan oleh pemerintah belanda, batalyon TRIP ikut menyesuaikan diri. Pada tahun 1950, seluruh pasukan TRIP Jawa Timur ikut didemobilisasi, dikembalikan menjadi pelajar. Sebagian juga ditawari untuk melanjutkan sekolah atas biaya negara menjadi sipil atau militer. (pul)
Author Abad
14.10.22
Ratmi B29 juga menjadi pelawak Indonesia pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
abad.id-Nama aslinya Suratmi, namun lebih dikenal Ratmi Bomber-29 (B29) sebagai seniman lawak Tanah Air. Nama Ratmi Bomber-29 (B29) diperoleh dari Laksda TNI Wiriadinata saat menghibur keluarga TNI-AU di Bandung. Bentuk fisik yang membawa keberuntungan, wajahnya bulat dengan tahi lalat di sudut atas bibir kiri, serta hidungnya tidak mancung.
Baca Juga : Cerita Gerbong Srimulat Menuju Jakarta, Membawa Cara Ketawa Baru
Ratmi Bomber-29 (B29) lahir 16 Januari 1932 di Bandung dan sudah menghibur masyarakat sejak 1943. Kala itu, ia dikenal sebagai seorang penyanyi lagu keroncong, seangkatan dengan Ibu Srimulat. Bahkan Ratmi Bomber-29 (B29) juga sempat memasuki perkumpulan wayang orang.
Pada masa pergolakan revolusi kemerdekaan, Ratmi memilih meninggalkan panggung seni dan bergabung dengan Barisan Srikandi/Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Dia menjadi staf Batalyon Brigade D/X-16 di Jawa Tengah sebelum akhirnya mengundurkan diri dengan pangkat sersan dua. Ratmi Bomber-29 (B29) kembali ke panggung hiburan sebagai penggibur panggug. Sejak tahun 1960, di usianya 28 tahun, Ratmi B29 menjajal dunia akting sebagai figuran.
Ratmi B29 wafat pada 1977 saat sedang menyelesaikan film Direktris Muda di Ujung Pandang. Kala itu Ratmi mengalami serangan jantung mendadak saat hendak memasuki pesawat dari Makassar menuju Surabaya.
Ratmi B29 pertama kali main film Si Djimat (1960). 11 tahun berlalu, tepatnya di 1971, ia kembali terlihat dunia akting dengan membintangi film Tiada Maaf Bagimu, Titienku Sayang, Aku Tak berdosa, hingga Si Rano. Sebelum meninggal dunia, Ratmi bermain film Direktris Muda 1977, dan beradu akting dengan Ully Artha, Kusno Sudjarwadi, hingga Rachmat Kartolo.
Baca Juga : Edi Sud Menggiring Srimulat Menjadi Kuning
Ratmi B29 memiliki tanda jasa seperti Bintang Gerilya, Satyalancana Perang Kemerdekaan I dan II, Gerakan Operasi Militer I dan V. Atas dasar ini Ratmi B29 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, dengan upacara kenegaraan.
Ibu Srimulat Pantas Mendapat Gelar Pahlawan
Sosok seniman lain yang mestinya mendapat gelar pahlawan adalah Ibu Srimulat. Dalam buku Srimulat Aneh dan Lucu tulisan Sony Set dan Agung Pewe menjelaskan, sosok Ibu Srimulat juga terlibat dalam banyak operasi militer. Melalui group keroncong Avond, Ibu Srimulat keluar masuk tangsi dan barak pemberontak untuk menghibur. Sekaligus melakukan kegiatan spionase yang jauh lebih berbahaya. “Suatu hal yang unik yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan berkebaya, yang setiap malam berkeliling pentaske lokasi-lokasi'rawan''di masa Indonesia belum sepenuhnya lepas dari cengkraman pasukan asing. Tentara sekutu masih menginjakkan kakinya di negeri ini sejak 17 Agustus 1945,” tulis Sony Set dan Agung Pewe.
Srimulat
Srimulat bersama grup Keroncong Avond, nekat manggung di wilayah yang masih dikuasai tentara militer dan pasukan asing bukan tanpa sebab. Teguh saat itu masih muda dan menjadi pemain biola di grup Keroncong Avond. Dirinya sangat tahu istrinya ibu Srimulat tersebut sering menjalin kontak rahasia dengan militer Indonesia. Srimulat sebagai penyanyi utama sering melakukan diskusi bersama pimpinan pasukan militer Indonesia dan membahas soal jalur pementasan grup keroncong yang dipimpinnya, hingga masuk ke barak-barak pasukan asing.
Baca Juga : Begini Rahasia Awet Ngakak Srimulat
Kenekatan kelompok ini sering dipandang sebagai sebuah gerakan berani mati oleh sebagian kelompok kesenian lainnya. Bayangkan saja, situasi dan kondisi pasca kemerdekaan masih serba tidak stabil dan kurangnya jumlah pasukan pengaman yang menjaga daerah dari pertikaian senjata. Belum lagi ancaman perampokan dan pembegalan yang kerap terjadi di area titik rawan perjalanan, menjadikan banyak kelompok kesenian yang tiarap. Namun bagi kelompok keroncong Arond, hal ini justru dianggap sebagai bagian dari ujian. “Sebenarnya pementasan di wilayah konflik sangat beresiko, meskipun rejeki yang didapat sangat besar. Hal ini cukup aneh dilakukan oleh sebuah rombongan pementasan keliling sekelas Srimulat,” tambah Sony Set dan Agung Pewe.
Srimulat bersama grup Keroncong Avond
Mas Koko anak Teguh pendiri group lawak Srimulat dalam sebuah wawancara di youtube meggambarkan, kondisi akhir tahun 40an serba kacau dan penuh dengan perang gerilya. Grup keroncong super nekat malah menggelar pentas di daerah kantung-kantung peperangan sepanjang Jawa Barat hingga Surabaya. Dibalik merdunya suara Ibu Srimulat dan biduan-biduan lain yang menyanyikan lagu Bunga Anggrek dan Sapu Tangan, terdapat sebuah semangat untuk berjuang secara langsung di lapangan.
"Bapak pernah memberikan sebuah cerita bahwa Ibu Srimulat sangat dekat dengan petinggi militer angkatan darat di era perang kemerdekaan. Ibu Srimulat sering memberikan informasi kepada mereka tentang keberadaan pasukan-pasukan asing dan pemberontak yang ditemuinya sepanjang perjalanan dalam pementasan,” kata mas Koko
Terus terang, untuk menyebutkan lbu Srimulat sebagai pahlawan butuh keterangan yang cukup, sebab beberapa data yang berkaitan dengan hal tersebut dipegang oleh Teguh Slamet Rahardjo, kekasih sampai akhir hayatnya.
"Ibu Srimulat mempunyai hubungan yang cukup serius dengan pihak militer Indonesia. Mereka sering berpentas ke kantung-kantung pasukan asing. Dan, beliau sering memberikan informasi tentang keberadaan pasukan pemberontak pada masa itu kepada teman-teman angkatan darat," tutur mas Koko
Grup Keroncong Avond sebuah pengecualian. Ibu Srimulat berhasil lolos dari ancaman dan peperangan dikarenakan sifatnya yang bisa memilah, mana hal yang rahasia dan mana hal yang bisa disampaikan sebagai informasi bebas. Bahkan, sampai akhir hayatnya, Teguh Slamet Rahardjo masih menduga-duga, kegiatan apakah yang dilakukan istrinya dengan pihak intelijen militer. Sebatas hubungan pertemanan atau sebuah relasi intelijen. Hanya Ibu Srimulat yang tahu. Sebab rahasia itu dibawanya sampai liang kubur. (pul)
Pulung Ciptoaji
29.07.23
Sukarno menunjuk Mr Roem sebagai wakil Indonesia, sementara wakil Belanda Van Rooijen. Awal perundingan tanggal 14 April di hotel des Indes Jakarta diketuai oleh Merle Cochran wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
abad,id- Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 ada dua mode perjuangan yang dilakukan pemerintah. Pertama perjuangan dengan mengangkat senjata yang dilakukan TNI dan Permesta serta perjuangan diplomasi melalui jalur perundingan.
Setelah Agresi militer Belanda ke 2 menguasahi Yogjakarta, ternyata menimbulkan reaksi dunia. Perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yang semakin meluas dianggap Bangsa Indonesia masih berdiri, meskipun presiden dan para pejabat ditahan di Pulau Bangka. Usaha diplomasi juga terus dilakukan melalui perwakilan Indonesia di PBB Lambertus Nico Palar. Hingga akhirnya tanggal 28 Januari 1949 dikeluarkan Resolusi Dewan keamanan PBB, yang isinya memerintahkan penghentian operasi militer oleh Belanda dan penghentian aktifitas gerilya oleh Republik Indonesia.
Untuk membantu mencari penyelesaian masalah Belanda dan Indonesia, UNCI mengadakan kontak-kontak dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di Bangka. Begitu pula BFO mengirimkan utusan ke Bangka dan mengadakan perundingan dengan Wakil Presiden Moh.Hatta serta pemimpin-pemimpin Republik lain dalam usaha mempertemukan pandangan politik.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCl untuk membantu pelaksanaan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Dalam melaksanakan resolusi tersebut UNCI akhirnya berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan.
Agaknya wakil Republik yang paling logis adalah Sjahrir. Akan tetapi, Soekarno menentangnya dengan keras. Ia menunjuk sesama tahanannya, Mr Roem. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Van Rooijen dan Roem pada 5 Mei 1949 merupakan suatu terobosan. Sedangkan pihak Belanda diketuai oleh Dr.van Royen. Awal perundingan tanggal 14 April di hotel des Indes Jakarta yang diketuai oleh Merle Cochran wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya delegasi Indonesia diperkuat Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Setelah persiapan melalui perundingan yang berlarut-larut, akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan, yang kemudian dikenal dengan nama Roem-Royen State. Isinya, pertama delegasi Indonesia menyatakan kesediaan untuk mengeluarkan perintah kepada "pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya, kedua bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan ke amanan. Ketiga turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Sementara itu pernyataan Belanda pada pokoknya berisi, pertama menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, kedua menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Ketiga tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik. Keempat menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat, dan kelima berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Belanda harus menyetujui pengembalian kekuasaan Republik Indonesia di Yogyakarta dan berjanji tidak akan mendirikan negara-negara bagian baru. Soekarno juga harus sekuat tenaga untuk mencapai perjanjian gencatan senjata dengan TNI ini. Sebab sudah menyepakati akan diselenggarakan perundingan meja bundar sebagai persiapan menghadapi penyerahan kedaulatan.
Pada 6 Juli 1949 Soekarno kembali ke Yogyakarta yang telah dipulihkan kedudukannya sebagai ibu kota. Walaupun ia disambut dengan hormat, terasa suasana tegang. Penyebabnya belum ada sikap dari Panglima Besar Soedirman atas hasil keputusan perundingan Roem-Royen State.
Sejak awal Agresi Militer ke 2 terjadi, TNI menyalahkan para pemimpin yang dianggap tidak mendukung perang gerilya, dan memilih menjadi tahanan. Para pemimpin republik ini mestinya tidak boleh mencampuri melakukan keputusan gencatan senjata, sebab yang lebih tahu soal kekuatan militer hanya TNI. Keputusan tentang gencatan senjata harus diserahkan kepada angkatan bersenjata. Serta seharusnya menyerahkan perundingan itu kepada Sjafroeddi beserta kabinetnya, yang saat itu mendapat perintah membuat pemerintahan darurat di Bukittinggi.
Kedua kubu diplomasi dan perjuangan, masih tetap berseberangan. Pada 27 Juni Simatupang menulis surat kepada Soedirman,
"Nasution mau menghindari gencatan senjata, karena menurut dia dalam bulan September posisi Belanda akan begitu lemah, sehingga mereka terpaksa mengabulkan semua tuntutan Republik Indonesia.”
Empat hari setelah Soekarno kembali ke Yogya, Panglima Besar Soedirman memasuki kota. Anak buahnya telah membuatkannya sebuah tandu yang sederhana dari bambu dan mengusung sang pemimpin pasukan yang sudah sangat lemah ini sampai ke batas kota. Soedirman tapak kurus kering dan lebih asketis, dengan mengenakan baju seragam tentara Jepang yang kedodoran. Tiba di alun-alun Yogjakarta langsung mengadakan inspeksi barisan gerilyanya yang kumuh itu.
Peristiwa ini sangat mengesankan bagi semua yang menyaksikannya. Akan tetapi mereka juga bertanya-tanya, bagaimana nanti hasil pertemuan antara pemimpin militer dan pemimpin politik yang sudah tidak pernah bertemu muka sejak 20 Desember 1948.
Pertemuan berlangsung sangat haru, semua isi ruangan tak kuasa menahan tangis ketika melihat sang jendral besar datang dengan baju sangat lusuh pulang dari perang gerilya. Pertemuan ini menandai suasana damai antara pejuang politik dan TNI. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
"Saat mengharukan," demikian tulis Simatupang, yang mengatur pertemuan keduanya di keraton. "Pak Dirman dengan nada suara formil melaporkan bahwa Panglima Besar Republik Indonesia telah kembali ke ibu kota.” Soekarno yang pertama mengulurkan tangan untuk berdamai. Kemudian mereka saling merangkul. Setelah itu Soedirman kembali di opname di rumah sakit.
Kedua pemimpin ini sudah berdamai, namun bukan berarti angkatan bersenjata dan komandan pasukan menyetujui gencatan senjata. Soedirman menolak untuk mengeluarkan perintah. Kepala Staf Nasution, menyaksikan bagaimana Soekarno ketika menjenguk Panglima Besar Soedirman di rumah sakir, sambil berlinang air mata mendesak untuk memenuhi bagian dari perundingan Van Rooijen dan Roem. Namun Soedirman masih mencuriga Belanda, sebab pernah ingkar janji dalam perundingan Lingarjati
TNI masih perlu waspada terhadap kemungkinan serangan dari pihak Belanda. Sebab semua pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta ternyata hanya dipindahkan ke Surakarta. Dengan bertambahnya kekuatan Belanda di Surakarta (Solo) ini, Brigade 5 di sekitar kota tersebut ditekan oleh pasukan-pasukan Belanda untuk keluar di pinggri kota. Letnan Kolonel Slamet Rijadi sebagai komandan wilayah memerintahkan penyerangan terhadap obyek-obyek vital di kota Solo. Di tempat lain masih ada perlawanan gerilya tanpa terpengaruh oleh adanya hasil perundingan. (pul)
Pulung Ciptoaji
08.05.23
Pidato-pidato Bung Karno selama dua tahun angtara 1965-1967 amat berharga sebagai sumber sejarah. Ia mengungkapkan aneka hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan Orde Baru. Dari pidato itu juga tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto. Foto dok net
abad.id- Tidak banyak diketahui antara tahun 1965-1967 Presiden Soekarno beberapa kali berpidato untuk menenangkan massa di situasi yang sangat genting pasca G30S PKI. Setidaknya 103 kali pidato Soekarno di beberapa forum yang dihadiri Mahasiswa, kelompok militer dan wartawan. Namun yang selalu diingat dalam catatan sejarah hanya pidato pertanggungjawaban Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967.
Pidato yang paling berkesan pada 15 Februari 1967 (pelantikan beberapa Duta Besar RI). Soekarno berusaha mengungkapkan banyak hal yang ditutupi Orde Baru. Soekarno mengungkapkan betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak didengar bahkan dipelintir. Soekarno marah. Ia memaki dalam bahasa Belanda. Dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah tulisan Asvi Warman Adam disebutkan, setelah peristiwa G30S, Soekarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya.
”Saya komandokan kepada segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan kesatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran, dan perusakan-perusakan.Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas dasar perasaan balas dendam.”
Soekarno juga menyerukan "Awas adu domba antar Angkatan, jangan mau dibakar: Jangan gontok-gontokan Jangan hilang akal. Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi". Dalam pidato ia menyinggung Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Jati Petamburan yang diserbu massa karena ada isu Juanda meninggal diracun dokter RRT. Padahal, beliau wafat akibat serangan jantung. Soekarno menentang rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.
Selain menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti CIA saat tragedi G30 PKI, juga muncul tudingan terhadap keterlibatan Soeharto dalam "kudeta merangkak", yaitu rangkaian tindakan dari awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar Foto dok net
Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor, Bung Karno mengatakan, "Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu.” Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, "Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimena. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).
Mengapa Soekarno tak mau membubarkan PKI, padahal ini alasan utama kelompok Soeharto men-jatuhkannya dari presiden. Karena dia konsisten dengan pandangan sejak tahun 1925 tentang Nas (Nasionalisme), A (Agama), dan Kom (Komunisme). Dalam pidato ia menegaskan, yang dimaksudkan dengan Kom bukanlah Komunisme dalam pengertian sempit, melainkan Marxisme atau lebih tepat "Sosialisme", Meskipun demikian Soekarno bersaksi "saya bukan komunis".
Dalam kesempatan lain, Bung Karno juga mengungkapkan keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp 150 juta guna mengembangkan the free world ideology. Ia berseru di depan diplomat asing di Jakarta,”Ambassador jangan subversi."
Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Soekarno mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers.
Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban.
"Awas kalau kau berani ngrumat jenazah,engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati.”
Dalam kesempatan sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, "Saya sudah 65 tahun meski menurut Ibu Hartini seperti baru 28 tahun. Saya juga melihat Ibu Hartini seperti 21 tahun.”
Gaya bahasa Soekarno memang khas. Ia tidak segan memakai kata kasar tetapi spontan. Beda dengan Soeharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya keras. Di tengah sidang kabinet, di depan para Menteri, Presiden Soekarno tak segan mengatakan "mau kencing dulu” jika ia ingin ke belakang. Ketika perintahnya tidak diindahkan, ia berteriak ”saya merasa dikentuti".
Pernah pula ia mengutip cerita Sayuti Melik tentang kemaluannya yang ketembak. Namun, di lain pihak ia mahir menggunakan kata-kata bernilai sastra, "Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita. cita.”
Di balik pidato Soekarno sepanjang pasca kejadian G30S hingga tahun 1967, hanya bantahan atas apa yang ditulis media. Perang informasi sekaligus monopoli kebenaran berada di tangan penguasa Orde Baru. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam mulai 1 Oktober 1965, pukul 18.00 sampai 06.00 pagi, telah menutup semua koran kecuali Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama seminggu. Waktu sepekan tersebut dimanfaatkan pers militer untuk mengampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S. Begitu pula setelah peristiwa itu, media sangat dibatasi untuk menyampaikan informasi seputar kegiatan Presiden Soekarno. Meskipun banyak berpidato dalam berbagai kesempatan, pernyataan Bung Karno tidak disiarkan oleh koran-koran.
Di penghujung masa jabatannya, Presiden Soekarno masih sempat melantik taruna AURI dan berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Di kesempatan itu Soekarno sadar, masih ada Angkatan Udara, marinir, dan sebagian besar tentara Kodam Brawijaya yang setia. Namun ia tidak memanfaatkan kekuatan loyalis itu untuk melawan pihak yang menjatuhkannya. Hanya sekadar berseru "jangan gontok-gontokan antarangkatan bersenjata".
Soekarno rupanya tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama bangsa. Dalam skala tertentu, yang tidak diharapkan, namun pertumpahan darah justru terjadi ketika Bung Besar setelah meninggal dunia. (pul)
Pulung Ciptoaji
29.04.23
Jalan Galuhan Bukan Hujunggaluh, Tapi dari Jan v/d Heidenstraat
Berfikir dan berbuat untuk Surabaya lebih berkarakter, lebih baik dan lebih kuat menjadi arah kegiatan sebuah komunitas sejarah dan budaya, Begandring Soerabaia. Kiprah, karya dan karsanya melalui baragam program kegiatan didasarkan pada data, fakta dan temuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kiranya pantang bagi Begandring Soerabaia dalam berbagi cerita dan kisah tentang Surabaya tanpa ada dasar dan sumber yang kuat.
Buku Hari Jadi Kota Surabaya perlu dikritisi
Ada lima program yang menjadi kanal untuk berbagi informasi tentang sejarah Surabaya kepada publik. Program ini meliputi diskusi publik (begandringan), jelajah sejarah Subtrack (Surabaya Urban Track), publikasi (media dan medsos), pembuatan film (film making) dan pemberdayaan masyarakat (community empowering).
Semua program diatas menjadi platform dalam menyampaikan output dan ekspresi dari hasil penelusuran dan investigasi sejarah dan budaya Surabaya, yang dilakukan tim riset Begandring sebagai bahan dan dasar berkegiatan untuk publik demi jati diri kota Surabaya.
Salah satu dari sekian kegiatan penelusuran dan Investigasi itu adalah mengenai sejarah hari jadi kota Surabaya. Pada edisi blog Begandring 7 Januari 2023, Begandring Soerabaia merilis materi dengan judul : "Masihkah Pacekan dan Delta Jagir Dianggap Sebagai Sumber Sejarah Hari Jadi Kota Surabaya?"
Pada edisi ini, Begandring Soerabaia menurunkan tema Hujunggaluh. Apa itu Hujunggaluh? Adakah kaitan Hujunggaluh dengan Surabaya?
Hujunggaluh
Selama ini nama Hujunggaluh dikaitkan erat dengan Surabaya. Lantas apa itu Hujunggaluh dan apa hubungannya?
Hujunggaluh jelas bukanlah jambatan Hujung Galuh yang melintasi Kalimas di daerah Ngagel. Hujunggaluh jelas tidak ada hubungan dengan Jembatan Hujung Galuh itu.
Prof. Purnawan Basundoro ketika berbicara dengan Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti, menjelang pemutaran film dokumenter "Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi 45" pada 2 Agustus 2023 lalu, menyampaikan: "Itu loh jembatan, yang bernama Hujung Galuh di Ngagel, bahaya itu".
Terlihat dalam ekspresi wajahnya bahwa dia menghawatirkan akan adanya dampak dari pemamaan itu. Dalam benaknya jembatan Hujung Galuh tidaklah sama dengan Hujunggaluh.
Penulis, yang ketika itu terlibat dalam obrolan santai bersama sejarawan Purnawan Basundoro (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Timur) dan Reni Agustin (Wakil DPRD Kota Surabaya), langung menangkap kemelut dalam benak sang Profesor. Panulis pun langsung berinisiasi menelusuri data data kepustakaan dan hasil penelusuran lapangan yang pernah dilakukan tim pada 2021 terkait dengan Hujunggaluh dan mengapa Hujunggaluh dikaitkan dengan Surabaya.
Hujunggaluh adalah nama sebuah pelabuhan kali, yang tertulis pada prasasti Kamalagyan tinggalan Raja Airlangga dengan angka tabun 1037 Masehi atau 959 Saka. Prasasti ini masih pada posisi asalnya di Dusun Klagen, Desa Troposo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Isi prasasti adalah tentang pembangunan sebuah bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja Airlangga dari Kahuripan bersama rakyat.
Atas pembangunan bendungan itu, maka terbebaslah rakyat dari musibah banjir sehingga mereka bisa berperahu ke hulu ke Hujunggaluh untuk berdagang dan membeli barang barang dagangan.
Kutipan yang terkait dengan pelabuhan Hujunggaluh ini adalah:
“...kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tka rikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara“.
Artinya : “Semua bergembira, berperahu(lah) menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ. Datang (pula) para nahkoda, kapal kapal dagang dari pulau pulau sekitar”.
Secara praktis dapat dipahami bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai dari keberadaan Prasasti yang berada di kawasan Wringin pitu, Krian.
Prasasti Kamalagyan di Tropodo, Krian
Tetapi, Prasasti Kamalagyan, yang digunakan sebagai sumber sejarah Hari Jadi Kota Surabaya, ditafsirkan berbeda. Dalam buku "Hari Jadi Kota Surabaya" (Humas Pemkot 1975) dituliskan bahwa keberadaan Hujunggaluh sebagai pelabuhan itu berada di hilir sungai.
Data dan tafsiran para ahli Hari Jadi Kota Surabaya itu berbeda dengan pembacaan epigraf yang jamak mengatakan bahwa Hujunggaluh berada di hulu sesuai dengan kutipan yang berbunyi :..."maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ,...'(berperahu menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ).
Karena ditafsirkan ke hilir dan diduga di Surabaya, maka dicarilah bukti bukti yang ada di Surabaya, yang kiranya dapat mendukung penafsiran bahwa Hujunggaluh berada di hilir atau di Surabaya. Tim peneliti, yang terbentuk dan bekerja dalam kurun waktu 1973-1975 ini, menemukan sebuah jalan yang bernama jalan Galuhan di kelurahan dan kecamatan Bubutan, Surabaya.
Dalam buku "Hari Jadi Kota Surabaya, Sura ing Baya 682 tahun" dinyatakan bahwa nama Galuhan merupakan perubahan dan toponimi dari nama Ujunggaluh. Dari sanalah diyakini bahwa Hujunggaluh yang disebut pada prasasti Kamalagyan (1037 M) terletak di wilayah Surabaya (karena nama jalan dan Taman Galuhan).
Tafsiran ini menjadi kesimpulan, yang mendasari cerita sejarah Kota Surabaya bahwa Hujunggaluh adalah cikal bakal Surabaya. Bahwa nama jalan Galuhan ditafsirkan berasal dari Hujunggaluh.
Jalan Galuhan Pengganti Jan Van Der Heidenstraat (Nieuwe Courant 1950)
Padahal, nama Hujunggaluh adalah nama baru (sejak 1950) untuk menggantikan nama yang berbau kolonial. Perubahan nama jalan ini terjadi untuk semua nama nama jalan yang berbau Belanda. Perubahan nama jalan ini selain terpublikasi dalam surat kabar, juga dibuat dalam bentuk buku saku. Sesuai dengan pemberitaan surat kabar Nieuwe Courant tanggal 28 Maret 1950, sebelum dipasang nama Galuhan, asalnya bernama Jan van der Heidenstraat. Sedangkan Taman Galuhan menggantikan Lorentplein.
Dapat dipahami, ternyata nama jalan Galuhan, yang sudah ada sejak tahun 1950, dianggap sebagai topinimi Hujunggaluh ketika tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975.
Kini, melalui investigasi dan penelusuran oleh Tim Begandring, diketahui bahwa Hujunggaluh sebagaimana tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037) letaknya tidak di hilir atau Surabaya. Melainkan di hulu, entah dimana.
Kemudian nama jalan Galuhan bukanlah toponimi dari Hujunggaluh, melainkan nama baru (1950) untuk menggantikan nama lama yang berbau kolonial.
Dari hasil temuan dan investigasi Begandring Soerabaia maka jelaslah apakah Hujunggaluh, yang tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037), memiliki kaitan dengan Surabaya? Jawabnya, tidak !
Apakah nama jalan Galuhan adalah toponimi dari Hujunggaluh?
Jawabnya, juga tidak !
Lantas bagaimana sikap kita dengan nama Hujunggaluh, yang diidentikan dengan Surabaya?(Tim Riset Begandring)
Malika D. Ana
08.01.23
Reuni pertama tokoh-tokoh pejuang angkatan 28 yang diadakan di Gedung Sumpah Pemuda Kramat Raya no.106, 11 Nopember 1973. Foto (Ipphos)" Online
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id- Sumpah Pemuda kali pertama dicanangkan pada 28 Oktober 1928, sebagai hasil dari Kongres Pemuda II. Melalui ikrar tersebut, para pemuda Indonesia menyatakan janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Namun tidak ada catatan sejarah berikutnya peristiwa penting setelah ikrar sumpah meuda itu. para aktifis pergerakan kembali ke organisasinya lama, dan sesekali melakukan pertemuan pertemuan.
Namun ikrar Sumpah Pemuda itu sudah menjadi modal besar menuju sebuah bangsa. Pasca ikrar Sumpah Pemuda semangat persatuan dan kesatuan antara golongan dan suku mulai tampak. Arah gerakan untuk merdeka mulai dibahas di beberapa pertemuan pertemuan yang dirahasiakan. Semangat para aktifis pergerakan mencapai kemerdekaan lewat kebersamaan, lewat persaudaraan, bahkan lewat huru hara jika diperlukan.
Dalam catatan SK Trimurti salah satu tokoh penting dalam Sumpah Pemuda itu, ketegangan yang sebelumnya tampak antar kelompok pergerakan, berakhir dengan semangat persaudaraan. Bahkan banyak cerita jenaka. Padahal aktifitas para penggerak Sumpah Pemuda pasca ikrar semakin dibatasi.
Misalnya seorang aktifis perempuan yang menjadi deklarator sempat dikuntit oleh PID atau polisi Hindia Belanda. Sadar sedang dibuntuti, Trimurti segera turun dari becak dan memilih berjalan kaki. Melihat sasarannya turun dari becak, si PID ikut turun dari sepedanya dan membututi dari belakang. Hampir gerak gerik SK Trimurti diawasi oleh polisi tersebut. Trimurti sadar, ini merupakan tanda bahaya. Memang pasca ikrar itu pemerintah Hindia Belanda melakukan politik Vergaderverbod atau larangan untuk berkumpul dan menggelar rapat.
Rombongan SK Trimurti memilih berjalan memutar sejauh mungkin tanpa tujuan, sehingga polisi PID kepayahan. Usai berjalan jauh, rombongan memilih berteduh di bawah pohon sambil makan getuk, dan polisi itu ikut berhenti dan duduk ditempat yang agak berauhan. “ Getuk habis, angin semilir membuat kami nyaris ketiduran,” kata Trimurti.
“Saudara jangan begitu donk, saya ini cuma melakukan tugas, jangan bikin cape gini,” kata polisi PID sambil ngeloyor pergi.
Ini baru kisah dari SK Trimurti, dan ternyata masing masing aktifis pergerakan punya cerita sendiri-sendiri. Seperti anak-anak Jawa timur, mereka tidak takut dengan situasi Vergaderverbod. Bahkan beberapa kali masih melakukan rapat-rapat. Mereka rapat tidak ditempat khusus atau rahasia. Rapat justru digelar di tempat ramai seperti kedai kopi atau cafe, sehingga jauh dari kesan serius yang dibahas. Modus ini akhirnya diendus PID. Bahkan sempat nyaris dibubarkan dan ada penangkapan. Beruntung anak-anak Jawa Timur punya cara agar terhindar dari penangkapan, yaitu mengganti suasana rapat menjadi pesta. Ada tari tarian, ada jingkrak-jingkrak musik yang keras. Sehingga tidak ada alasan untuk menangkap mereka, sebab yang tampak hanya para pemuda sedang berlatih pertunjukan ludruk.
Para tokoh penggagas Sumpah Pemuda mengadakan petemuan tahun 1978. Foto ist
Jika ada yang jadi lucu karena tekanan, kisah lain justru menarik karena nostalgia sebuah tempat. Dia adalah Mohammad Roem. Tokoh pergerakan saat Sumpah Pemuda masih berusia 20 tahun. Roem yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri 3 kali itu punya kisah tentang pohon jawi-jawi. Pohon itu dahulu terletak di sebelah selatan di Gedung Stovia. Gedung itu juga dikenal sebagai gedung Kebangkitan Nasional jalan Abdurahman Shaleh 26 Jakarta. Pohon jawi jawi itu katanya tempat orang berteduh sambil berfikir menjcari inspirasi. Beberapa tokoh penggerak bangsa mendapat inspirasi sesudah merenung di bawah pohon yang berumur 100 tahun tersebut.
Tapi menurut Roem tak semua hasil renuhan di bawah pohon jawi jawi yang sudah ditebang itu melahirkan hal hal yang berat. Sebab sering di bulan purnama, Indro Sugondo ( seniman mantan atase kebudayaan di RRC) terpanggil untuk menyanyikan lagu lagu kroncong di situ. “Suaranya yang merdu untuk ukuran jaman revolusi, biasanya diiringi petikan gitar Sahar Dijo ( Mantan Meteri Kehakiman), merupakan hal hal yang ringan yang indah di masa lampau,” kata Roem.
Lagu Indonesia Raya Versi Keroncong
Lalu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman ternyata diciptakan di sebuah bilik kecil di Gang Tengah Salemba. Tidak ada yang taun pasti kapan lagu ini pertama kali dikumandangkan di depan umum.
Banyak pendapat yang muncul, misalnya jauh sebelum Sumpah Pemuda WR Supratman pernah menyanyikannya lagunya sendiri di depan umum diiringi permainan biola dan ukelel. Sementara ia sendiri main gitar. Ada pula pendapat yang mengatakan lagu tersebut pernah dinyanyikan seorang gadis cilik dan Supratman mengiringi dengan biola. Saat itu Supratman menyanyilan lagu gubahannya. Baru kemudian yang hadir bersama sama menyanyikannya dengan penuh semangat.
Bahkan ada yang mengisahkan bahwa lagu Indonesia Raya pernah didengar sebelum ikrar Sumpah Pemuda, namun dimana dan dalam kejadian apa. Tapi dalam catatan Sugondojoyo Puspito tidak bisa disangsikan. Bahkan sangat lucu. Saat itu lagu tersebut didengarkan di Kongres Pemuda II tahun 1928 untuk pertama kalinya. Banyak hadirin menyanyikan bersama, namun barisan belakang ada yang tersenyum sambil tertawa. Sebab ada hadirin dari utusan solo menyanyikan lagu tersebut dengan nada pelok, sehingga benar benar menjadi fals. Atas kejadian itu, MR Sartono utusan Wonogiri nyletuk sambil bergurau agar diiringi gamelan saja.
Masih tentang Indonesia Raya, ternyata ketika pertamakali dikumandangkan banyak mengundang pendapat. Bung Karno menganggap terlalu kebarat-baratan. Akhirnya lagu tersebut menggunakan irama marsch. Ternyata supratman sendiri juga pernah menyanyikannya dalam irama keroncong. Lagu Indonedia Raya versi keroncong tersebut sempat direkam dalam piringan hitam Firma Tio Tek Hong di Pasar Baru Jakarta. (pul)
Author Abad
02.11.22
Penulis: Pulung Ciptoaji
Surabaya, Selama ini nama Bung Tomo sangat identik dengan pertempuran Surabaya. Pidato berapi-api di radio pemberontak bawah tanah hingga kini masih bisa didengar. Pemuda Sutomo yang dikenal aktifis gerakan dan wartawan itu, aktif dalam gerakan propaganda bersama Ktut Tantri seorang warga negara Amerika Serikat. Bung Tomo bermarkas berpindah-pindah, dan terakhir di sebuah rumah Jalan Mawar Surabaya.
Bung Tomo pemimpin radio pemberontak menyampaikan pidato yang fenomenal mengajak warga surabaya untuk bertempur melawan sekutu. Foto net
Sebenarnya ada tokoh lain yang menentukan pertempuran 10 november di Surabaya itu. Dia adalah Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau disebut juga Gubernur Suryo. Pria kelahiran Magetan pada 9 Juli 1898 ini putra dari Raden Mas Wiryosumarto, seorang ajun jaksa di Magetan. Setelah tamat pendidikan dasar di HIS, kemudian melanjutkan sekolah ke Sekolah Pamongpraja (OSVIA) di Magelang. Pada 1918, ia menyelesaikan pendidikan di OSVIA, dan selanjutnya bekerja sebagai pamong praja di Ngawi. Kemuadian dipindahkan ke Madiun sebagai mantra Veldpolitie. Pada 1922, ia mengikuti pendidikan polisi di Sukabumi. Pada masa revolusi kemerdekaan, Sukarno mengangkat Gubernur Suryo menjadi Gubernur Jawa Timur pada 5 September 1945.
Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo
Mengutip e-journal pendidikan sejarah berjudul Peran Doel Arnowo di Surabaya Tahun 1945-1952 tulisan Mita Indrawati, saat diangkat menjadi gubernur, Raden Suryo masih menjabat Residen Bojonegoro. Agar pemerintahan di Jawa Timur berjalan lancar, pada 6 Oktober 1945, turut diangkat Residen Sudirman sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur dan merangkap sebagai Residen Surabaya. Sukarno sengaja menunjuk Raden Suryo dengan pertimbangan sangat paham karakter warga Jawa Timur. Berbagai karier pernah dia jabat mulai pegawai pamong praja dan selalu berpindah tempat. Sehingga Jawa Timur membutuhkan yang paham kepemimpinan dan sosok disegani.
Pemerintahan Jawa Timur mulai berjalan 12 Oktober 1945. Artinya setiap tanggal 12 Oktober, secara resmi Provinsi Jawa Timur resmi dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Selama membentuk Provinsi Jawa Timur di negara yang baru berdiri, Gubernur Suryo bekerja secara kolektif bersama stafnya. Para staf di Kantor Gubernur Suryoan Jalan Pahlawan Surabaya ini bekerja menyusun program dan anggaran dengan tradisi birokrasi yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Belanda. Anggota staf itu Doel Arnowo, Mr Dwijoyosewoyo, Bambang Suparto, Subyantoro, Roeslan Abdulgani sebagai sekretaris Gubernur Suryo dan Residen Sudirman sebagai wakil.
Dibalik sosoknya yang tenang dan penuh kematangan memimpin sebuah wilayah, sang gubernur juga dikenal sosok yang tegas dan pemberani. Praktisi sejarah Kuncarsono berpedapat justru Gubernur Soerjo sebagai aktor pertempuran Surabaya.
Semua berawal saat masa bersiap atau masa transisi berakhirnya pemerintahan Jepang. Warga di seluruh Indonesia sangat euforia menyambut proklamasi yang dibacakan Sukarno Hatta. Mereka melakukan aksi vandalis dan liar. Banyak tempat-tempat simbul simbul penjajahan diserbu. Di Surabaya, kelompok pemuda berhasil melucuti persenjataan Garnisum dan Tentara Angkatan Laut Jepang. Konon para pemuda ini merampas 2 ribu lebih pucuk senjata, mortir dan arteri anti tank.
Hari itu, 26 Oktober 1945 nasib buruk menimpa sebuah konvoi truk berisi wanita dan anak-anak Belanda yang melintas di Jalan Darmo. Mereka dikawal pasukan Inggris keturunan India untuk dipindah ke kawasan pelabuhan. Setiba di perempatan, mereka disergap dan dihabisi secara anarki. Sebagian dari mereka melarikan diri menuju kampung-kampung dengan pengawalan tentara Gurka. Namun mereka yang tertangkap tetap dibunuh dan dibakar. Beberapa dari mereka yang lolos segera melapor ke pos militer atas aksi biadap tersebut.
Sejumlah pemuda asal Jawa Timur memilih pulang saat menghadiri Kongres Pemuda yang digelar di Yogjakarta pada 10 November 1945. Foto net
Atas kejadian Aksi liar ini membutuhkan pemimpin lokal yang bisa mengendalikannya. Peran Gubernur Suryo menenangkan massa yang mempraktekan revolusi sosial itu sejak kedatangan Sukarno yang hendak berunding dengan tentara Inggris di Gedung Negara Grahadi. Gubernur Suryo menyambut rombongan Sukarno Hatta dengan mengutus beberapa pemuda di bandara. Saat pesawat Sukarno yang mendarat disergap dan ditembaki, para pemuda utusan ini segera memerintahkan untuk dihentikan. Tidak lama kemudian Sukarno keluar dari pesawat dengan melambaikan bendera merah putih. Mengetahui yang datang adalah pemimpin revolusi, secara serempak para pemuda keluar dari persembunyiannya untuk menyambut Sukarno Hatta.
Rombongan itu memasuki jip untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat perundingan dengan pengawalan pemuda rakyat. Di sana sudah menunggu Gubernur Suryo beserta staf dan pemimpin revolusi Surabaya drg Mustopo. Sebagai tuan rumah, Gubernur Suryo menjamu makan malam di tempat menginap Gedung Negara Grahadi. Namun situasi perang memaksa makan malam menjadi kepanikan, setelah penemuan 5 mayat tentara gurka tanpa kepala mengambang di bantaran kali mas dekat Gedung Negara Grahadi. “Semua rombongan melihat pemandangan yang ironis, yaitu bau anyir membuat tahan nafas dan tahan lapar,”.
Hari itu tanggal 30 oktober 1945, dan Gubernur Suryo masih menjadi tuan rumah perundingan genjatan senjata antara Republik Indonesia dengan Tentara Sekutu. Beberapa pempimpin lokal sengaja diundang untuk berunding di Kantor Gubernur Jalan Pahlawan Surabaya. Mereka yang terlibat Residen Sudirman, pemuda Ruslan Abdulgani. Hasilnya penghentian aksi tembak menembak serta memberi kesempatan warga Darmo Surabaya untuk eksodus ke kawasan pelabuhan. Usai genjatan senjata disepakati, rombongan Sukarno Hatta meninggalkan Surabaya dengan pesawat yang sama.
Namun ternyata genjatan senjata itu hanya berakhir dalam hitunan jam pasca Sukarno Hatta kembali ke Jakarta. Lagi-lagi Gubernur Suryo harus menenangkan suasana Surabaya yang justru semakin panas. Terdengar kabar Brigadir Jenderal Mallaby tewas terbunuh di sebuah aksi sabotase. Tentu ini merupakan peringatan keras dan harus ada tindakan yang tepat. Sebab kejadian tanggal 30 Oktober 1945 yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby telah diberitakan media asing dengan tuduhan peristiwa yang mengerikan.
Tanggal 31 Oktober di Jakarta, Sukarno telah menerima laporan kematian Brigadir Jenderal Mallaby pemenang pertempuran di Asia Pasifik dengan nada meremehkan. Menurut Si Bung, merupakan tanggung jawab sendiri sebagai pemimpin Republik Indonesia. Dia menjelaskan sudah berusaha meredakan pertempuran dengan perundingan dan genjatan senjata. Namun kedua belah pihak sulit dikendalikan dan Sukarno seakan-akan membenarkan terbunuhnya sang jendral. Sebab bagi Sukarno, kehadiran tentara Inggris dianggap membuka jalan bagi NICA masuk kembali menjajah Indonesia. Sementara itu bagi Inggris, tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby tidak bisa diterima begitu saja harus ada tersangka. Christison melalui radio memerintahkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan pelaku pembunuhan, atau pilihan lain akan diluluhlantakan. Maka, Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menyebarkan selebaran ke penduduk Surabaya pada tanggal 9 November. Isinya, meminta semua senjata dan tawanan diserahkan ke tentara sekutu beserta para pempimpin dan penguasa. Batasnya tanggal 10 pukul 06.00 Wib pagi.
Dalam bukunya Sukarno Biografi 1901-1950 tulisan Lambert Gierbel menggambarkan betapa gusarnya Sukarno mendengar ultimatum tentara sekutu. Namun hal itu tidak terjadi bagi sang Gubernur Suryo yang tetap tenang menghadapi situasi. Malam hari pada tanggal 9 November 1945, Residen Sudirman bertanya kepada Sukarno melalui telpon tentang apa yang harus dilakukan terhadap situasi genting di Surabaya. Sebenarnya Sukarno ingin menyampaikan bahwa Inggris bukan musuh Indonesia seperti yang disampaikan pada perundingan sebelumnya. Namun menyerahkan persoalan itu ke Menteri Luar Negeri Soebarjo. Maka malam itu juga Soebarjo membujuk markas besar tentara Inggris di Jakarta agar menahan pasukan untuk tidak bergerak. Namun kepercayaan Inggis terhadap kemampuan dan kewibawaan pemimpin Republik Indonesia sudah berakhir dan tetap akan melakukan serangan di Surabaya.
Hari itu tanggal 9 November pukul 23.00 Wib malam, pemerintah Provinsi Jatim memberi kabar situasi sulit di Jakarta. Hasilnya persoalan ini diserahkan ke pemimpin-pemimpin di daerah. Melihat situasi genting, tengah malam warga Surabaya menyiapkan diri. Kelompok ekstrimis dan kelompok moderat dan birokrat menyatukan diri untuk melawan. Sebagai Gubernur yang bertanggung jawab terhadap wilayah, menyampaikan sesuatu yang penting di radio-radio yang berisi memoar.
“Saudara-saudara,
Pemerintah kita di Jakarta diminta hari ini juga memecahkan persoalan di Surabaya, sayang tanpa hasil. Oleh karena itu kami di Surabaya berpegang pada kesimpulan kami sendiri. Marilah kita berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar diberikan kekuatan jiwa dan raga dan karunia dan kekuatan dalam perjuangan kami.
Selamat berjuang”
(pul)
Author Abad
12.10.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Sunan Bungkul atau yang memiliki nama asli Ki Ageng Supo atau Mpu Supo seorang bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang setelah memeluk Islam. Lalu ia menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin. Ia adalah salah satu penyebar agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15 di antara masa Sunan Ampel pada 1400-1481 M.
Nama Ki Ageng Supo dua kali disebut dalam peristiwa besar dalam kisah para sunan. Kisah pertama saat Ki Ageng Supo menjalih menjadi mertua Sunan Ampel, dan cerita lain behubungan dengan Raden Paku atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri yang juga menjadi menantunya.
Dijelaskan dalam bukunya Kisah Walisongi tulisan Baidlowi Syamsuri, ada suatu cerita masyarakat tentang Ki Ageng Supa yang ingin menikahkan puterinya Dewi Wardah. Hingga usia menjelang dewasa, belum juga mendapatkan sosok lelaki yang diinginkan. Lalu Ki Ageng Supo membuat sayembara. “Barang siapa laki-laki yang dapat memetik delima yang tumbuh di kebunnya akan dijodohkan dengan putri Ki Ageng Supa yang bernama Dewi Wardah”.
Sudah banyak orang laki-laki yang mencoba mengikuti sayembara, namun belum ada yang berhasil memetik buah delima yang dimaksud. Bahkan sebagian dari mereka ketika memanjat berusaha untuk mengambil buah delima malah jatuh dan berakhir dengan kematian.
Pada suatu hari Raden Paku yang kurang beberapa hari lagi melangsungkan pernikahan dengan Putri Sunan Ampel Dewi Murthasiah pergi ke Ampeldelta. Secara kebetulan dalam perjalanan itu melewati pekarangan rumah milik Ki Ageng Supo. Saat berjalan melewati bawah pohon delima yang dimaksud, tiba-tiba sebuah buah pohon delima itu jatuh tepat mengenahi kepala Raden Paku. Dalam keadaan demikian, tiba tiba saja Ki Ageng Supo muncul menemuhi Raden Paku.
“ Mau kemanakah engkau, dan apa yang sedang engkau ambil,” tanya Ki Ageng Supo.
“ Maaf Ki Ageng, saya tidak bermaksud mengambilnya. Ketika saya lewat buah delima ini jatuh sendiri dan mengenahi kepala saya,” jawab Raden Paku.
“ Itu artinya kau harus kawin dengan putriku yang bernama Dewi Wardah,” kata Ki Ageng Supo.
“Tapi..., sesungguhnya sebentar lagi saya akan dinikahkan dengan putri kanjeng Sunan Ampel,” jelas Raden Paku.
“ Saya sudah dengan kabar itu, namun katakan saja kejadian ini kepada Sunan Ampel,”
Dengan perasaan tidak menentu, Raden Paku segera menemuhi pesantren Sunan Ampel. Dihadapan Sunan Ampel, Raden Paku menceritakan apa yang baru dialaminya.
“ Jika benar yang dikatakan Ki Ageng Supo, berbahagialah engkau, karena sebentar lagi engkau akan diambil menantu oleh Ki Ageng Supo. Engkau akan dijodohkan dengan putri beliau yang bernama Dewi Wardah” kata Sunan Ampel
“Kanjeng Sunan, saya tidak mengerti apa maksudnya, bukankah sebentar lagi saya akan menikah dengan putri kanjeng Sunan” tanya Raden Paku
“Agaknya ini sudah menjadi suratan takdir bahwa engkau akan mempunyai dua orang istri, putriku Dewi Murtosiah dan putri Ki Ageng Supo, Dewi Wardah”.
Kemudian Sunan Ampel menceritakan perihal sayembara yang telah dibuat Ki Ageng Supo. Banyak peserta sayembara itu dan selalu bernasib naas. Raden Paku mengangguk-angguk mendengar cerita Sunan Ampel.
Dalam pernyataan lain Baidlowi Syamsuri punya kesimpulan lain, bahwa sebenarnya Ki Ageng Bungkul memang sengaja melempar buah delima itu ke sungai. Buah delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Percabangan sebelah kiri menuju Ujung dan sebelah kanan menuju kali Pegirikan. Buah delima itu terapung dan hanyut ke kanan.
Suatu pagi seorang santri Sunan Ampel yang hendak berwudhu di sungai Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu. tidak terlalu lama kemudian, Ki Ageng Supo datang sambil berpura pura mencari buah delimanya yang hilang. Sebab buah delima itu milik anak kesayangannya Dewi Wardah yang jatuh ke sungai.
Mendengar keterangan Ki Ageng Supo ini, Raden Paku menunjukan buah delima yang baru saja ditemukan. Ternyata benar, buah deliam itu milik Ki Ageng Supo. Serta karena sudah terlanjur janji bahwa yang menemukan buah delima itu akan dinikahkan dengan Dewi Wardah, maka Raden Paku dituntut menjadi pemenangnya.
Ki Ageng Supo akhirnya memperoleh mantu seorang santri dari Ampeldenta yakni Raden Paku. Sedangkan Raden Paku akhirnya menikahi dua orang putri sekaligus, yaitu Dewi Murtosiah anak Sunan Ampel dan Dewi Wardah putri Ki Ageng Supo di hari yang sama. Sementara Nyai Ageng Pinatih merasa bangga dan senang atas pernikahan putra angkatnya. Karena dalam sehari sekaligus punya 2 mantu.
Sunan Ampel Menantu Ki Ageng Supo
Jauh sebelum cerita Raden Paku menemukan buah delima hingga akhirnya harus menikah dengan Dewi Wardah anak Ki Ageng Supo, kisah berkah buah delima ini juga menimpa Sunan Ampel. Sebenarnya hubungan Sunan Ampel dan Ki Ageng Supo sangat dekat. Yaitu Mbah Bungkul salah satu santri njobo atau murid Sunan Ampel. Raden Rahmad tinggal di pesantren kawasan Ampeldelta, sementara Sunan Bungkul tinggal di tempat lain. Namun bagi siapapun yang hendak memasukui kawasan AmpelDelta dipastikan akan melewati pekarangan rumah Sunan Bungkul.
Pesantren Ampeldelta semakin maju dan banyak santri yang berdatangan belajar ditempat itu. para santri berasal dari banyak kalangan, mulai pembesar kerajaan, anak pejabat bupati hingga rakyat biasa. Hingga suatu saat, Raden Rahmad mengambil air wudhu di sungi dekat pesantren. Dilihatnya mengapung buah delima yang cantik. Tanpa berfikir panjang diambillah buah delima itu. rupanya godaan buah delima itu membuat Raden Rahmad lupa bertanya siapa pemiliknya. Usai sholat, buah delima itu dimakannya.
Namn saat tinggal separoh, barulah Raden Rahmad menyesal. Sebab terlanjur memakan buah delima dan tidak mencari siapa pemiliknya. Karena itu Raden Rahmad berjalan menelusuri sungai untuk mencari siapa pemilik pohon delima itu. satu persatu pekarangan rumah warga diperhatikan, dan tidak ada yang memiliki pohon delima. Hingga suatu saat di tepian sungai, Raden Rahmad bertemu dengan Ki Ageng Supo salah satu santrinya.
Ki Ageng Supo menceritakan sedang mencari sebutir buah delima yang jatuh ke sungai. Maka Raden Rahmad langsung meminta maaf, sebab telah menemukan buah delima itu dan langsung memakannya. Kini buah delima iu tingga separoh. Mendengar keteranan Raden Rahmad, rupanya Ki Ageng Supo berubah mimiknya dan tidak mau memaafkan. Dikatannya, bahwa buah delima itu milik putrinya yang sekarang sedang menangis mencari buah kesayangannya.
Raden rahmad merasa sedih, dan berjanji akan mengganti buah yang terlanjur dimakannya. Meskipun demikian, Ki Ageng Supo tetap menolak ganti rugi yang ditawarkan Sunan Ampel.
“Lalu bagaimana maksud Ki Ageng Supo menyelesaikan masalah ini, kenapa ki Ageng bersikap demikian tidak ihklas dari sekedar sebutir buah delima,” tanya Raden Rahmad
“Saya bisa memaafkan kanjeng Raden Rahmad, asalkan bersedia menjadi suami putri saya yang kehilangan buah delima itu. Dia namanya Siti Karimah seorang gadis yang tuli, bisu dan lumpuh,” jelas Ki Ageng Supo.
Mendenbar syarat itu Raden Rahmad langsung terkejut. Kenapa sampai menjadi serius permasalahannya. Padahal hanya sebutir buah delima, harus menikah dengan seorang gadis. Pikir punya pikir, akhirnya Raden Rahmad menyerah dan bersedia menikah dengan anak Ki Ageng Supo.
Rupanya Ki Ageng Supo sangat gembira dan lega kesediaan Raden Rahmad itu. Maka diajaklah Raden Rahmad ke rumah sunan bungkul dan dikenalkan ke anaknya Siti Karimah calon istrinya. Maka betapa terkejudnya Raden Rahmad ketika melihat pertama kali Siti Karimah itu, ternyata tidak seperti yang disebutkan Ki Ageng Supo. Bahwa yang dimaksud anaknya tuli bisu dan lumpuh ialah tidak pernah mendengarkan dan melihat serta melangkahkan kakinya kepada maksiat. (pul)
Pulung Ciptoaji
21.12.22
abad.id-Terlalu lama dijajah lebih dari 300 tahun oleh Belanda mengakibatkan nusantara memiliki kisah sejarah yang panjang dan beragam. Salah satunya kisah Pieter Erberveld. Memang, namanya tak setenar kisah lainnya yang menjadi berita di koran Batavia seperti Pitung atau si Jampang.
Namun sosok Pieter Erberveld diabadikan dalam 3 simbol yang berbeda. Pemberontak terkutuk bagi Belanda, simbol perlawanan terhadap kolonial bagi Jepang dan pejuang kemerdekaan bagi Indonesia. Bahkan bagi kaum pergerakan pada masa itu, sosok Peter dianggap pejuang kemerdekaan sejati bagi Indonesia. Tapi mengapa sosok berdarah Indo – Belanda – Jerman ini justru sama sekali tidak dikenal di buku-buku sejarah tanah air.
Namanya malah tenggelam oleh kebesaran Douwes Dekker, Laksamana Maeda dan tokoh-tokoh pejuang berdarah asing lainnya. Mengapa Erberveld layak disebut pejuang kemerdekaan sejati? Siapa dan bagaimana sepak terjang Erberveld sebenarnya?
Karena Peter Erberveld telah mengobarkan perlawanannya kepada negara-negara penjajah negeri kita Indonesia. Bagi Belanda, Peter disebut pemberontak terkutuk yang telah mengobarkan perlawanan kepada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pun demikian bagi bangsa Jepang yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kolonial. Hanya Indonesia saja yang menjadikannya sebagai pejuang kemerdekaan meski namanya tak setenar Max Havelaar dan para warga asing pendukung perjuangan Indonesia lainnya.
Kisahnya hanya sejengkal dengan nasib tragis yang harus dialami Peter Erberveld. Ia divonis mati VOC dengan ditarik empat ekor kuda dari arah berlawanan hingga kulitnya terlepas dari raga. Tak berhenti di situ, kegeraman tentara VOC masih dilanjutkan dengan menancapkan kepala Erberveld di tombak dan didirikan depan rumah Erberveld. Hukuman paling sadis dengan sempurna yaitu rumahnya pun dihancurkan oleh VOC.
Karena kebiadaban eksekusi VOC inilah, Erberveld dikenang para pejuang dan diberi julukan Pangeran Pecah Kulit. Konon, lokasi eksekusi Erberveld itu menjadi cikal bakal Kampung Pecah Kulit di kawasan Jakarta Utara.
"Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakan batu bata dan menanam apapun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722," demikian terjemahan bebas dari bunyi huruf-huruf berbahasa Belanda dan Jawa di tugu peringatan itu.
Sosok Peter Erberveld Dekat Dengan Pribumi
Pieter Erberveld dilahirkan di Ceylon, Belanda. Lelaki tampan itu lahir dari ibu berdarah Siam, meski dalam versi lain sejarawan Betawi, Alwi Shahab menyebut ibunya merupakan perempuan Jawa. Nama Erberveld menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld yang sekarang menjadi Kota Wuppertal di Nordrhein-Westfalen (NRW), Negara Bagian Jerman. Ayahnya hijrah ke Batavia sebagai penyamak kulit, yang kemudian diangkat sebagai anggota Heemraad atau pejabat lokal Belanda untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol.
Ayah Erberveld merantau dari Jerman ke Amsterdam pada 1670 untuk bergabung dengan VOC dan menjadi prajurit kavaleri. Pieter Erberveld senior juga menjadi salah satu orang kepercayaan Cornelis Speelman, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda kala itu.
Keluarga Erberveld tinggal di Kawasan elit Jacatraweg yang kini dikenal dengan kawasan Pangeran Jayakarta di Jakarta Utara. Di kawasan itu merupakan tempat favorit para pejabat Hindia Belanda untuk bermukim. Keluarganya dikenal kaya-raya lantaran menjadi tuan tanah. Kekayaan inilah yang akhirnya diwariskan kepada anaknya, Peter Erberveld Junior yang kemudian meneruskan usaha ayahnya sebagai tuan tanah di sana.
Meski berdarah Eropa, Erberveld dikenal dekat dengan pribumi. Ia kerap berinteraksi dengan para pekerja dan warga pribumi lain yang mengenalnya sebagai sosok yang humble. Dari interaksi itulah yang menumbuhkan gejolak dalam diri Erberveld akan ketidakadilan pemerintah Batavia dalam kasus tanah di wilayah Pondok Bambu. Ia merasa dirugikan pemerintah kolonial karena ratusan hektar tanah miliknya dirampas dengan tudingan tak memiliki izin dari pejabat berwenang.
Karena perjuangannya mempertahankan tanah itulah, Erberveld justru mendapat simpati dan dukungan dari kalangan pribumi. Mendapat simpati warga setempat, Erberveld kian intens berkunjung ke rumah-rumah penduduk kampung (yang konon dinamakan Pecah Kulit pasca hukuman matinya).
Kedekatan Pieter dengan kaum pribumi bahkan konon disebut-sebut sampai menjadi mualaf yang taat. Bahkan masyarakat Betawi memiliki panggilan hormat yaitu Tuan Gusti. Kunjungan ke rumah-rumah warga itu tak lain untuk membantu perjuangan mereka dalam melancarkan perlawanan terhadap VOC.
Kebencian Erberveld terhadap kelicikan VOC yang tak terbendung itulah yang membuat tekadnya begitu bulat melakukan melawan bersama warga. Baginya, bisnis VOC sangat licik dan kejam. Maskapai dagang pertama di dunia itu juga sudah tidak asing lagi dengan image skandal korupsinya. Thomas B Ataladjar dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung menyebut, kasus mega korupsi itulah yang menjadi biang keladi kebangkrutan VOC pada 1799.
Rupanya, perlawanan Peter Erberveld itu mendapat simpati dari bangsawan Banten, Raden Ateng Kartadria yang kerap berbisnis dengannya. Ia sering menjalin komunikasi dengan Kesultanan Banten dan 25 pengikutnya untuk mendukung aksi pembangkangan tersebut. Mereka rencanakan aksi pembunuhan semua warga Belanda pada 31 Desember 1721, menjelang perayaan tahun baru mengingat pengamanan selalu longgar pada saat itu.
Kartadria sendiri sudah mengumpulkan 17 ribu prajurit yang siap memasuki kota. Sayangnya, rencana itu bocor. Banyak versi yang menyebut bahwa rencana itu bocor karena diceritakan budak Erberveld. Ada juga versi yang menyebut jika rencananya bocor karena diceritakan putri Erberveld sendiri yang mencintai tentara Belanda. Namun ada pula versi yang mengatakan justru Kartandria sendiri yang sengaja menjerumuskan Erberveld.
Untuk versi terakhir ini masih patut dipertanyakan karena akibat penggerebekan itu, Komisaris VOC untuk urusan bumiputera, Reykert Heere bergerak cepat dan menangkap 23 pelaku pemberontakan termasuk Erberveld dan Kartadria.
Imbasnya, setelah proses penghakiman di Collage van Heemraden Schepenen, Gubernur Joan Van Hoorn bukan hanya menyita tanahnya, tapi juga menjatuhi hukuman tambahan denda berupa 3.300 ikat padi yang harus dibayarkan pada pemerintah. Erberveld dan Kartadria pun harus merasakan pengapnya penjara selama 4 bulan, Erberveld, Katadria dan para pengikutnya langsung divonis mati. Eksekusi dilaksanakan pada 22 April 1722.
Kegeraman Belanda terhadap Erberveld nampaknya sudah sangat memuncak hingga hukumannya lebih sadis dibanding pesakitan umumnya. Jika biasanya hukuman mati terpidana dilakukan dengan cara digantung atau dipancung di depan Stadhuis, tidak demikian halnya dengan Erberveld. Hukuman mati baginya dilaksanakan di Kampung Pecah Kulit untuk memberikan shock therapy bagi warga pribumi yang berniat membangkang.
Dalam buku Betawi, Queen of East, Alwi Shahab menggambarkan eksekusi yang sangat sadis dengan mengikat kedua kaki dan tangan Erberveld dengan kuda.
"Tubuh mereka semua dicincang dan jantungnya dicopot. Lalu badan mereka ditarik dengan empat ekor kuda yang berlari secara berlawanan ke empat penjuru, sampai pecah-pecah menjadi empat bagian," tulis Alwi Shihab.
Lalu kepala Erberveld ditancapkan di sebatang tombak depan rumahnya yang hancur. Di dekatnya didirikan tugu peringatan bagi siapa saja yang melawan Belanda.
Namun sejak invansi Jepang ke Indonesia pada 1942, tugu itu dihancurkan tetapi prasastinya dapat diselamatkan. Replikanya akhirnya didirikan kembali. Dalam surat kabar Pandji Poestaka tahun XXI, 9/10 Maret 2603 (tahun Showa Jepang atau 1943) Erberveld disinggung secara hormat.
Di surat kabar itu disebutkan, Jepang memang membenci Belanda hingga sosok Erberveld bisa terekspose meskipun monumennya dihancurkan. Rupanya pemerintah Jepang memberikan penghargaan atas sikap Pieter itu.
"...Kepala Pieter Erberveld oleh pemerintah Belanda disoela dan ditantjapkan ditembok disoeatoe tempat di Djakarta, oentoek didjadikan lambang nasib mereka jang berani memberontak melawan kekoeasaan Belanda. Sekarang pada zaman peroebahan ini, djasa Pieter Erberveld mendapat penghargaan jang semestinja."
Meski dihancurkan, tugu tersebut sempat dibangun kembali untuk memperingati peristiwa tersebut sekaligus untuk kepentingan wisatawan. Sayangnya, kepentingan ekonomi berhasil mengalahkan kepentingan sejarah dan pendidikan masa lalu hingga sejak 1985, monumen itu dipindahkan ke Museum Prasasti Jakarta karena tempat tugu itu berdiri kini menjadi showroom mobil.
Sedangkan daerah tempat hukuman mati itu dilakukan kini bernama Kampung Pecah Kulit. Terletak di dekat Gereja Sion, tak jauh dari Stasiun Jayakarta. (dik/pul)
Author Abad
20.12.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
Sekarang Sukarno harus menjaga sikap. Di hadapan Jepang dia harus tampil sebagai sekutu yang setia sambil berusaha membujuk untuk mewujudkan janjinya memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara di hadapan para pemimpin nasional lainnya serta Masyumi, Sukarno harus membuktikan janji Koiso. Lebih dari itu, Sukarno harus bermain aman agar posisinya sebagai tokoh sentral tidak goyah. Sebab ada kelompok rakyat telah menghubungkan namanya sebagai tokoh yang kurang menyenangkan. Bahkan ada yang bilang Sukarno hanya "budak Jepang"
Strategi para pemimpin nasionalis yang belum tampak tujuannya itu rupanya sudah terbaca oleh rakyat yang mulai muak dengan perilaku Jepang. Kelakuan Jepang yang bengis dan diluar batas kewajaran dan adat, benar-benar membuat jengkel kaum priyayi dan rakyat. Kelakuan tentara Jepang itu membuat marah tentara PETA yang mestinya bertugas mendukung program Romusa. Maka pada tanggal 14 februari 1945 di Blitar terjadi perlawanan tentara PETA terhadap Jepang. Tokoh pemimpin aksi perlawanan ini seorang pemuda berpangkat soudanco bernama Supriyadi.
Supriyadi memiliki nama kecil Priyambodo. Sejak kecil dia terbiasa mendengar cerita kepahlawanan para wayang dan sikap hidup kesatria dari kakek tirinya. Kisah-kisah itu membekas pada jiwa dan kepribadian Supriyadi. Pemuda asal Trenggalek lahir 13 April 1923 ini, ikut kesatuan semi militer Jepang Barisan Pemuda atau Seinendan di Tangerang. Berikutnya, Supriyadi pun terpilih mengikuti PETA yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943.
Mengutip Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara oleh Gamal Komandoko, Supriyadi pernah menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Belanda, ELS (Europese Lagere School) dan melanjutkannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Sebelum bergabung denan PETA, priyayi Jawa ini sempat melanjutkan pendidikan ke sekolah pamong praja, OSVIA (Opleiding School Voor Indlandse Ambtenaren) di Magelang.
Setelah memperoleh pendidikan militer di PETA, Supriyadi diangkat sebagai Dai Ichi Shodan atau Peleton 1 wilayah Blitar. Tugasnya selama di Blitar mengawasi pekerjaan romusha. Namun, pekerjaan itu ditolaknya dengan alasan terlalu kejam untuk memperbudak bangsanya sendiri.
Dalam buku Sukarno biografi 1901-1950, Lambert Giebels penulis berkebangsaan Belanda itu menyebutkan supriadi sangat percaya diri mampu melakukan perlawanan. Ia menimba kekuatan dari hubungan mistiknya dengan Pangeran Diponegoro. Atas keyakinan ini, banyak anggota PETA lain yakin dan ikut dengan aksi Supriyadi
Sebulan sebelum aksi pemberontakan, terdapat 16 anggota PETA aktif mulai melakukan rapat di sebuah tempat yang tertutup. Para tokoh pemuda itu Supriyadi, Halir, Ismangil dan beberapa tokoh kelompok rakyat. Mereka memutuskan aksi pemberontakan tanggal 14 Pebruari 1945 pukul 04.00 sebelum apel pagi. Dalam keyakinannya, para tokoh pemuda ini akan menyerbu markas dan asrama batalyon PETA di Blitar.
Namun rupanya para pemuda ini lupa strategi dan tujuan aksi pemberontakan itu. Bisa jadi aksi serangan pagi hari ini hanya bentuk ketidak puasan atas tentara Jepang, atau ada masalah dendam pribadi. Strategi penyerangan juga belum matang. Mereka tidak mengukur bagaimana menguasai senjata, bagaimana cara melakukan langkah gerilya jika aksi mereka gagal.
Seperti yang sudah disepakati, pagi itu menjelang subuh sudah muncul rentetan senjata menyerang markas batalyon PETA. Banyak pasukan Jepang yang sedang tidur langsung disergap dan dibunuh. Para pemberontak juga merampas senjata, mobil pengangkut barang dan kas tentara sebesar 10 ribu gulden. Menjelang fajar, masa pemberontak bergerak menuju penjara kota Blitar yang berada dekat alun-alun. Disana mereka membebaskan 250 tahanan kriminal dan segera bergabung dengan pasukan.
Dalam catatan sejarah aksi para pemuda PETA ini penuh dengan semangat dan kepahlawanan, dan benar benar menguasai kota Blitar. Menang dalam satu gebrakan. Pukul 10 pagi sudah banyak mayat tentara Jepang bergelimpangan di markas dan di jalan. Belum puas, massa bergerak semakin bengis dengan melakukan penjarahan toko-toko yang dihuni etnis China. Bahkan Lambert Giebels berani menyebut pasukan liar semakin bengis dengan melakukan aksi pemerkosaan wanita Indo Belanda. Situasi kota Blitar benar-benar tidak bisa dikendalikan. Namun sekali lagi massa ini tidak memperhitungkan strategi pertahanan jika ada aksi balasan dari tentara Jepang. Supriyadi yang menjadi tokoh utama gerakan masih terlalu muda dan emosional tidak bisa mengendalikan massa yang terlanjur euforia.
Rupanya Jepang langsung kalap penuh kemarahan begitu mendengar kabar kota Blitar dilumpuhkan dan banyak tentaranya dibunuh. Serangan para pemberontak PETA ini dibalas Jepang dengan skala lebih besar. Batalyon dari Malang dan Kediri didatangkan untuk mengepung Blitar. Akibatnya situasi tak seimbang. Para pemberontak yang kurang berpengalaman tempur kocar kacir menyelamatkan diri masuk ke hutan dan Gunung Kelud. Sementara para pemimpin berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan militer Jepang di Jakarta. Di berbagai buku sejarah menyebutkan, Supriyadi tidak ikut diadili dan diduga sudah lebih dahulu dihabisi Jepang.
Aksi pemberontakan PETA ini juga dipantau para pemimpin nasional, dan mereka mengambil sikap berbeda-beda. Ada pihak yang menuding Supriadi terlalu gegabah dan terburu-buru. Bahkan ada kelompok nasionalis lain yang menyalahkan cara Supriyadi, sebab dianggap menggangu rencana dan strategi awal untuk menjadi negara merdeka sesuai janji Koiso. Namun ada kelompok lain menganggap justru dengan pemberontakan PETA ini membukikan kekuatan rakyat bisa mengalahkan tentara Jepang. Berkat aksi pemberontakaan ini posisi Jepang yang sebelumnya sudah banyak kalah perang di beberapa wilayah perang pasifik semakit terdesak. Aksi pemberotakan PETA juga membangkitkan rasa patriotik rakyat yang tinggal di batalyon wilayah lain, dan sudah menyiapkan diri akan melakukan langkah sama jika diperlukan.
Sementara itu bagi Sukarno, serangan PETA ini membuat posisinya yang sebelumnya sangat aman menjadi dilematis. Sebab aksi pemberontakan itu berada di Kota Blitar tempat tinggalnya. Sukarno kawatir muncul kesan seakan-akan aksi pemberontakan itu dibawah kendalinya. Sukarno harus mencari cara agar keluarga di Blitar aman dari incaran Jepang.
Untuk menghilangkan keraguan tentara Jepang terhadap Sukarno, segera menawakan diri untuk bertindak sebagai salah satu juri pribumi yang diperbantukan kepada pengadilan militer di Jakarta. Mereka yang tertangkap ini para pemimpin mulai Halir dan dr ismail. Namun upaya Sukarno ini ditolak Jepang karena akan berdampak negatif dengan namanya. Dalam sidang militer Jepang itu, para pimpinan pemberonak mendapatkan vonis hukuman mati dengan cara dipancung sesuai tradisi samurai.
Rupanya keterangan berbeda dalam otobiografi Sukarno yang ditulis wartawan Amerika Cindy Adams. Sukarno mengatakan bahwa secara tidak langsung ikut terlibat dalam aksi pemberontakan PETA. Sukarno membesar-besarkan keterlibatannya. Seakan-akan membuka rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Katanya sebelum dilakukan rapat-rapat di markas, para pimpinan pemberontak mendatangi rumah orang tua Sukarno di kelurahan Gebang Bendogerit yang tidak jauh dari lokasi markas. Mereka mengungkapkan rencana aksinya. Raden Sukemi orang tua Sukarno menemui para pimpinan PETA itu memberi semangat. Namun juga mengingatkan bahwa kalau nanti mendapatkan kesulitan, ia tidak bisa membantu karena keterbatasannya.
Memang dampak pemberonakan PETA ini benar benar merubah tingkat kepercayaan diplomatik terhadap pemimpin nasionalis di Jakarta. Sumber dari Jepang kolonel Miyamoto Shizuo perwira staf dari tentara ke 16 bagian transportasi dan komunikasi mengatakan, pemberontakan batalyon PETA harus mengubah strategi Jepang. Setelah kejadian itu PETA tidak lagi dipercaya sepenuhnya oleh Jepang jika terjadi pertempuran besar melawan sekutu di pulau Jawa. Bahkan Jepang mulai curiga dengan PETA. Dikawatirkan akan muncul pemberontakan susulan yang bisa terjadi saat serangan sekutu di tanah Jawa. Atas kejadian itu, semua tenaga cadangan di kepulauan Indonesia termasuk divisi 48 di wilayah timur segera ditarik untuk mempertahankan pulau Jawa. Sehingga kekuatan Jepang di pulau Jawa meningkat menjadi 80 ribu tentara.
Bahkan jika muncul serangan sekutu ke pulau Jawa, kekuatan Jepang akan dikonsentrasikan di daratan tinggi Bandung. Di kota ini akan dirancang menjadi palagan pertempuran yang menentukan. Beruntung, semua langkah tersebut tidak semua dilakukan oleh Jepang, sebab 2 bom besar di kota Hirosima dan Nagasaki telah menundukan Jepang dari kemungkinan perang yang lebih dasyat. (pul)
Author Abad
20.12.22
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)
Author Abad
20.12.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
Allen Pope, seorang penerbang berkebangsaan Amerika Serikat yang disewa untuk membantu pemberontakan PRRI/Permesta, mulai 1 Januari 1960 diadili oleh Makamah Angkatan Udara dalam Keadaan Perang di Jakarta. Sidang yang berakhir tanggal 29 April 1960 ini, Pope dijatuhi hukuman mati oleh Makamah Udara dalam Keadaan Perang.
Sebelumnya putusan Pope ini, pada akhir 1959, Sukarno sudah bernegosiasi dengan Presiden Amerika John F Kennedy soal pembebasan Pope. Kennedy menawarkan imbalan sebagai pengganti. Tawaran presiden Amerika langsung disambut positif Sukarno yang memang sedang membangun kekuatan AURI untuk Operasi Trikora dan pembebasan Irian Barat. Maka Indonesia diizinkan membeli 10 unit pesawat C-130 Hercules, dan menjadi negara pertama yang mengoperasikan pesawat tangguh segala medan itu di luar Amerika Serikat.
Transaksi ini sama halnya Amerika Serikat harus membayar mahal demi pembebasan Pope. Bahkan Amerika Serikat juga "terpaksa" membiarkan Indonesia untuk merebut Irian Barat dari Belanda, yang tak lain merupakan sekutunya sendiri. Tidak lama kemudian tanggal 18 Maret 1960, Hercules 8 unit C 130B dan 2 unit KC 130 B tanker langsung dikirim. AURI baru menggunakan dua unit Hercules untuk Operasi Trikora pada Mei 1962.
Dua tahun setelah Vonis hukuman mati, bulan Februari 1962, Robert F. Kennedy adik kandung John F Kennedy Presiden Amerika menagih janji Sukarno yang akan pembebasan Pope. Kedatangan Robert F Kennedy disambut Sukarno sekaligus memperbaiki hubungan diplomasi yang sempat hangat atas tragedi Pesawat B26 yang menyerang Ambon dan ikut membantu pemberontakan PRRI/Permesta. Ikut dalam rombongan Robert F Kennedy ini istri, ibu, dan saudara perempuan Pope. Mereka meminta pengampunan Pope.
Diplomasi urusan Pope diselesaikan pada 2 Juli 1962. Sukarno menepati janjinya memberikan pengampunan dengan diam-diam Pope dibebaskan dari penjara. Pope diantar menuju pesawat menuju Amerika Serikat dengan sangat rahasia. "Saya tidak ingin ada propaganda soal penangkapanmu. Pergi sekarang. Menghilanglah diam-diam. Jangan perlihatkan diri di depan umum. Jangan membagikan berita dan mengeluarkan pernyataan untuk surat kabar. Pulang saja, sembunyikan dirimu, dan kita akan melupakan semuanya," kata Sukarno yang selalu diingat Pope.
CIA Terlibat Mendalangi Pemberontakan di Indonesia
Lalu, siapakah Allan Lawrence Pope yang begitu penting bagi Amerika Serikat, bahkan pilot tersebut menjadi jaminan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Gara-gara penangkapan Pope ini, Amerika Serikat yang sebelumnya punya kepentingan di Irian Barat, menjadi diam dan mendukung wilayah tersebut dilepas Belanda.
Pope seorang penerbang Angkatan Udara Amerika Serikat dan bertugas selama Perang Korea. Ia mulai dilibatkan dalam misi penerbangan rahasia CIA pada Maret 1954 saat bergabung dengan Civil Air Transport (CAT); salah satu organisasi binaan CIA.
Pada April 1958, CIA mengirim Pope dari Saigon, Vietnam ke Pangkalan Udara Clark di Filipina. Ia bertugas menerbangkan B-26 Invader yang dicat hitam ke Indonesia dan mendarat di Pangkalan Udara Mapanget, Sulawesi Utara, yang dikuasai pemberontak PRRI/Permesta.
Mulai dari situ, Pope membantu misi pengeboman Angkatan Udara Revolusioner (AUREV)--AU Permesta-- terhadap kapal laut dan aset-aset militer Indonesia di Sulawesi dan Maluku. Ini dilakukan untuk memutus jalur logistik dan melemahkan kekuatan militer Indonesia di Indonesia Timur.
Saat itu, Indonesia memang sedang gencar membangun kekuatan militernya di Indonesia Timur untuk merebut Irian Barat dari Belanda.
Pagi itu, pukul 06.00 WIT, 18 Mei 1958, sebuah pesawat pembom B-26 Invader lansiran Amerika Serikat bercat hitam tiba-tiba membombardir Pangkalan Udara Pattimura, Ambon. Di balik kokpit, Lawrence Allen Pope cekatan menjatuhkan bom ke arah pesawat-pesawat yang terparkir di landasan.
Sesekali rentetan peluru 12,7 mm juga terdengar diselingi ledakan pesawat C-47 Dakota dan P-51 Mustang yang terkena tembakan. Asap pekat dari avtur yang terbakar lantas memenuhi salah satu markas Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu.
Di Pangkalan Udara Liang, seorang pilot AURI, Komodor Udara Ignatius Dewanto, menerima kabar tersebut dan segera terbang dengan P-51 Mustang. Dengan senjata lengkap, pesawat tempur bermesin piston itu mengejar B-26 Invader yang mengincar kapal dagang Sawega yang mengangkut 1 batalion pasukan sekitar 1.000 orang.
Ignatius Dewanto berhasil mengikuti pesawat Allen Pope yang baru saja menjatuhkan bom seberat 230 kilogram ke kapal Sawega, namun meleset. Saat jarak tembak sudah sangat dekat, Dewanto segera menembakkan roket ke arah pesawat pembom itu.
Tembakan roket meleset, lalu disusul rentetan peluru 12,7 mm dan berhasil merusak sayap kanan B-26 Invader. Pembom itu terbakar dan menukir ke lautan, Allen Pope dan seorang desersi AURI, Jan Harry Rantung, yang menjadi operator radio Permesta bergegas melompat dengan parasut.
Allen Pope terdampar di Pulau Hatala di barat Ambon dengan kaki patah karena terhantam karang. Sementara Harry terjatuh di laut. Mereka ditangkap Angkatan Laut Indonesia yang sedang berpatroli.
Penangkapan Allen Pope mengungkap keterlibatan dinas inteligen Amerika Serikat atau CIA (Central Intelligence Agency) dalam pemberontakan Permesta di Makassar. Gerakan separatis ini beranggotakan perwira militer setempat dan hendak menggulingkan pemerintahan Sukarno yang dianggap dekat dengan komunisme.
Saat ditangkap, Pope membawa dokumen-dokumen catatan misi terbang dan identitasnya sebagai pilot yang diperintah negaranya untuk membantu pemberontakan di Indonesia. Dokumen ini secara substansial bisa mempermalukan pemerintahan Amerika Serikat.
Dalam buku Membongkar Kegagalan CIA disebutkan, berita penangkapan Allan Pope sampai ke Markas CIA di Amerika pada 18 Mei 1958. Allen Dulles, Direktur CIA saat itu, langsung memerintahkan agen-agennya yang masih berada di Fipilina, Taiwan, dan Singapura untuk menghentikan seluruh aktivitas rahasia dan mundur teratur. (pul)
Author Abad
20.12.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Tepat pukul 10 kurang 5 menit Hatta datang ke rumah Sukarno jalan Pegangsaan Timur 56. Di dalam buku memoarnya, Hatta mengatakan semua orang tahu bahwa saya seorang yang tepat waktu. Jadi tak seorangpun yang kawatir , bahwa saya akan terlambat. Sukarno sangat paham soal itu, jadi dia tidak alasan untuk kawatir.
Hari itu tanggal 17 Agustus 1945, tepat para pemimpin pergerakan memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan sigap, dua pemimpin bangsa Sukarno dan Hatta maju ke depan mimbar untuk membacakan sebuah naskah proklamasi yang sangat sederhana. Bahkan upacara tersebut juga paling sederhana di dunia. Dengan serak, Sukarno membacakan dua kalimat yang telah diketik Sayuti Melik. Secara spontan seorang perwira anggota polisi militer bernama Kaptem Latief yang ikut hadir mengerek bendera merah putih di tianng bambu yang juga sangat sederhana. Tiang bambu ini ditancapkan Riwu pagi hari, seorang pembantu yang ikut keluarga Sukarno sejak keluarga tersebut dibuang di Ende. Sambil bendera berkibar, para hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kali ini dengan refein Indonesia raya merdeka, merdeka dan bukan Indonesia raya mulia-mulia seperti jaman Belanda.
Berita koran tentang Indonesia telah merdeka. Foto dok 30 tahun Indonesia merdeka
Banyak para hadirin yang ikut hanyut terharu. Sebab perjalanan panjang menuju merdeka penuh dengan perseteruhan, pertumpahan darah dan kesedihan kehilangan. Termasuk Riwu yang mengaku terbayang-bayang Bu Ingrit saat bendera itu berkibar. “ Mestinya yang harus hadir saat itu Ibu Inggrit, sebab sejak awal dia yang ikut membantu perjuangan menuju kemerdekaan,” kata Riwu seperti yang ditulis dalam buku Lambert Giebels.
Tugas pemuda Riwu ini belum seleai. Sebab penyakit Malaria yang diderita Sukarno saat itu membuatnya harus banyak istirahat. Selanjutnya Riwu diminta untuk mengumkan ke warga Jakarta tentang kemerdekaan bangsa Indonesia. “ Wu, kita harus membantu menyiarkan berita ini di Jakarta, bahwa sekarang kita sudah merdeka,” Kata Sukarno di tempat tidur.
Ribu bergegas menuju kebun. Diambilnya sebuah bendera merah putih lalu diikat di sebuah tongkat. Kali ini kabar Indonesia telah merdeka harus digelorakan ke seluruh warga Jakarta. Namun bagaimana caranya. Beruntung ada beberapa pemuda yang masih menunggu kelanjutan proklamasi di rumah Pegangsaan Timur 56. Mereka Sartono dan Sutwoko. Bersama mereka, Riwu keliling kota naik mobil bak terbuka. Diatas mobil itu, mereka berteriak penuh semangat melewati menteng sampai ke pasar ikan dana ke jatinegara. “Merdeka, merdeka. Sekarang Indonesia telah merdeka. Sukarno dan Hatta baru saja memproklamasikan kemerdekaan,” kata Riwu.
Aksi tiga orang ini benar benar nekat dan tidak takut ditangkap kempetai. Padahal di sepanjang jalan yang dilewati banyak tentara Jepang memperhatikan. Mungkin diantara tentara Jepang itu juga belum mendengar kabar tentang kemerdekaan, atau mungkin juga tidak ada perintah apapun dari komandan. Sebab yang dipahami hanya diperintah mempertahankan status qua Indonesia.
Aksi tiga orang ini tentu membuat banyak orang penasaran. Sejumlah orang yang mendengar pengumuman kemerdekaan berbondong bondong menuju ke rumah Sukarno di Pegangsaan Timur Jakarta Nomor 56. Disana mereka saling bertanya. Beruntung beberapa pamlet teks proklamasi masih tersisa sehingga bisa menjelaskan penasaran warga. Beberapa ibu-ibu dan remaja putri menuju dapur dan membawa bahan makanan secara swadaya. Mereka membantu ibu Fatmawati menyiapkan selamatan nasi tumpeng. Tentu saja sambil menunggu tanda beduk magrib dari masjid, untuk dimakan saat berbuka puasa nanti. Tepat saat adhan magrip beberapa orang memilih mencari masjid terdekat, sementara sebagian menyantap nasi tumpeng bersama sebagai ucap syukur. Selanjutnya mereka sholat berjamaah di kebun depan rumah. “Sungguh begitu bersahaja dan sederhana proklamasi di negeri kami,” kenang Riwu.
Senja itu makin gelap. Suasana rumah Pegangsaan Timur 56 masih dipenuhi beberapa pemuda. Mereka berdiskusi tentang bagaimana cara menyebarkan kabar proklamasi ini agar bisa didengar di seluruh nusantara. Maka satu satunya cara yaitu melalui radio, mengabarkan melalui berita koran dan menyebarkan langsung melalui pamlet-pamflet. Malam itu Riwu mendapatkan tugas pergi ke percetakan Bukanfu, yang masih menjadi wewenang Laksamana Maeda. Tugasnya mengambil pamfelt naskah proklamasi kemerdekaan yang sudah dicetak. Sebab besok paginya akan disebar di seluruh penjuru jakarta.
Setelah terkumpul relawan pemuda, pagi itu tanggal 18 Agustus 1945 semua mulai bergerak. Riwu menadatangi stasiun dan terminal. Pamflet dibagikan ke setiap calon penumpang agar disebarkan ke daerah asal. Semua bersuka ria saat membaca pamlet itu. ada yang saling berpelukan, ada yang menangis dan penuh semangat percaya diri sebagai bangsa yang sudah tidak dijajah oleh siapapun. Cara lain yaitu menyebatkan berita ke luar pulau melalui radio. Cara ini butuh orang-orang nekat, sebab semua radio dikuasai orang-orang Jepang.
Kantor berita Domai dijaga ketat tentara Jepang. Kini berubah menjadi kantor berita Antara. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
Salah satu pria nekat itu bernama Ronodipuro. Dia telah mencatat jalannya proklamasi 17 Agustus 1945 yang penuh drama. Untuk siaran di radio ini harus ijin kompetai. Tanpa ijin sangat mustahil. Sebab tidak ada seorangpun yang boleh masuk di situasi tentara Jepang yang sedang labil. Pernah siang itu, beberaa mahasiswa kedokteran Salemba nekat menyelinap masuk sambil membawa teks proklamasi. Namun salah seorang diantara mereka menimbulkan gaduh karena senjatanya terjatuh. Kempetai langsung menangkapnya. Tanpa banyak bicara keduanya langsung ditendang keluar gedung. Beruntung saja mereka tidak dipancung. Hanya saja naskah teks yang hendak dibaca direbut para kompetai itu.
Pasca kejadian, prajurit tentara Jepang semakin memperketat penjagaan di sudio radio. Paling ketat penjagaan di kantor berita Jepang Domai. Disitu tentara Jepang bersenjata lengkap hilir mudik dan keluar masuk studio. Sementara di luar gedung, sejumlah pemuda bergerombol seperti sedang merencanakan sesuatu untuk menguasai studio. Saat matahati mulai terbenam, beberapa pemuda membubarkan diri. Dipikirnya mereka pergi untuk menjalankan ibadah sholat atau berbuka puasa. Namun ternyata tidak. Bagi seorang wartawan bernama Syahrudin yang kantornya dibelakang radio Domai, waktu lengah itu digunakan untuk menyelinap dengan memanjat tembok. Bersimbah peluh karena antara takut dan kesulitan memajat tembok. Setelah itu bertemu dengan Ronodipuro dan membawa pesan dari Adam Malik bahwa teks proklamasi ini harus segera dibacakan. “Ah..., jauh jauh sampai memanjat tembok hanya untuk membawa pesan, tapi melaksanakannya tidak gampang,” kata Ronodipiro.
Akhirnya mereka membuat siasat lagi. Sebab orang - orang Jepang ini makin mengamankan kabin-kabin mickrofon radio. Mereka sudah mendengar kabar bahwa siaran berbahasa Inggris telah dihentikan sejak tanggal 15 Agustus 1945. Waktu siaran biasanya pukul 19.00 malam. Berarti jam yang biasanya diisi program bahasa Inggris pasti kosong, dan studio luar negeri minim penjagaan.
Dengan kemampuan beberapa teknisi, beberapa pemuda mengutak atik jaringan dan memindahkan ke frekwensi dalam negeri. Tepat waktu berita pukul 19.00 malam, pertama kalinya Ronodipuro bersama Suprapto membacakan teks proklamasi kemerdekaan serta mengumumkan kepada publik bahwa bangsa Indoenesia telah merdeka.
Selang beberapa jam kemudian, seorang tentara Jepang masuk studio dan berusaha menghentikan siaran tersebut. Saat itu Ronodipuro sedang berbincang tentang kemerdekaan dengan Bachtar Lubis. Keduanya langsung kaget atas kedatangan tentara jepang sambil membawa samaurai. Tanpa ada penjelasan apapun, keduanya dihajar habis habisan. “Kapten Kempetai itu begitu berang sampai menghunus pedangnya dan mengarahkan ujungnya ke leher saya,” kata Ronodipuro mengenang kejadian itu.
Beruntung tidak lama kemudian kepala studio seorang berkebangsaan Jepang datang melerainya. Letnan Kolonel Tomobachi dikenal tidak pernah bermusuhan dengan para pemuda, sehingga dengan penjelasannya Ronodipuro dan Bachtar Lubis bebas. Mereka hanya disuruh pergi.
Sejak peritiwa itu berita proklamasi semakin longgar untuk disampaikan di radio Domai. Tentara Jepang memang menguasai semua radio di seluruh kepulauan nusantara. Tujuannya untuk propaganda serta demi kepentingan koordinasi tentara. Radio Jepang saling terhubung dalam satu jaringan, sehinggal langsung terdengar di pelusuk pelosok. Tokoh kemerdekaan asal Aceh Teungku D Hafaz mendengar berita kemerdekaan malam itu juga saat berada di Medan. Teungku D Hafaz langsung menggelar sujud syukur dan menggelorakan proklamasi dari masjid ke masjid. Malam itu juga kota Medan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Begitu pula seorang pendengar lain dari Manado. Malam itu juga di Manado digelar pesta rakyat. Berita ini bisa diteruskan hingga ke luar negeri. Wartawati SK Trimurti menjelaskan pada tanggal 18 Agustus 1945, sebuah kantor berita Amerika di San Fransisco telah memberitakan kemerdekaan sebuah negara baru di Asia Tenggara bernama Indonesia.
Jepang kemudian menyegel kantor berita Domai tanggal 20 Agustus 1945. Tapi para pemuda tak kehilangan akal. Ronodiputro memimpin membuat pemancar baru di markas aktivis Menteng 31. Tim ini dibantu teknisi radio Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Perjuangan lain juga dilakukan para pemuda lewat surat kabar, poster dan pamflet. BM Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang berjuang menggelorakan berita berita kemerdekaan melalui surat kabar. Sementara rekan-rekan mereka menempelkan poster di mana-mana. Mereka juga mencoreti kereta api dengan tulisan-tulisan yang menggambarkan kemerdekaan Indonesia. (pul)
Pulung Ciptoaji
20.12.22
abad.id-Kemampuan Bung Karno dan Pak Harto sejajar. Keduanya menguasai 8 unsur alam. Makanya ketika memimpin, mereka bisa disegani atau bahkan ditakuti. Ilmu keduanya kini diperebutkan banyak orang.
Abad.id Nama Bung Karno dan Pak Harto bukan hanya populer seantero Nusantara, tetapi juga ke penjuru dunia. Meski orang Eropa dan Amerika belum pernah ke Indonesia, mereka pasti tahu nama Sukarno dan Suharto.
Kehebatan linuwih kedua sosok ini banyak diakui kalangan spiritual dan budayawan. Kemampuan keduanya bahkan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Sebab sama-sama pemimpin Indonesia yang disegani dunia.
Menurut Gus Putro, budayawan asal Jawa Timur, Bung Karno dan Pak Harto adalah pemimpin yang suka menjalani laku prihatin. Mereka suka blusukan ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang untuk melakukan ritual.
“Tidak banyak orang memiliki ilmu Bung Karno dan Pak Harto. Kedua memiliki banyak ilmu. Tapi ada satu ilmu yang dimiliki keduanya yang tidak dimiliki banyak orang. Ilmu itu bernama Hasta Brata,” kata pendiri sekaligus pimpinan Padepokan Laskar Sambernyowo.
Konon, siapapun orang yang memiliki ilmu Hasta Brata, mereka dapat menguasai segalanya. Orang yang memiliki ilmu ini, lanjut Gus Putro, dapat menguasai 8 unsur alam, yakni bumi, langit, angin, samudera, rembulan, matahari, api, dan bintang. Orang yang sanggup menguasai 8 unsur alam, mereka dengan mudah menguasai ilmu-ilmu lain.
Kemampuan Bung Karno dan Pak Harto sebenarnya kemampuan tiban. Mereka mendapatkan kemampuan tanpa belajar. Seperti ketika Sukarno kecil sakit. Setelah sehat, datanglah kakek Sukarno, Hardjodikromo yang tinggal di Kota Tulungagung. Sang kakek melihat ada sesuatu yang lain pada diri Sukarno kecil. Kakek Sukarno adalah seorang linuwih. Ia bisa menjilati bara api pada sebuah besi yang menyala. Di situ dia melihat ada kekuatan besar dalam diri Sukarno. Menurut Hardjodikromo, kelak Sukarno akan menguasai 8 unsur alam.
Demikian pula dengan Suharto. Ketika seorang guru spiritual bernama Rama Marta bertemu Suharto, dia langsung membaca tanda-tanda itu dan berkata, “Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang).”
Dalam budaya Jawa, wirig kuning adalah ayam jago dengan kaki serta paruh berwarna kuning, dan dikenal tangguh dalam bertarung. Itulah tanda-tanda bahwa Suharto bakal menjadi pemimpin hebat.
Baik Bung Karno dan Pak Harto, keduanya sama-sama memiliki ilmu tinggi. Keduanya juga mampu menguasai 8 unsur alam. Sehingga, mereka pun kadang terlihat saling segan. Itu bisa diketahui saat Bung Karno menyebut nama Pak Harto tiga kali.
“Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau Suharto….” kata Bung Karno sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah barisan para jenderalnya.
Ada apa dengan kekuatan Suharto? Ini menegaskan bahwa keduanya sama-sama tahu akan kedigdayaan masing-masing.
“Bung Karno dan Pak Harto menguasai 8 unsur alam. Makanya ketika memimpin, mereka bisa disegani atau bahkan ditakuti. Setiap ucapan mereka selalu diikuti banyak orang. Jika marah, kemarahan mereka bisa menggoncangkan dunia. Bukankah hal itu pernah dilakukan Bung Karno ketika dia marah terhadap AS (Amerika Serikat). Dan pihak AS pun dibuat mati kutu,” tambah Gus Putro yang kini berdomisili di Nganjuk.
Karenanya ilmu Hasta Brata ini banyak diburu dan diperebutkan, terutama oleh kalangan pengusaha hingga politisi. “Hasta Brata itu ilmu kuno. Tidak banyak orang menguasainya. Sampai sekarang banyak diburu orang,” tuturnya.
Dalam tradisi Jawa, dikatakan Gus Putro, ilmu adalah hasil dari laku prihatin, misalnya lewat puasa dan bertapa, yang mewujud dalam bentuk benda-benda, seperti cincin, ikat kepala, keris yang memiliki bahkan merasuk dalam tubuh yang empunya. Itulah kasekten. Sesuatu yang membuat orang menjadi sakti, berilmu.
“Nah, orang yang menguasai Hasta Brata, dalam ajaran Jawa Kuno disebutkan orang tersebut dapat menaklukkan hati manusia. Ajaran Hasta Brata ini dipercaya dimiliki oleh para pemimpin Jawa, untuk memerintah di tanah Jawa Kuno ini,” urainya.
Gus Putro mencontohkan, dulu ada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau nama aslinya Raden Mas Said yang oleh Belanda diberi julukan Pangeran Sambernyawa karena di dalam peperangan R.M. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC). Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibeh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegara dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya.
Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman. Dia juga memiliki ilmu yang disegani lawan-lawannya. Itulah ilmu Hasta Brata,” cerita Gus Putro.
Menjadi Raja Tanah Jawa
Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970. Dia menyandang banyak julukan Putra Sang Fajar, Singa Podium, Penyambung lidah Rakyat. Bung Karno selama ini dikenal seorang waskita, bahkan orang-orang Bali percaya kalau dia adalah reinkarnasi dari Dewa Wisnu, dewa hujan dalam agama Hindu.
Pernah suatu ketika Bung Karno berkunjung ke Bali, maka terjadilah suatu keanehan. Waktu itu Bali tengah dilanda kemarau yang sangat parah. Namun saat Bung Karno datang, tiba-tiba langsung turun hujan dengan derasnya. Begitu percayanya orang terhadap kesaktian Bung Karno, sampai sampai setelah kematiannya orang masih percaya Bapak Proklamator itu masih hidup. Bahkan budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam setiap ceramahnya selalu mengatakan bahwa Bung Karno belum mati. Dia hanya berpindah tempat saja.
Putra dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai pada waktu masih kecil benama Kusno ini memang sewaktu mudanya banyak menimba berbagai macam aji kanuragan, aji kesaktian atau aji kadigdayaan.
Makanya baik kawan maupun lawan segan bila berhadapan dengannya. Bahkan tidak sedikit kaum hawa yang bertekuk lutut padanya hanya sekali kerling.
Kata Gus Putro, Bung Karno memiliki banyak kesaktian. Di antaranya Aji Pojoking Jagat, salah satu kesaktian tingkat tinggi warisan dari Sunan Kalijaga. “Aji Pojoking Jagat ini memiliki kegunaan bisa berjalan di atas air, bisa mengarungi lautan api tanpa terbakar, lolos dari semua senjata tajam dan lain sebagainya,” imbuhnya.
“Aji Pojoking Jagat adalah ilmu wali, makanya Bung Karno setelah mendapatkan ajian ini menjadi manusia setengah wali. Konon Aji Pojoking Jagat ini pernah diburu oleh Pak Harto ketika dia berkuasa,” cerita Gus Putro.
Ada kesaksian penduduk asli Cikini, mereka pernah melihat Bung Karno berjalan di antara rinai hujan tanpa basah sedikitpun. Kemudian pernah pula melihat Bung Karno berpergian bersama ajudannya dengan mobil kap terbuka dan ditembaki oleh seseorang tak dikenal, pelurunya hanya mampu menembus badan mobil.
Tak hanya itu, Bung Karno dikenal suka mengoleksi benda-benda pusaka. Setidaknya ada tiga tongkat komando yang bentuknya sama persis. Satu tongkat khusus untuk melakukan lawatan keluar negeri, satu tongkat untuk berhadapan dengan para Jenderalnya dan satu tongkat selalu dibawa waktu berpidato. Namun kalau keadaan buru-buru dan harus pergi, yang kerapkali ia bawa adalah tongkat komando khusus untuk pidato.
Pernah suatu saat Presiden Kuba, Fidel Castro memegang tongkat Bung Karno dan bercanda, “Apakah tongkat ini sakti seperti tongkat kepala suku Indian?” Bung Karno tertawa saja, saat itu Castro meminta peci hitam Bung Karno dan Bung Karno pakai pet hijau punya-nya Castro.
“Pet ini saya pakai waktu saya serang Havana dan saya jatuhkan Batista,” kata Castro mengenai pet hijaunya itu.
Apakah tongkat Bung Karno itu memiliki kesaktian seperti Keris Diponegoro 'Kyai Salak' atau keris Aryo Penangsang ‘Kyai Setan Kober’? Bung Karno tidak menjawab, tetapi yang jelas itu sakti.
Bung Karno juga memiliki kesaktian tiada batas. Itu diturunkan dari kakeknya. Hardjodikromo dikenal memiliki kesaktian dengan ucapannya yang bisa jadi kenyataan. Istilahnya idu geni. Rupanya ilmu ini menurun pada Bung Karno. Kemampuan idu geni Bung Karno itu didapat dari Hardjodikromo setelah berpuasa siang malam. Tujuan puasa kakek Bung Karno itu, agar cucunya bisa memiliki kekuatan batin yang kuat dan lurus. Pada hari ke 40 puasanya, Hardjodikromo kedatangan tamu seorang yang amat misterius. Lelaki paruh baya berpakaian bangsawan Keraton Mataram datang dan mengatakan dengan amat pelan.
Kata-kata itu jika diartikan dalam bahasa sekarang adalah “Bahwa cucumu jika pada masanya nanti akan menjadi seorang Raja. Raja bukan sembarang Raja. Bahkan cucu kesayanganmu itu nanti akan menjadi bukan saja Raja di Tanah Jawa, tapi di seluruh Nusantara”. Kelak Hardjodikromo mengira bahwa itu adalah perwujudan dari Ki Juru Martani, seorang bangsawan Mataram paling cerdas.
Sejak mimpi itu, kemampuan Bung Karno menjilat dan menyembuhkan berbagai macam penyakit lewat idu geninya langsung hilang. Namun berganti dengan kemampuan berbicara yang luar biasa hebat. Kehebatan idu geni Bung Karno itu dikuasai ketika dia mampu menguasai 8 unsur alam. “Bung Karno memiliki Hasta Brata. Siapa yang menguasai ilmu Hasta Brata, maka dia dengan mudah menguasai berbagai ilmu,” ucap Gus Putro.
Ditambahkannya, orang-orang sebenarnya tidak perlu memperebutkan ilmu-ilmu Bung Karno. Mereka cukup menguasai ilmu Hasta Brata, maka orang tersebut akan mudah mendapatkan ilmu yang diinginkan. “Mau ilmunya Bung Karno atau Pak Harto, asalkan bisa menguasai Hasta Brata, mereka pasti bisa menguasai segalanya,” akunya.
Diakui Gus Putro, banyak sekali orang-orang yang ingin mendapatkan kekuatan linuwih Bung Karno. Bahkan setelah meninggal pun, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekuatan Bung Karno.
“Mereka ingin mendapatkan ilmu secara instan seperti mengharap tetesan aura dari sang pemimpin. Tapi itu tidak gampang. Orang yang dekat dengan Bung Karno saja belum tentu bisa. Itu semua tergantung dari aura orang tersebut,” ungkapnya.
Diburu Banyak Orang
Pak Harto juga tidak kalah. Para spiritualis dan budayawan Jawa mengakui kemampuan linuwih Pak Harto. Dengan ilmu lembu petheng yang dimilikinya, dia bisa mengalahkan Sudarsono, DN Aidit, Sukarno, Hatta, Nasution dan seluruh orang besar di negeri ini yang mustahil dikalahkan. Secara politik, Suharto hanya dikalahkan oleh umurnya sendiri.
Dalam sejarah Jawa, Pak Harto termasuk orang yang sukses mengurai sejarah kudeta yang berdarah-darah dalam merebut tahta kekuasaan. Banyak tokoh yang kemudian muncul tiba-tiba dalam panggung sejarah, tanpa masa lalu, dan tanpa beban silsilah. Ia kemudian mengklaim sebagai anak para dewa, anak para raja, dan dengan begitu mereka menggenggam mitos.
Suharto adalah manusia kontroversial. Nilai kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia karena ulahnya yang mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka Suharto lebih pada nilai misteriusnya.
Misteri Suharto adalah kekuasaan yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan tercengang yaitu sikap: diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem.
Yah, ilmu lembu petheng itulah kekuatan Pak Harto. Dia bisa memecahkan mitos buku suci raja-raja Tanah Jawa. Ini juga yang tampaknya dipegang dalam konstelasi politik nasional kita yang belum lepas dari kesejarahan mitos atas silsilah di masa lalu.
Mantan “Raja Nusantara” ini terbilang sebagai tokoh mumpuni yang sulit dicari tandingannya. Pergulatan langsung dengan budaya Jawa atau mistik Kejawen, menjadikan dirinya mempunyai kekuatan spiritual yang ngedab-edabi.
Membaca perjalanan spiritual Pak Harto memang kelewat panjang. Namun dari laku spiritual yang digeluti menjadikan dirinya sebagai satria linuwih, baik dari sisi jasmani maupun rohani.
Ketokohan Pak Harto setidaknya bisa disamakan dengan tokoh sejarah Ken Arok. Sebagaimana Ken Arok akhirnya bisa menjadi Raja Singasari, Pak Harto yang sejak semula sadar dan harus mempersiapkan dirinya baik jasmani maupun rohani akhirnya bisa menjadi raja. Meski harus diakui ketokohan Pak Harto pada akhirnya menjadi ”Raja Nusantara” tak pernah diprediksi banyak kalangan sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada Ken Arok.
Dalam hal tirakat, Pak Harto memang jagonya. Sejak muda ia memang konsisten menjalani laku spiritual seperti puasa Senin-Kamis. Bahkan dalam rangka mencari pulung derajad ia tak segan-segan menjalani tapa kungkum di berbagai tempat. Dalam pandangan orang Jawa, ritual kungkum tiada lain untuk nggayuh kamukten (mencari kemuliaan).
Sebagai bentuk pendalaman spiritual pada diri Pak Harto juga terlihat pada langkahnya yang menikahi Ibu Tien sebagai pasangan hidup. Ibarat batu mustika, Ibu Tien yang juga bukan wanita sembarangan merupakan emban atau pasangan pendamping yang bisa mendampingi Pak Harto. Secara spiritual, Ibu Tien merupakan sosok putri Nariswi yang bisa menjunjung derajad suami.
Setiap langkah yang dilakukan Pak Harto tak pernah lepas dari perhitungan-perhitungan spiritual Jawa. Terlebih pada saat genting, ia akan melakukan kolaborasi dengan penguasa-penguasa gaib di seluruh Indonesia.
Selain rajin laku mistik kejawen, Pak Harto juga gemar mengoleksi pusaka untuk menambah kekuatannya. Salah satu pusaka yang dipinjam Suharto untuk menambah kekuatannya adalah pusaka andalan Kraton Solo. Tidak hanya itu, Suharto dipercayai memiliki “pendamping”. Pendamping ini adalah salah satu raja perempuan alam bawah laut, kakak seperguruan Nyai Roro Kidul. Pusaka-pusaka itu hanya akan digunakan sendiri oleh Pak Harto dan tak bisa diwariskan kepada putra-putrinya.
Konon, Pak Harto punya tiga keris ampuh dan pusaka itu didapatkan sendiri saat menjalani ritual. Bisa jadi, setelah Pak Harto wafat ketiga keris itu akan muksa sendiri. Toh, jika tidak muksa, harus dilarung, sebab jika tidak akan menimbulkan aura jelek bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Sebagai tokoh yang punya kekuatan spiritual amat tinggi, Pak Harto selama ini memang memegang teguh rahasia ilmu yang dimilikinya. Ilmu Hasta Brata itu sangat dahsyat. Dengan ilmu itu, dia mampu menguasai ilmu-ilmu lain sehingga dia mampu memegang kendali kekuasaan selama 32 tahun.
Pak Harto sebagai tokoh linuwih menjadikan dirinya sebagai tokoh besar yang patut dihormati oleh alam. Diakui atau tidak, sebelum Pak Harto jatuh sakit ada fenomena alam seperti jatuhnya meteor, banjir bandang, munculnya teja bathang di Jakarta dan lainnya.
Meski keterkaitan sakitnya Pak Harto dengan peristiwa alam sulit dibuktikan, tetapi dari sisi metafisika setidaknya mengarah ke hal itu. Banyaknya pejabat yang menjenguk Suharto saat sakit, sangat bisa dimengerti. Hampir semua pejabat adalah bekas anak buahnya. Hubungan senior-junior atau bapak-anak mesti dijaga karena tanpa senior/bapak, junior/anak tak mungkin menjadi seperti sekarang. Inilah mungkin kesempatan terakhir untuk bertemu dan memberi hormat. Tapi dalam hatinya mungkin juga berharap akan mendapatkan ilmu wahyu yang dimiliki Suharto. Tak ada yang salah, sebab dalam tradisi Jawa tindakan praktis itu kerap dilakukan para pendahulu. Artinya, tanpa laku prihatin, tanpa puasa dan pertapa, jika wahyu itu mau jatuh ke seseorang, ya jatuhlah.
Maka jangan heran, dulu ketika Suharto sakit, pada radius 500 meter banyak orang pintar berkumpul. Mereka datang dari pelosok Jawa bahkan penjuru tanah air. Mereka berharap bisa menangkap atau kejatuhan ilmu atau wahyunya Suharto yang hendak terbang dari raga. Mereka punya peluang yang sama dengan para pajabat yang keluar masuk rumah sakit.
Saat ini meski keduanya sudah tiada, namun pamor Bung karno dan Pak Harto masih luar biasa. Banyak yang berusaha mencari dan merebutkan ilmu keduanya.
Bung Karno dan Pak Harto memiliki ageman berlapis-lapis. Aura kekuatan sampai sekarang terus melekat. Semasa hidup, mereka disegani banyak orang. Orang yang berilmu Hasta Brata biasanya memiliki kharisma luar biasa yang dapat mengemong, memikat, dan membuat takluk banyak orang.@nov
Author Abad
20.12.22
Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945. Di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.
Abad.id Buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” merupakan hasil kumpulan surat-surat Sutomo–nama panjang Bung Tomo–yang dikumpulkan alm Sulistina (istri) selama puluhan tahun.
“Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, semasa hidup.
Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menceritakan perjalanan kisah cintanya dengan Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Dan, cerita-ceritanya hingga kini masih relevan untuk diceritakan pada generasi muda.
Sulis menceritakan, saat itu, dia–yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang–sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.
Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itulah yang berani mendekatinya.
“Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis.
Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.
Pernikahan pun diputuskan di Jalan Lowokwaru IV/2 Malang. Banyak kawan-kawan beliau dari BPRI dan PMI (Teman-teman istrinya) yang hadir, tetapi bukan berarti mudah menjadi istri Bung Tomo karena masih diburu-buru Belanda, mereka harus pindah ke Jogjakarta.
Untuk urusan dapur beliau memang jago memasak rawon, lodeh, sayur asem, sambel goreng taoco. Bahkan beliau sendiri yang mengajari istrinya memasak. “Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah” ucap Bung Tomo kepada istrinya.
Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.
Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.
Menulis Surat Cinta
Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan.
Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.
Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina.
Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.
Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.
Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam.
“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.
Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.
Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku.
Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.
“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.
Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.
Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu
Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Menolak Dimakamkan
Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya.
Keromantisan Bung Tomo tampak dalam setiap surat-suratnya. “Tiengke” panggilan sayang untuk Sulistina selalu menghiasi kop surat. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Dalam sebuah surat yang ditulis pada 13 Maret 1951 Bung Tomo memahami bahwa istrinya sudah terlalu lama ditinggal di rumah bersama anak-anaknya. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga berpesan: “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success,”. Indahnya ucapan itu hingga Sulistina mengaku selalu tak sabar menunggu surat-surat berikutnya.
Selera humor Bung Tomo juga membuat Tiengke terpesona. Dalam satu kesempatan di 20 Maret 1951 surat Bung Tomo diterima. Dalam suratnya pria yang lahir pada 1920 itu menceritakan bahwa foto Sulistina dipuji teman-temannya dan beberapa ibu-ibu.
“Malah ono sing kanda (malah ada yang bilang) een paar’dames (beberapa ibu-ibu) memper (mirip) Ingrid Bergman! Bintang film Swedia di USA,’’ begitu petikan surat Bung Tomo.
Kemesraan yang terjalin melalui surat-surat Bung Tomo tak membuat nafas perjuangannya hilang. Dalam surat balasan kepada Bung Tomo, Sulistina pernah bertanya, kapan perang kemerdekaan ini akan selesai? Karena jarang sekali mereka berdua bertemu dan anak-anaknya selalu menanyakan kapan Bung Tomo datang.
Melihat istrinya mengeluh dengan perjuangannya yang tak kunjung berakhir, Bung Tomo menulis: “Tieng kowe tak seneni ya? Sesuk-sesuk adja sok kanda kapan telase merdeka ini, ya? Wong sedih merga ora bareng-bareng dua minggu wae kok ndukani “Merdekane”. (Tieng aku boleh marah ya? Lain kali jangan pernah bilang kapan selesainya perang kemerdekaan ini. Cuma sedih karena tidak bersama-sama dua minggu saja, kok menyalahkan “Merdekanya”).
Dukungan seorang istri atas perjuangan suami benar-benar menjadi sebuah perekat hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana tidak? Saat Bung Tomo ditahan selama setahun (1978-1979) oleh rezim Soeharto, Sulistina tak tinggal diam. Presiden pun disurati. Dalam surat itu Sulistina menyebut Pak Harto saja, tanpa embel-embel presiden.
“Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri,” protes Sulistina dalam surat itu.
Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.
Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami (59), H M. Bambang Sulistomo (57), Sri Sulistami (56), dan Ratna Sulistami (49).
Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.
Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.
Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah tepatnya di Padang Arafah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis–mertua Bung Tomo–yang meninggal dunia.
Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.
Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” ceritanya.
“Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.
Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.
Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo.
Kesetiaan Sulistina kepada Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Surat-surat Cinta Bung Tomo
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu,. Bisa Jeng menemuiku?”
“Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauuuh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk & pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.”
“Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah.”
“Waktu bebas, aku tidak mempunyai kesempatan membaca, nah sekarang kesempatan itu ada dan harus ku pergunakan. Tuhan memberi cobaan, tentu ada hikmahnya.”
“You are a hero, a patriot, a great lover sampai hari akhirmu.” @nov
*) diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id-Nama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda, dia sudah terbiasa hidup di dalam bui karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara.
Abad.id Tubuhnya yang renta terkulai di tempat tidur. Wajahnya yang pucat memancarkan kepolosan. Sesekali perempuan mungil ini meringis, mengeluhkan perutnya yang sakit. Ia meronta dari ikatan yang membalut tangannya. Ikatan yang sebenarnya membelenggunya, tapi dilakukan demi kasih sayang orang-orang terdekatnya.
Namun demikian, ajal pun tetap tak bisa dilawan. Pada Selasa 20 Mei 2008 di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta, istri mantan penulis naskah proklamasi Sayuti Melik menghembuskan nafas terakhir. Dia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Meski ajal sudah menjemput, nama Soerastri Karma Trimurti tetap harum di mata kerabat dan handai taulan. Yah, oran-orang biasa memanggilnya dengan nama singkatan SK Trimurti. Trimurti merupakan wartawan tiga zaman. Dia, boleh dibilang gambaran kekuatan dari masa lalu.
Namanya tercatat dalam sejarah dunia jurnalisme di Indonesia. Coretan dan tulisannya meninggalkan bekas di kalangan wartawan tiga jaman.
Melalui karya-karya dan tulisannya, ia bahkan pernah menjalani hidup di bui Belanda (1936-1943). Bahkan, anak partamanya lahir dalam penjara Belanda yang kumuh dan sempit kala itu.
Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal Sayuti Melik pada tahun 1938. Namun dia kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang terjadi di sekitar dalam tulisan dan goresan di atas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.
Trimurti, dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Dijothak Bung Karno
SK Trimurti lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda. Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda.
Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, di radio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.
Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Trimurti sempat menetap di rumah Inggit Ganarsih (istri Bung Karno), yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Trimurti, sebab Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.
Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya dari penjara, ia dilarang lagi mengajar. Trimurti pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Di sinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat. Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.
Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan.
Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Trimurti rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.
Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.
Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu di hatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.
Wanita yang wafat pada usia 96 tahun itu, tinggal sendiri di rumah mungilnya di Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Jakarta Pusat. Rumah sederhana itu jauh dari kemegahan dan kementerengan.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa, dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.
Kendati sudah berusia uzur, Trimurti masih sempat wira-wiri sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Tahun 1956 ia sempat memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia juga pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.
Dan kini, di sebuah rumah sederhana tersebut, tampak bajaj bebas berseliweran dengan suara gaduhnya. Suara itu sewaktu-waktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat. Pun anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, bersahut-sahutan.
Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100×60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti.
Dia tercengang mengenang sebentar, “Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!” tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.
Memang, hubungan Trimurti dan Bung Karno waktu itu sempat terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Saat itu Trimurti dikenal sejawatnya sebagai perempuan yang antipoligami. Namun, sikap itu rupanya tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat.
Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.
Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas.
Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. “Wong saya baca saja pake kaca pembesar!” ujarnya penuh rasa humor.
Pejuang Dunia Sunyi
Di masa tuanya, mata Trimurti selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruangan tempat dia berbaring.
Ketika Sainah (46), yang merawat Trimurti, pahlawan negara itu sering bergulat dalam kesunyian batinnya. Dia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Trimurti sering melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.
Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, “Saya lupa judulnya, itu lho… Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna. (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan)."
Sesekali Trimurti membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.
Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Trimurti.
“Orang menyangka Ibu meninggal saat itu,” kenang Heru, anak Trimurti.
Trimurti kemudian dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.
“Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun ibu masih naik bus,” lanjut Heru.
“Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju,” lanjut Sainah.
Hidupnya Trimurti memang sangat sederhana. Sebagai mantan menteri, Trimurti sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. “Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial,” tutur Heru.
Memasuki usia lanjutnya, ingatan Trimurti timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. Tetapi yang cukup mencengangkan, dia masih ingat dengan Bung Karno. “Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin,” sambung Heru.
Dan sekarang, sang pejuang wanita itu cuma terbaring di atas ranjang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Perempuan yang dipanggil Eyang itu pada akhirnya menyerah pada takdir. Dia pun tidur tenang. Sayangnya hingga kini, tidak banyak orang yang mengetahui tentang keadaan dirinya, padahal ia punya peran besar dalam menghantarkan bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban. Namun H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), telah melakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban.
Ternyata, semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”.
Soal berpindah-pindahnya masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Soko Guru
Sebuah kisah tentang Masjid Agung Demak. Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah pradondi kiblat –silang pendapat untuk menentukan arah kiblat –dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkah secara ainul yaqin.
Lalu, menurut sahibul kisah, Sunan Kalijaga Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II disebut Syekh Melaya, berdiri tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung Demak kemudian diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Tiang di barat laut merupakan karya Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara karya Sunan Ampel, dan yang didirikan di timur laut karya Sunan Kalijaga.
Tiang tersebut diletakkan pada empat penjuru mata angin berukuran besar dengan tinggi 17 meter. Keberadaan soko guru tersebut memiliki filosofi empat pilar utama ajaran Islam.
Pengurus Masjid Agung Demak menuturkan bahwa sebutan Soko Guru bagi empat tiang tersebut lantaran mengisyaratkan empat pilar utama dalam ajaran Islam. Yakni Alquran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan tinggi tiang yang mencapai 17 meter juga memiliki arti bahwa tiap orang Islam berkewajiban menunaikan solat lima waktu, yang jika dijumlah semuanya menjadi 17 rekaat. Masing-masing subuh 2 rakaat, dhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat, dan isya 4 rakaat.
Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.
Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingungan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini dimasuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada –ia melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu.
Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’.
Tiang seperti ini juga terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Cuma sampai sekarang tidak ada data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di pintu masuk yang disebut Lawang Bledheg. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1, kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428 Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Dalam catatan Dinas Purbakala Jawa Tengah, masjid yang kini menjadi benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah masjid purba pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa.
Konon pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, yang secara garis keturunan bersambung ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan, masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan, masjid tersebut dibangun pada 1498 Masehi.
“Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak,” mengutip kata-kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati.
Dulu, di majid ini pernah digelar sidang Wali Sanga untuk mengadili Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, cuma ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal. Lalu jenazah Syeh Siti Jenar –usai dieksekusi Sunan Kudus –dimakamkan di Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’ –Majid Demak dan Ampel –Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa, walau kini dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari masjid ini adalah azan pitu, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. “Inilah satu-satunya kota di tanah Jawa yang namanya berasal dari bahasa Arab,” kata Prof. Dr. R.Ng. Poerbatjaraka (1884-1964), ahli bahasa dan kebudayaan Jawa.
Kudus, secara kontemporer lebih dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan Walisanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal masjid tersebut didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, lebih popular sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak diperdagangkan daging sapi.
Menurut penduduk, larangan menyembelih dan memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi.
Tapi tafsir ini sangat meragukan. Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari dan jam tertentu.@nov
*) Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id-Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.
Abad.id Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.
Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.
Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.
Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.
Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.
Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.
Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.
Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.
Terinspirasi Sang Ibu
Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.
Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.
Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.
Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.
Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.
Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.
Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Karya Monumental
Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.
Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”
Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.
Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.
Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.
Daftar Buku Pram yang Dilarang
Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.
Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:
Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)
Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)
Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)
Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)
Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)
Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)
Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)
Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)
Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)
Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)
Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)
Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)
Modern Korea (Kim Byong Sik)
Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)
Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)
Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)
Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)
Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal
The Indonesian Tragedy (Brian May)
Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)
Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)
Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)
Permesta, Kandasnya Cita-Cita
Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda
The Devious Dalang
Heboh Ayat-Ayat Setan
Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno
Pesona Seks Wanita
Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan
Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung
Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)
Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)
Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco
Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)
Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)
Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen
Kristus dalam Injil dan Al Quran
Wajah Dunia Islam Kontemporer
Tanah untuk Rakyat
Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)
Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20
Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang
Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)
Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)
Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)
Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)
Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (nov)
*Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
Laporan: N. Aji
abad.id-Brem Madiun melegenda. Diwariskan turun temurun. Sudah ada sejak jaman penjajah. Dikenal di dalam dan luar negeri. Di luar negeri, brem dibawa para TKI. Hingga muncul banyak pesanan. Uniknya, petani Kaliabu sebagai perajin brem tidak tahu jika penganan olah tangannya itu telah dicicipi orang-orang dari luar negeri.
------------------
Salah satu makanan manis yang melegenda di Madiun adalah brem. Penganan ini terbuat dari sari beras ketan. Rasanya manis-manis kecut. Terasa adem di lidah. Penuh sensasi. Kue tradisional khas Madiun ini terbukti disuka banyak orang.
Brem cukup populer. Semua kalangan bisa membeli. Bisa memakan. Orang tak bergigi sekalipun dapat menikmati enaknya brem dengan yang bergigi lengkap. Sebab penganan ini cukup dikulum, tanpa dikunyah. Makanan ini sudah lumat sendiri.
Ya, brem memang makanannya semua umur. Orang-orang yang berkunjung ke Madiun, pulangnya tidak afdol jika tidak bawa oleh-oleh khas ini.
Produksi brem tidak hanya di Madiun. Di Wonogiri, Jawa Tengah, juga ada brem. Di Bali dan Nusa Tenggara Timur juga ada. Pembuatan brem di setiap daerah berbeda-beda. Punya ciri khas sendiri-sendiri. Misalnya brem Madiun warnanya kuning keemasan, sedangkan brem Wonogiri berwarna putih.
Di Madiun, pusat produksi brem berada di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan dan Desa Bancong, Kecamatan Wonoasri. Dua desa ini berlokasi di Caruban. Di situ terdapat rumah-rumah produksi brem yang dikelola oleh industri rumahan dengan skala usaha mikro kecil dan menengah.
Hingga saat ini belum ada penjelasan secara pasti sejarah brem. Namun dari berbagai sumber disebutkan brem sudah ada sebelum Belanda menjajah tanah air. Buktinya apa?
Buktinya dari cerita ke cerita. Dari turun temurun. Salah satunya Marsiyem. Dia tidak ingat usianya. Tahun berapa dilahirkan. Namun Marsiyem bercerita sejak kecil akrab dengan brem.
Saat itu di usianya yang masih belasan tahun, dia sudah mampu membuat brem. Gurunya Mbah Lurah Dusun Bodang. Sayang sekali dia tidak pernah tahu darimana Mbah Lurah mendapatkan ilmu membuat brem dan mengapa pula dinamai brem.
Marsiyem juga ingat, untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat brem, dia harus menempuh pejalanan cukup jauh menuju Madiun.
Tumpangannya sepur kluthuk (kereta jaman Belanda berbahan bakar kayu) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju, dan jika sudah turun dari sepur di hidung masing-masing penumpangnya akan menyumpal/anges (jelaga) hitam.
Dari Dusun Bodang, brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di sekitarnya di wilayah Desa Kaliabu. Masing-masing Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu.
Di lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin brem paling banyak.
Dusun-dusun lainnya sudah lama beralih profesi karena gerusan jaman. Mereka memilih bercocok tanam, atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sedang Marsiyem, adalah segelintir generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan yang bercitarasa semriwing nan manis ini.
Resep dan cara pembuatan brem diwariskan turun temurun. Bedanya, zaman dulu brem dijual tanpa merek. Kini, pengusaha melabeli produknya untuk memudahkan promosi dan menggaet pembeli.
Di Madiun, sebagian besar merek brem menggunakan nama suling seperti Suling Mas, Suling Gading, Suling Mustika, dan Suling Istimewa.
Meski brem populer sejak lama, namun tidak ada yang tahu pasti mengapa makanan berbentuk kotak-kotak persegi panjang berwarna kuning keemasan itu disebut dengan brem. Makanan tradisional khas Kabupaten Madiun tersebut nyaris seperti legenda.
Brem Berinovasi
Di Desa Kaliabu terdapat sekitar 60 industri rumahan skala usaha kecil menengah yang memproduksi brem. Setiap usaha mempekerjakan sekitar 3-10 orang karyawan sehingga total tak kurang dari 500 orang yang bergelut di dalamnya. Dengan asumsi per pekerja menjadi tulang punggung bagi keluarga, dan setiap keluarga beranggotakan tiga jiwa, maka 1.500 jiwa menggantungkan hidupnya dari usaha ini.
Brem Madiun juga menggairahkan usaha perdagangan dan jasa. Ini karena banyak produsen yang tidak menangani perdagangan, melainkan memilih berkonsentrasi terhadap kegiatan produksi.
Saat ini terdapat lebih dari 100 toko yang menjual brem secara khusus maupun bersama barang atau makanan lainnya. Itu belum termasuk pedagang asongan yang menawarkan brem di atas bus antarkota antarprovinsi dan dari satu gerbong kereta api ke gerbong lain.
Dari kegiatan ini banyak pihak telah terlibat sehingga perekonomian tidak hanya dikuasai oleh satu kalangan. Kelompok Brem Jaya Makmur merupakan sebuah kelompok UKM brem di Desa Kaliabu. Kelompok ini terdiri dari gabungan 7 UKM brem di Desa Kaliabu yang dibina oleh pemerintah setempat. Kelompok ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produksi para UKM brem di Desa Kaliabu.
Hingga saat ini kegiatan produksi masih berlangsung pada masing-masing lokasi anggota UKM. Potensi Kelompok Brem Jaya Makmur sebagai kegiatan kelompok UKM ingin diangkat untuk dapat dikembangkan lagi menjadi badan usaha yang lebih besar.
Sekalipun hampir semua warga membuat brem, namun hanya beberapa yang menyeriusi usahanya dengan mengurus legalitas hukumnya dan memiliki izin dari Depkes RI. Di antaranya adalah perusahaan brem cap Bangku Kencana, Kondang Rasa, Tongkat Mas, dan Madurasa yang telah mengurus izin yang berbentuk UD (usaha dagang).
Mereka yang mengurus izin usaha ini umumnya yang berpengalaman dan bermodal. Selebihnya, petani membuat brem sebagai penghasilan rumah tangga. Karenanya, hanya empat orang yang memiliki izin itu yang mampu memasarkan produknya secara mandiri dan bermodal.
Pembuatan brem Madiun tidak berhenti di satu rasa. Tentu butuh inovasi agar dapat mempertahankan kualitas. Kini, muncul varian rasa brem seperti rasa cokelat selain rasa aslinya.
Sejak 20 tahun terakhir, brem mulai memiliki banyak rasa. Ada rasa melon, durian, coklat, strawberry, mangga dan rasa buah-buahan lainnya. Bahkan belakangan ada pengusaha yang berhasil melakukan diversifikasi dengan memproduksi brem cair.
Pemilik brem merk Brem Rumah Joglo, Yahya dan Budiati mengungkapkan dari jaman dulu, brem memiliki kemasan yang begitu-begitu saja, yaitu dikemas dalam kardus kotak dengan warna kuning.
“Rasanya juga begitu-begitu saja dari jaman kakek buyut saya. Nah, karena inilah kami ingin melakukan inovasi brem agar tampil lebih modern. Salah satu inovasi yang kami lakukan adalah membuat brem aneka rasa dan mengemasnya dalam kemasan yang berbeda dan unik,” ujar keduanya.
Yahya merupakan generasi ke-5 perajin brem. Tepatnya sejak tahun 1942. Brem Rumah Joglo milik Yahya ini tetap berupaya menjaga kelestarian brem padat sebagai bentuk penghormatan kuliner leluhur.
Brem original yang merupakan resep asli generasi pertama, tidak dihilangkan. Bahkan, untuk menjaga cita rasanya, Yahya mengaku proses pembuatan bremnya merupakan resep turun temurun.
Berbeda dengan brem merk lain yang ada di toko, Brem Rumah Joglo memang di luar mainstream, karena brem tersebut memiliki banyak varian sara serta bentuk.
“Coba Anda cari di toko oleh-oleh, rasa brem yang paling banyak cuma ada 6 rasa. Sedangkan di tempat kami, bisa mencapai 15 rasa dan memiliki bentuk yang berbeda. Hal inilah yang membuat kami menjadi pede dalam memasarkan produk kami,” tambahnya.
Kendati demikian, rasa original brem tetap dipertahankan. Namun kemasannya diganti lebih modern.
Praktik Tidak Elok
Sejak banyak pilihan rasa, brem Madiun mampu merambah pasar hingga mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan Hongkong. Sekalipun nilainya belum besar, setidaknya cukup menjadi bekal berpromosi di negara lain.
Brem yang dikenal di luar negeri itu awalnya dibawa oleh para TKI. Lambat laun ada permintaan dari negeri itu melalui toko-toko penjual makanan dan oleh-oleh di Surabaya, Bali, dan Jakarta.
Hasil karya petani Kaliabu memang menjadi produk unggulan sehingga Madiun mendapat julukan sebagai Kota Brem. Namun petani Kaliabu tetap hanya sebagai produsen. Soal pemasaran mereka tidak tahu sama sekali. Sebab, produknya itu semuanya langsung diambil oleh pengusaha toko penjual oleh-oleh di kota. Sehingga mereka tidak tahu jika penganan olah tangannya itu telah dicicipi orang luar negeri. Maklum, para pembuat brem mayoritas adalah petani desa yang berpendidikan rendah.
Perajin umumnya melempar hasil produknya ke toko makanan dan kue di kota. Oleh karena itu, brem karya petani Desa Kaliabu dikemas dalam bungkus yang rapi dan diberi merek. Tentunya merek tersebut adalah merek toko yang bersangkutan, yang telah membelinya dari petani. Jadi, jangan heran kalau pembeli sekarang langsung mencari merk-merk yang memang desain kemasannya lebih bagus daripada kemasan produsen aslinya.
Para perajin brem sama sekali tak keberatan toko langganannya itu memakai merknya sendiri. Bagi mereka yang penting dagangannya terbeli dan uang hasil penjualan segera di tangan. Sikap tidak mau repot lalu menempuh jalan pintas inilah yang merugikan produsen asli brem.
Pasalnya banyak toko umumnya mengaku punya perusahaan brem sendiri di Kaliabu. Mereka tidak mau mempromosikan merk lain selain merk miliknya. Sebenarnya dengan menampung brem merk produsennya, toko-toko sudah mendapat untung lumayan. Namun pemilik toko rata-rata menginginkan jalan pintas. Pembeli tetap memilih brem bermerk nama toko.
Sesama perajin di desa tentu tahu persis praktik seperti itu. Tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Mereka seakan terperangkap di negeri sendiri.
Sementara tidak sedikit perajin yang masih menjaga ideologinya dengan mempertahankan merknya sendiri. Mereka masih rajin masuk keluar toko sambil memberi contoh brem produksinya. Harapannya, dengan mengandalkan mutu yang lebih baik brem miliknya akan bisa laku dijual oleh toko-toko itu.
Jadi sebenarnya brem yang dipasarkan di toko-toko makanan dan toko oleh-oleh dengan berbagai merek itu semuanya hasil produksi petani Desa Kaliabu.
Semua perajin adalah kalangan petani desa yang tidak memiliki kemampuan di bidang pemasaran. Mereka hanya bisa memproduksi tanpa bisa melakukan penjualan produknya. Sehingga pemasarannya hanya menunggu kedatangan pedagang dari kota. Termasuk brem yang sudah terbang ke Singapura dan Hongkong itu dieskpor oleh mereka.
Ya, hampir seluruh warga di desa itu memang menjadi perajin tradisional kue brem. Namun kini yang masih aktif berproduksi hanya sekitar 52 KK (kepala keluarga). Sedangkan yang lainnya memproduksi jika hendak datang hari besar. Misalnya menjelang lebaran atau tahun baru. Kalau semua berproduksi, di desa ini ada sekitar 150-an KK yang membuat brem.
Ketika menjelang lebaran tiba, setiap petani Kaliabu mampu memproduksi 10-15 kuintal bahan baku beras ketan. Dari jumlah itu setelah diproses masing-masing kuintal beras ketan menghasilkan brem sekitar 100-200 pak. Ramainya pesanan menjelang lebaran itu membuat semua warga praktis sibuk membuat brem.
Selama ini perajin brem tetap berkembang secara tradisional. Baik dari prosesing, pemasaran, dan permodalannya. Perajin brem masih memanfaatkan lahan pertaniannya sebagai modal. Yakni, memproduksi brem setelah berhasil memanen tanamannya atau memanen beras ketan yang ditanamnya. Karena mereka umumnya petani miskin. Mereka baru memproduksi brem setelah berhasil memanen beras ketan dari padi yang ditanamnya.@